"Bos dan pendiri dari kerajaan bisnis properti itu akhirnya kehilangan semua sahamnya dan harus menanggung hutang--"
"Oi, Park!"
Liam terbangun dari lamunan, ah atau tidak tepat jika disebut dirinya sedang melamun? Karena sebenarnya pria itu justru tengah menyaksikan dengan intens sebuah berita di televisi umum cafe yang dikunjunginya malam itu.
"Ah, lo udah dateng, Sak." Timpal Liam tidak terlalu antusias sebenarnya mendapati rekan kerjanya yang bernama Sakti itu.
"Dari tadi gue panggilin juga. Lagi merhatiin apa sih?" Tanya pria yang menghampiri Liam itu heran, mereka janji bertemu di sana, ketika di hampiri dan disapa Liam justru entah sedang ada di dunia mana.
Dagu Liam bergerak menunjuk ke arah televisi yang terpasang di sudut cafe, tak jauh dari posisinya dan Sakti berada.
"Itu... bukannya salah satu perusahaan yang kerjasama sama lo, ya?" Tanya Liam mengalihkan pandangannya dari Saki kembali ke televisi.
Siaran berita mengenai hancurnya kerajaan properti yang sudah lama mendominasi Indonesia itu kini sudah tersiar di mana-mana, bukan hanya kali ini Liam dengar sebenarnya, tapi baru kali itu saja dirinya menyimak dengan benar mengenai pemberitaan yang tengah gencar disiarkan di mana-mana itu.
"Hm, sayang banget, kan? Untung sebelum menjadi-jadi kayak sekarang gue udah tarik semua saham gue dari sana, makanya gue nggak terlalu kena dampaknya, yah... walaupun tetep rugi karena harus jual dengan harga murah waktu itu."
Mendengar ucapan Sakti membuat Liam tertarik, pria itu meninggalkan layar televisi dan kembali ke lawan bicaranya.
"Lo ngomong gitu seolah-olah udah tahu bakal kayak gini jadinya."
Sakti mendengus, memandang malas ke arah Liam.
"Orang kurang update kayak lo memang nggak akan tahu sih, tapi gue udah bisa baca kejadian ini dari beberapa bulan lalu."
Dahi Liam berkerut, terlihat bingung dengan penjelasan Sakti yang separuh.
"Ck, bukannya gue tukang gosip atau apa ya, tapi sebagai pembisnis kita memang harus hati-hati dan berjaga-jaga sama rekan bisnis kita sendiri, kan? Apalagi jumlah yang udah kita investasiin ke mereka nggak main-main."
"To the point please." Sambar Liam yang tidak merasa perlu mendengar penjelasan temannya itu secara detail.
Sakti mendengus, tahu kalau Liam memang bukan tipe orang yang bisa diajak bicara ngalor-ngidul, malas juga memberithunya sebenarnya, tapi karena Sakti yang memancing topik itu lebih dulu, ia merasa harus bertanggungjawab atas rasa penasaran Liam.
"Ya intinya, gue udah denger dari beberapa bulan sebelum semua ini terjadi kalau dia--" Giliran dagu Sakti yang menunjuk ke arah layar televisi, memperkuat objek yang sedang dibicarakannya. "Main kotor sama perempuan yang akhirnya bakal bikin keluarganya sendiri ancur. Dan lo tahu apa, kan? Kalau keluarga ancur itu sampai kecium ke publik, apalagi orang yang berpengaruh kayak dia. Ancur juga bisnisnya." Bahu Sakti terangkat, "Lihat sendiri, semuanya bener-bener ancur sekarang."
Liam terdiam, tidak berkomentar atas apa yang sudah dijabarkan Sakti. Pandangannya malah kembali ke layar televisi, entah dengan pikiran yang tertuju kemana.
"Sebenernya siapa sih yang nggak suka sama perempuan, semua juga sama, cuma mainnya rapih aja sampai di depan publik kelihatannya keluarga kita harmonis. Ya, nggak?"
Tidak ada tanggapan lagi, ekspresi Liam masih sama datarnya. Sakti yang menyadari hal itu hanya bisa menghela napas, mengalihkan topik yang sepertinya lebih bermanfaat dibandingkan membicarakan berita yang belum terlihat kapan berakhirnya.
"Ngomong-ngomong lo minta ketemu gue di sini kenapa? Demi lo nih ya gue mundurin satu meeting mala ini."
Seolah tersadar dari lamunan dan teringat pada tujuannya, Liam meninggalkan layar televisi, memusatkan perhatiannya kembali pada Sakti.
"Ah, soal kenalan yang waktu itu lo bilang, gue... bisa ketemu dia dalam waktu dekat nggak? Sebelum gue balik ke Korea."
"Kenalan?" Sakti nampak berpikir, menatap Liam penuh maksud, pria itu sedang mengingat siapa yang Liam maksud, sampai... "Ah, ya. Sure, kalau lo udah ada waktu mah ya tinggal gue atur. Kapan lo bisanya?"
"Besok lusa?"
"Okay, nanti gue kontak dia dulu ya make sure kalau dia juga bisa. Tapi pasti dia sempetin sih kalau buat lo. Klien besar mana mungkin dia lepas." Sakti t ersenyum tipis penuh arti.
"Ngomong-ngomong lo udah mau balik aja? Gue kira karena urusan lo ini bakal menetap lama di Indo, tahunya..."
"Memang bakal lama kok, cuma harus balik aja dulu. Biasa."
Sakti terdiam sesaat, memperhatikan ekspresi wajah Liam dan arah pembicaraan pria itu. "Lo baik-baik aja, kan? Kenapa nggak coba dapet pengobatan di sini aja kayak yang Erick saranin sih? Toh kan lebih hemat waktu dan ya mungkin lo bisa cari sendiri kelebihannya kalau lo nggak perluu bolak-balik Jakarta - Seoul."
Liam tersenyum tipis sebagai tanggapan. "Gue nggak mau dirawat sama temen sendiri, jatuhnya berlebihan kayak Erick nanti. Males." Timpal Liam sambil meraih gelas kopi di hadapannya.
"Punya temen care malah dibilang berlebihan."
"Dia terlalu anggap gue pasiennya."
"Ya memang lo pasien Liam!" Seru Sakti dengan nada sedikit naik, terdengar pria itu gemas dengan sikap teman satu universitasnya di Stanford dulu.
Sudah bisa ditebak, bukan? Liam sama sekali tidak mendengarkan ucapan Sakti yang sudah mengarah ke topik yang tidak ingin Liam bahas. Pria itu mengabaikan, mengambil tab-nya dan mulai fokus dengan sesuatu yang ada di sana.
Tahu bahwa dirinya diabaikan, Sakti memutuskan untuk memanggil seorang pelayan. Liam hanya memesankan segelas minuman untuknya tadi, dan selagi mereka ada di cafe kenapa tidak sekaligus makan malam saja? Toh Sakti benar-benar menggunakan waktu kosongnya hari ini hanya untuk bertemu Liam di sana.
"Ya, silakan. Mau pesan apa."
"Wait." Sakti terdiam melihat seorang gadis berseragam pegawai cafe yang menghampiri mejanya. Mata Sakti tidak memandang pada menu yang diberikan pegawai itu, melainkan pada wajah sang pemberi.
"Gwen, Right? I'm sure you are Gwen Hartono."
Mendengar temannya bicara dengan gadis yang berdiri di sampingnya menarik perhatian Liam dari layar tab, pria itu sedikit mendongak untuk mendapati siapa kira-kira yang kali ini sedang ada dalam perangkap Sakti.
"Seperti yang Anda lihat di name tag saya. Terima kasih sudah memperhatikan nama saya." Tanggapan pegawai itu cukup tegas, tidak memberikan celah untuk Sakti merayunya seperti yang Liam duga.
"No, no, no. Saya tahu kamu Gwen bukan karena name tag yang kamu pakai. Tapi kita pernah ketemu, remember? Waktu pesta ulangtahun kamu yang ke 17, saya diundang Papa kamu--"
"Jadi mau pesan apa?" Gadis yang diyakini Sakti sebagai Gwen yang dia kenal memotong cepat, tidak ingin mendengar kelanjutan dari ucapan tamu di restoran tempat kerjanya itu.
"A-ah, itu..." Sakti jadi dibuat salah tingkah karenanya.
"Kalau belum memutuskan boleh dilihat-lihat dulu menunya, nanti kalau sudah memutuskan mau pesan apa bisa panggil saya atau pelayan yang lain. Terima kasih." Ucap Gwen tanpa memberikan waktu untuk Sakti kembali menyela atau bicara hal lain padanya.
Melihat Sakti mengangguk kaku, Gwen lalu menundukkan kepalanya sedikit sebelum pergi, meninggalkan kedua pria di meja itu yang memandang penuh tanya pada objek yang berbeda.
"Siapa?"
"Hm?"
"Lo kenal?"
"Ah, itu..." Akhirnya mata Sakti bisa ditarik dari arah Gwen pergi, hingga kini membalas tatapan Liam.
"Anak tertua Adian Hartono."
"Huh?"
"Yang namanya disebut-sebut belakangan. Tuh, di berita yang tadi lo tonton."
Liam terdiam, untuk beberapa detik yang terlewat pikiran pria itu entah pergi ke mana.
"Gwen..." Gumam Liam seolah tidak asing dengan nama itu.
Jelas tidak asing karena nama Gwen pasti ada di mana-mana, tapi entah mengapa Liam rasanya pernah memiliki kenangan dengan nama itu.
"Ah."
"Huh? Kenapa?"
"Gwen yang itu?" Gumam Liam menolehkan kepala cepat ke arah Gwen yang sedang membersihkan peralatan makan kotor di meja yang baru saja ditinggalkan pengunjung cafe itu.
"Lo kenal Gwen juga, Li?"
Liam tidak menjawab, fokus memperhatikan gadis yang beberapa meter darinya. Benaknya memutar kembali ingatan di rumah sakit beberapa bulan lalu, ketika melihat gadis itu dalam keadaan yang... mungkin tidak ingin orang lain saksikan.
"Liam?"
"Hei, Park!"
Jadi... dia putri dari Adian Hartono yang kehilangan semuanya itu? Dan sekarang putri dari salah satu konglomerat di Indonesia itu... bekerja di sini? Sebagai pelayan?