8. Gelagat Aneh

1390 Words
"Apaan nih? Ada yang gue lewatin? Ada yang lo nggak ceritain selama kita nggak ketemu beberapa minggu ini?" Sakti menghampiri Liam setelah pria itu bicara pada manager club malam yang bertugas malam itu. Sakti tidak tahu persis apa yang Liam bicarakan, tapi entah mengapa Sakti bisa menerka apa yang dilakukan pria itu. "Huh?" "Masih bisa hah, huh ke gue? Nggak ada niatan buat jelasin ke gue gitu?" "Jelasin soal apa?" Timpal Liam lebih panjang akhirnya, meski terkesan acuh tak acuh. Liam akhirnya memilih untuk keluar dari tempat itu, sebab rasanya bertahan di sana juga tidak membuat perasaannya lebih baik. Mood-nya untuk menghilangkan kegundahannya sudah hilang, ya karena kegundahannya mengenai penyakitnya juga sudah hilang sih, tapi berganti dengan masuknya pikiran-pikiran yang lain. "Soal apa? Masih bisa lo tanya soal apa? Ya soal Gwen lah! Sejak kapan lo kenal dia?" Liam rasanya ingin sekali memutar bola matanya malas. "Gue nggak kenal dia. Gue cuma tahu, lo sendiri yang waktu itu ceritain Gwen ke gue, kan? Di cafe waktu itu, jangan sok lupa." "Y-ya tapi nggak masuk akal aja kalau cuma karena itu lo jadi bertindak sejauh ini. Gue tebak, lo tadi jadiin diri lo yang bertanggung jawab atas kerugian yang Gwen bikin, kan? Makanya lo ngomong sama manager tempat ini." Liam menarik napasnya panjang, menghentikan langkahnya dan menghadap Sakti yang otomatis juga berhenti mengejar langkah Liam. "Gue cuma minta supaya mereka nggak pecat Gwen, karena memang bukan sepenuhnya dia yang salah." "Lo bela dia karena kelakuan Camila? Karena merasa bertanggungjawab Camila kayak gitu ke Gwen? Tapi kan lo nggak suka sama tuh anak, jadi ngapain--" "Nggak ada hubungannya sama Camila, soal dia sih gue bodo amat." Mata Sakti menyipit, memberikan tatapan menyelidik yang jelas langsung Liam hindari. "Lo kasian sama Gwen? Karena cerita gue waktu itu?" Sambung Sakti, kembali mengekor Liam yang menarik pintu utama club untuk pergi dari tempat itu. "Nggak?" "Ya terus?" Ck, Sakti ini benar-benar cerewet sekali. Kenapa harus menanyakan sesuatu yang Liam sendiri tidak tahu jawabannya sih? Liam merasa yakin kalau dirinya tidak kasihan pada Gwen, sebab kalau perkara nasib jelas akan ada banyak yang lebih menyedihkan dibandingkan Gwen, makanya Liam tidak merasa kasihan. Liam rasa dirinya hanya... hanya... "Simpati?" Gumam Liam sebagai jawaban, meski yang terlempar justru terdengar seperti pertanyaan pada dirinya sendiri. "Simpati? Why?" Sakti masih tak mengerti. Hah, ditanya lagi. Mana Liam tahu. Yang pasti, entah mengapa saat melihat Gwen, bayangan saat Liam melihatnya di rumah sakit selalu melintas di kepalanya berulang kali. Ekspresinya, ucapannya, dan rasa frustrasi gadis itu bisa Liam rasakan dan rela ulang dalam kepalanya hingga saat ini. Kaki Liam terus melangkah menuju tempat mobilnya di parkir, dalam diam dan hanya langkah kaki mereka saja yang terdengar sayup. Beberapa meter berjarak dari tempat di mana mobilnya berada, Liam mendengar suara dua orang lain yang membuat Liam berisyarat pada Sakti untuk diam. Bahkan untuk tidak mengeluarkan suara yang bisa membuat kedatangan mereka disadari oleh dua orang yang tengah bercakap itu. "Pasti dipecat, kan? Gue yakin sih gue pasti dipecat, Mas." Suara yang sudah mulai familiar di telinga Liam, dan siapa lagi yang memang ada masalah di tempat itu kalau bukan Gwen. "Gue nggak bisa bilang lo pasti nggak akan dipecat, Gwen. Tapi gue bakal janji kok bantuin lo ngomong sama Pak Asgar. Gue bakal bantu lo buat bujuk dia biar lo nggak dipecat." "Ya tapi lo tahu Pak Asgar kayak apa. Apalagi gue udah rusak beberapa properti... aarrghhh sial! Kenapa gue nggak bisa nahan emosi gue sih, giliran dipecat gue yang bingung sendiri." Desahan berat keluar dari sosok laki-laki, yang Liam tidak bisa menerka siapa. "Gue nggak mau nyalahin lo juga kalau reaksi lo kayak gitu, Gwen. Karena kalau gue jadi lo mungkin gue juga udah ikutan gila--ah, maaf gue nggak bermaksud buat nyinggung soal nyoka--" "Gue paham. Lo nggak harus jelasin. Seenggaknya di sini cuma lo yang nggak anggap gue sebelah mata Mas By, thanks." Terjadi keheningan, Liam masih diam dan mendengarkan, meski Sakti rasanya sudah ingin protes sampai kapan mereka harus diam. "Gue nggak tahu gimana caranya harus ngehibur lo, Gwen. Gue jelas nggak tahu rasanya punya beban hutang segitu banyak, 100 M, 200? Pegang 100 juta aja nggak pernah, apalagi punya hutang sebanyak itu. Belum lagi keadaan adik lo, nyokap lo..." Dengusan keluar dari mulut Gwen kali ini, dengusan yang diselingi kekehan kecil, meski Liam tidak melihat ekspresi wanita itu, entah mengapa Liam bisa membayangkan bagaimana ekspresinya. Ekspresi seseorang yang tengah menertawakan keadaan, kebingungan, tanpa arah, namun tidak punya pilihan untuk tetap terus hidup karena masih bernapas. "Kalau gue bisa jual nyawa gue buat bayar semua itu, bebasin nyokap gue dari tuntutan dan buat Amora hidup lebih nyaman, mungkin udah gue lakuin, Mas." "Hush! Jangan ngomong gitu. Kalau lu jual nyawa lo supaya mereka bisa tetep hidup, lo pikir mereka bakal seneng jalanin hidup mereka? Jangan macem-macem kalau ngomong! Amora dan Mama masih butuh lo!" Suara kekehan kembali terdengar. "Ya kan gue bilang kalau. Nyatanya mana ada yang mau ambil nyawa gue yang nggak berharga gini dan bayar dengan sejumlah uang itu. Gue mati di jalanan aja udah nggak akan ada yang peduli kayaknya." "Gwen!" Gwen tertawa lebih lantang dibanding sebelumnya yang hanya berupa kekehan. Gadis itu langsung menyuruh pria yang dipanggilnya Mas By itu untuk kembali masuk karena pria itu pasti dibutuhkan di dalam, tidak lupa Gwen berterima kasih karena pria itu menghampirinya dan mengajaknya bicara. "Gue cuma nemenin lo nggak ngasih solusi apa-apa sama lo. Tapi inget kata gue tadi, gue bakal belain lo ke Pak Argar gimana pun caranya. Atau kalau memang mentok, gue bakal bantu cariin lo kerjaan di tempat lain." Gwen meng-iya-kan berkali-kali sambil terus mendorong pria itu pergi. Membuat Liam dan Sakti harus putar arah dan berpura-pura bahwa mereka baru saja keluar dari mobil lain sebelum berpapasan dengan pria yang tadi bicara dengan Gwen. Boby? Kalau tidak salah itu nama pria itu. Bartender di club malam yang baru beberapa kali Liam kunjungi. Gwen tidak berjalan bersama Boby, itu artinya gadis itu masih berada di antara cela mobil yang terparkir di sana. "Nggak harus diem lagi, kan? Udah boleh ngomong, kan?" Itu Sakti, yang akhirnya bicara setelah melihat Boby menjauh dari mereka, masuk kembali ke dalam club. "Sak, lo tadi belum sempet minum, kan? Lo setirin gue pulang ya? Tolong." "W-what?! Jangan bilang lo sebenernya ajak gue cuma buat--" "Please, Sak. Gue rasa gue harus pulang." Melihat Liam yang terlihat tidak bisa diajak berdebat, Sakti jadi menunjukan wajah khawatirnya. Sakti takut kalau-kalau penyakit Liam kambuh, meski Sakti juga tidak tahu sakitnya Liam bisa kambuh atau tidak, dan seperti apa kalau memang penyakitnya kambuh. "L-lo nggak apa-apa, kan? Lo yakin mau pulang aja? Nggak mau ke rumah sakit? Atau gue panggilin Erick biar ke rumah lo deh, biar lo bisa ngerasa nyaman kalau Erick periksa keadaan lo di rumah aja." Liam memberikan kunci mobil yang ia keluarkan dari jas kerjanya pada Sakti, yang tentu saja kali ini tidak ditolak Sakti. Pria itu mengambilnya, membuka kunci otomatis mobil Liam dan berjalan di samping Liam dengan pandangan khawatir. Karena suara itu sosok Gwen muncul di antara sela-sela mobil. Berdiri berjarak dua mobil dari mobil Liam yang terparkir. Kali ini ekspresi wajah Gwen tidak sekeras sebelumnya, gadis itu malah terlihat canggung, apalagi di sana juga ada Sakti yang dikenalnya. Gwen tidak menyapa, merasa tidak berhak untuk menyapa lebih tepatnya. Mengingat beberapa waktu lalu ketika bertemu Sakti, Gwen mengabaikan bahkan pura-pura tidak mengenalnya. Gadis itu berlalu pergi begitu saja, setelah bingung harus bersikap macam apa. Masih dari jarak yang cukup dekat, Gwen bisa mendengar pintu mobil di buka dan ditutup, tanda bahwa kedua orang yang bersitatap dengannya tadi sudah masuk ke dalam kendaraan mereka. Gwen tidak menoleh untuk memastikan, tapi seketika teringat... "Jangan-jangan dia yang juga sama Mas Sakti di cafe waktu itu?" Tanya Gwen di kepala. Akhirnya Gwen berbalik, menoleh ke arah mobil yang sudah beranjak pergi dari parkiran dan menjauh dari pandangannya. Itu kenapa pria itu bilang bahwa dirinya tahu mengenai Gwen, tapi tidak mengenalnya? Dari Sakti? Sakti yang menceritakan bahwa Gwen adalah anak dari pengusaha yang bangkrut itu? Gwen mendengus, tidak habis pikir dengan orang-orang di sekitarnya. Kenapa mereka bisa dibilang bermartabat, jika bisa dengan mudah menyebarkan hal-hal yang tidak seharusnya disebarkan macam ini. Media saja tidak pernah menyebut-nyebut namanya atau mem-publikasi mengenai keluarganya, tapi orang-orang di sekitarnya yang justru membuat orang lain tahu bahwa Gwen adalah anggota keluarga pengusaha yang bangkrut dan bunuh diri itu? Menggelikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD