6. Penguji Kesabaran

1211 Words
"Gwen! Tolong kasih minuman ini ke meja sebelas!" Seru suara seorang pria setelah menaruh beberapa gelas bir di atas meja bartender. Yang dipanggil, tanpa banyak bicara langsung menuruti perintah yang ditujukan untuknya. Di tengah suasana berisik dan orang-orang yang ramai dengan upaya mereka menyenangkan diri mereka sendiri, Gwen berusaha menerobos orang-orang itu, membawa empat gelas bir ukuran jumbo ke meja sebelas sesuai dengan yang sudah diarahkan Boby, rekan bartendernya tadi. Tidak salah, Gwen memang sedang ada di sebuah klub malam, bekerja sebagai pelayan bar setelah shift terakhirnya di Family Restoran selesai. Tanpa mengatakan apa pun, Gwen menaruh pesanan itu di meja, kembali untuk melakukan pekerjaan lainnya di tengah orang yang mabuk, setengah mabuk, bahkan di tengah-tengah orang yang sudah tidak sadarkan diri. Mungkin ada beberapa yang masih sepenuhnya sadar, tapi itu hanya berlaku untuk beberapa orang, sebelum nantinya mereka akan bernasib sama setelah beberapa jam ke depan. Pada dasarnya bar memang tempat untuk orang-orang yang menginginkan dan mengetahui hal itu, kan? "Mas, By. Meja lima minta tambahan bir 2." "Roger." Di tengah kesibukannya Boby menerima pesanan baru yang Gwen bawa, meninggalkan Gwen yang menunggu di depan meja karena dirinya belum dibutuhkan di tempat lain. "Hai." Seseorang setengah berteriak berusaha mengambil perhatian Gwen agar tertuju padanya. Seorang pria, dengan keadaan setengah mabuk di meja bartender yang tersenyum ke arah Gwen. "Gue udah beberapa kali ke sini dan lihat lo, tapi kita belum kenalan." "Saya bukan pengunjung." Timpal Gwen ringan. Situasi macam ini jelas bukan sekali atau dua kali Gwen temui, jelas sudah, beberapa bulan bekerja di sana sudah puluhan atau mungkin ratusan kali Gwen mendpati situasi yang sama. "Siapa peduli? Mau lo tamu di sini atau pelayan, asal lo cantik kayak gini gue mau kok kenalan sama lo." "Sayangnya saya yang nggak mau." Pria itu jelas tidak menduga apa yang baru saja didengarnya, tertawa remeh dia berniat berdiri meski dalam keadaannya yang sudah tidak bisa sepenuhnya mengontrol dirinya sendiri. "What?! Lo--pelayan di sini aja belagu ya? Lo nggak tahu berapa yang bisa gue keluarin buat lo jual harga diri lo itu?" "Berapa?" "Gwen." "Lo nantangin gue? Lo mau berapa? 100 juta? 200 juta? Ah, sayangnya cewek murahan kayak lo kayaknya nggak layak dapet sebanyak itu, pasti udah bingung mau pake duit sebanyak itu buat apa, kan?" Pria itu tertawa remeh, membuat Boby yang awalnya berdniat melerai bibit-bibit pertengkaran dibuat kesal juga karenanya. Tidak tahu saja orang ini, kalau Gwen bahkan sudah terlalu biasa memiliki uang jumlah itu, yah meski sekarang keadaannya berbalik. "Saya nggak tahu kalau Anda semiskin itu, saya kira Anda bisa kasih saya 100 miliar, kalau bisa mungkin akan saya pertimbangkan." "APA! Lo bilang gue--heh, pe*** nggak tahu diri, lo pikir lo siapa sampe berani ngatain gue miskin? Lo nggak sadar diri di sini posisi lo siapa?" "Wo, wo, wooo.... Gwen, ini pesenan meja 5, lo anterin ini dan take your time for rest, okay?" Mendorong Gwen pergi, Boby mencoba untuk menenangkan pengunjung yang sudah terpancing emosi karena percakapannya dengan Gwen. Boby tidak bisa menyalahkan Gwen untuk masalah ini, begitu pula dengan pengunjung itu, Boby tidak bisa menyalahkannya, karena kalau kalian pergi ke club malam ya hal macam itu jelas menjadi sesuatu yang biasa untuk dilihat dan dialami. Sementara Gwen yang disingkirkan dari sana jelas dengan senang hati pergi, membawa dua gelas bir pesanan dan mengantarnya ke meja yang sudah disebutkan. Sialnya, malam sepertinya tidak sedang berpihak pada gwen, karena ada saja kejadian yang membuat kepalanya panas. "Lho, lho. Gwen, kan? Gue nggak salah lihat? Lo beneran Gwen?" Suara seorang wanita, yang usianya kira-kira sama dengan Gwen. "Gila... gue nggak nyangka bisa ketemu lo di sini, Gwen. Gue kira yang mereka bilang itu bohong, ternyata--" Wanita itu tidak melanjutkan ucapannya, tapi semakin melemparkan tatapan mengejek dan meremehkan ke arah Gwen. "Ppffhh, dulu aja lo sok-sokan nggak mau main ke club. Sok alim, padahal kita di sini pure cuma buat senang-senang. Tapi sekarang? Lo justru nyari duit di tempat kayak gini? Are you kidding me? Lo nggak lagi cosplay, kan?" Sungguh, Gwen tidak ingin mendengarkan semua ucapan omong kosong wanita itu lebih jauh, menaruh dan meletakan bir pesanan meja itu dan hendak pergi begitu saja, sayangnya memang malam itu memang bukan malam damainya. "Ah, gue lupa. Bokap lo udah bangkrut, kan? Adek lo masuk rumah sakit, lo jelas butuh banyak uang. Mau gue pinjemin?" Tambah wanita itu dengan wajah yakin, tatapan meremehkannya masih sangat jelas terlihat meski keadaan club itu remang-remang. Gwen yang hendak pergi menghentikan gerakannya, berbalik kembali ke arah... ah, siapa namanya? Gwen bahkan lupa nama manusia yang pernah satu sekolahnya itu. Jelas, teman saja bukan, untuk apa Gwen mengingatnya? "Lo ada? Kalau gitu gue pinjem 100 M gimana? Ah, actualy gue butuh sekitar 500 M-an sih." Ditantang seperti itu, wanita itu terlihat terdiam sesaat, tidak mampu membalas ucapan Gwen dan hanya menatap Gwen dengan pandangan panik yang berusaha ditutupi. Melirik ke sekiar, teman-teman wanita itu yang duduk di sekitarnya tampak menunggu tanggapan yang akan diberikannya pada Gwen. "Ha-ha-ha-ha... Ngapain juga gue kasih pinjem lo segitu? Memang lo siapa gue?" "Ck, kalau nggak punya duit nggak udah sok nawarin pinjeman. Buang-buang waktu aja." Ucap Gwen remeh, kembali berbalik hendak pergi tapi... "Sial. Nggak punya kata lo?! Jelas gue punya! Cuma duit segitu nggak worth it aja buat lo, pec**! Tapi seenggaknya gue bisa kasih lo kalau cuma sekadar buat masukin nyokap lo yang udah nggak waras itu ke rumah sakit jiwa!" Gwen kembali berbalik, mengambil gelas bir yang tadi di letakannya dan melemparkan isinya ke arah wanita itu. Byurrr! Ah, Camila? Seingat Gwen itu namanya, nama yang beberapa kali Gwen dengar saat masa SMA dulu. "Aakkhhh! b******k! Apa-apaan lo--" Prannkkk! Itu masih Gwen, yang melemparkan gelas kosong yang tadi isinya dia lempar ke arah Camila ke tembok di belakang wanita yang menjadi sasarannya itu. Semua orang berteriak, membuat musik yang semula terdengar di mana-mana kini berhenti hingga semua perhatian kini terarah pada Gwen dan Camila. Gwen sungguh bukan orang yang pemarah, apalagi dengan emosinya yang meledak-ledak. Tidak. Gwen yang dulu tidak begitu, tapi semenjak percobaan bunuh diri adiknya, perselingkuhan ayahnya yang Gwen ketahui di waktu yang sama, dan kejadian-kejadian setelahnya yang menimpa keluarganya bertubi-tubi, Gwen tidak mampu mengontrol dengan baik semua itu lagi, terlebih, jika yang menyinggungnya itu sudah membawa-bawa nama ibunya, Gwen jelas tidak bisa berkompromi dengan akal sehatnya lagi. "LO GILA YA? LO PIKIR LU SIAPA, HAH? LO TUH BUKAN SIAPA-SIAPA LAGI! CUMA PEC** YANG KERJA DI CLUB BUAT BAYAR HUTANG AYAH LO DAN NYEMBUHIN ADEK SAMA IBU LO, KAN!" Gwen maju, tidak membalas ucapan itu dengan kata-kata, melainkan menarik Camila dengan kekuatannya hingga wanita itu terseret keluar dari meja yang tadi membatasi mereka. Gwen tidak peduli dengan jeritan yang keluar dari mulut Camila ketika Gwen menarik rambutnya dan membuat wanita itu mengikuti langkahnya dengan paksa. Gwen sungguh tidak peduli dengan keadaan sekitarnya yang bahkan berusaha untuk menghentikan Gwen, sampai... Langkah Gwen dihentikan, oleh genggaman kuat seseorang yang berada di pergelangan tangan gadis itu. Tangan Gwen yang mencengkram kuat kumpulan rambut Camila, tangan yang menahannya untuk menyakiti Camila lebih jauh lagi. Mata Gwen mengarah pada pemilik genggaman itu, bertemu tatap dengan sorot mata penuh amarah yang Gwen lempar padanya. "Liam Oppa!*" Seru Camila yang terdengar lega dengan kehadiran sosok itu. ______________ *Oppa = Panggilan Kakak untuk laki-laki dari perempuan yang lebih muda (Atau panggilan sayang untuk pasangan)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD