Bab 6. Arsen Menjadi Tersangka Pembunuhan

2157 Words
Setibanya di dalam kamar, Richo langsung menaruh tubuh lemas adiknya ke atas ranjang. "Tunggu sebentar ya, kakak ambilkan makanan dulu," ucap Richo yang kemudian hendak pergi namun ia urung kala melihat telapak kaki kiri adiknya dipenuhi oleh lubang kecil-kecil. "Ini kenapa?" tanyanya seraya memasang raut wajah penasarannya. "Semalam digigit tikus, Kak," jawab Majarani seraya menahan air matanya. "Keterlaluan!" batin Richo yang mengutuk perbuatan Saka dan Meliza. Pria itu kemudian bergegas pergi dari sana untuk mengambil makanan sekaligus menemui ayah dan adik tirinya yang sudah mendzolimi Majarani. Setibanya di lantai satu, Richo langsung menemui keluarganya yang baru saja selesai sarapan di meja makan. "Apa yang telah kalian lakukan pada Maja?" tanya Richo dengan tegas pada seluruh anggota keluarganya. "Lebay, hanya dikurung saja kok." Saka menjawab pertanyaan Richo dengan santai. "Dikurung saja ayah bilang? Dia kelaparan dan kakinya digigit tikus, Yah!" "Bukan ayah yang mengurungnya tapi aku!" Meliza mengakui semua perbuatannya. "Kenapa? Kenapa kamu lakukan itu?" tanya Richo seraya mendekat ke arah Meliza. "Kemarin aku melihatnya diantar pulang oleh Arsen dan aku nggak terima!" jawab Meliza dengan nada tinggi. "Perbuatanmu ini nggak bisa dimaafkan, kamu su—" "Apa? Kenapa masih membela Maja, dia itu w************n yang nggak pantas untuk dibela!" Meliza memotong ucapan Richo sambil menghina adik tirinya. "Apa yang ia lakukan sehingga kamu sangat membencinya? Dia hanya diantar pulang, hanya itu!" ucap Richo dengan nada tinggi. "Ayo ikut kakak! Kamu harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu pada Maja!" lanjut Richo seraya mengambil tangan kanan Meliza dan hendak membawanya ke tempat yang seharusnya Meliza berada. "Lepaskan putriku! Jangan kejam pada adikmu sendiri!" marah Saka seraya melepaskan tangan Meliza dari genggaman Richo. "Dia sudah membuat Maja kelaparan dan—" "Lalu apa bedanya dengan kamu? Kenapa kamu malah mengurusi masalah ini tapi membiarkan dia tetap kelaparan?" jawab Saka seraya memotong ucapan putra sulungnya. "Jika kamu memang menyayanginya maka pikiran dia!" Vina turut ikut campur. Richo terdiam, memang benar saat ini yang harus ia urusi adalah kesehatan Majarani bukan perkara ini yang bisa dibicarakan nanti. "Meliza, urusan kita belum selesai!" ucap Richo yang kemudian pergi ke arah meja makan untuk mengambil makanan. Setelah mengisi satu piring nasi dan lauk-pauk, Richo bergegas kembali ke lantai dua untuk memberikan makanan itu pada adiknya. "Ayah bagaimana ini? Kak Ric pasti nggak tinggal diam, aku takut dia memperpanjang masalah ini, aku nggak mau didenda atau masuk penjara!" rengek Meliza pada Saka. "Tenang, dia nggak akan bisa melakukan hal itu padamu!" jawab Saka dengan santai. *** Kini Richo sudah masuk ke dalam kamar adiknya dengan membawa nampan kecil berisi piring makanan dan segelas air putih, pria itu duduk di pinggiran ranjang. "Kakak membawa makanan dan minuman?" tanya Majarani seraya beranjak duduk dan menatap kakaknya dengan tatapan penuh harap. "Iya, kamu makan ya!" jawab Richo seraya menyerahkan piring berisi makanan itu pada adiknya. "Bisa tolong suapi Maja? Tangan Maja rasanya nggak bisa digerakkan, lemas?" pinta Majarani pada Richo. Richo sekilas melihat ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan waktu yang mulai menipis, ia bisa telat ke Polres bila tidak berangkat sekarang. "Kenapa? Kakak pasti telat ya, nggak apa-apa deh, Maja makan sendiri aja!" ucap Majarani seraya mengambil makanan piring tersebut. Majarani langsung menggunakan tangan kanannya untuk menyendok nasi, namun ia kesulitan mengarahkan sendok berisi makanan itu ke mulutnya sebab tangannya terasa sangat lemas dan sulit digerakkan. Merasa tak tega melihat kondisi sang adik, Richo pun mengalah dan mengambil sendok yang ada di tangan adiknya sambil berkata, "Sini biar kakak suapi!" Di detik berikutnya, mata Richo tak berkedip menatap adiknya yang makan dengan lahap serta terlihat ada tatapan nanar di mata sang adik, tampaknya Majarani memang sangat kelaparan sekarang. "Andai semalam kakak memeriksa kamarmu maka kamu nggak akan kelaparan begini, Dek." "Dan andai kakak tahu kamu belum makan, maka kakak nggak akan asik makan sendiri tadi malam." Richo terlihat memasang raut wajah menyesalnya kala ia tak tahu bahwa adiknya sebenarnya sedang tidak baik-baik saja tadi malam. "Ini bukan salah kakak, lupakan saja semuanya dan Maja harap nggak ada dendam di hati kakak untuk mbak Liza!" ucap Majarani sambil tersenyum dan menggenggam tangan sang kakak. Beberapa menit kemudian, Richo turun ke lantai satu untuk menaruh piring dan gelas di dapur, namun ia mendengar ada suara ketukan pintu, Richo pun bergegas menaruh piring dan gelas tersebut ke kursi dekat dapur dan ia lantas segera pergi untuk mengecek siapa tamu yang datang pagi-pagi begini. *** Setelah pintu terbuka, pria berseragam polisi itu melihat ada seorang pria yang seumuran dengannya sedang berdiri di depan pintu dengan wajah datar. "Maaf, Anda siapa?" tanya Richo pada pria berwajah datar tersebut. "Arsen," jawab Arsen dengan singkat dan seraya memasang wajah datarnya. "Cari siapa?" tanya Richo pada Arsen lagi. "Arsen! Pasti kamu cari aku ya?" tanya Meliza dengan centil kala melihat ada Arsen di depan pintu. Bukannya tertarik pada Meliza, Arsen justru membuang tatapannya ke sembarang arah. "Enggak! Aku sedang mencari seorang gadis bernama Majarani!" jawab Arsen tanpa menatap Meliza yang sudah berdiri di hadapannya. "Ada apa mencarinya?" tanya Meliza pada Arsen. "Hanya mau mengembalikan kalungnya yang patah dan terlepas kemarin!" jawab Arsen seraya menyodorkan kalung emas yang pernah dibelikan Richo untuk Majarani. "Oh jadi ini rumah gadis baik hati itu?" ucap Ratih seraya berjalan ke arah putranya, Ratih memang ikut sang putra karena ia penasaran di mana Majarani tinggal. "Bukan, dia hanya numpang di sini, ya ... mantan asisten rumah tangga!" bohong Meliza pada Arsen dan Ratih. "Oh, jadi gadis itu kerja di rumah pacarnya sendiri?" tanya Arsen pada Meliza. "Enggak! Dia bukan pembantu, dia putri keluarga Saka!" Richo menjelaskan semua kebenarannya. "Kakak bicara apa sih, sudahlah nggak usah bela dia, dia itu—" "Cukup Meliza! Cukup membuat Maja menderita!" Richo memarahi adik tirinya. "Oh, jadi dia sudah punya pacar?" tanya Ratih pada Richo dan Meliza. "Belum, saya kakaknya bukan pacarnya!" Richo meluruskan semuanya. Mendengar pernyataan dari Richo, Arsen spontan menatap Richo dengan tatapan terkejutnya, ternyata ia telah salah mengira mengenai hubungan Majarani dan Richo. Dan entah mengapa, rasanya hati Arsen sangat bahagia setelah mendengar bahwa Richo bukan pacar Majarani. Namun ia tak langsung percaya begitu saja, ia kini melihat secara seksama wajah Richo dan ia mulai melihat ada kemiripan di antara Richo dengan Majarani dan sepertinya mereka berdua memang sama-sama berdarah Tionghoa dan saudara. "Mana kalungnya?" pinta Richo seraya mengulurkan tangannya, meminta kalung milik sang adik yang masih dipegang oleh Arsen. Arsen kemudian dengan segera memberikan kalung itu pada Richo. "Bisa kita bicara sebentar?" "Bisa!" jawab Arsen yang kemudian pergi ke arah luar bersama dengan Richo. Beberapa saat kemudian, mereka berdua duduk di kursi taman yang ada di halaman depan—bawah pohon mangga. Sementara, Ratih hanya diam di depan rumah Saka. "Jadi kamu dan Maja bersaudara?" "Iya, saudara tiri!" "Mengapa putraku bisa dekat dengan mantannya lagi dan mengapa calon menantuku terkait dengan gadis ini!" ucap Ratih di dalam hatinya. "Ini nggak boleh dibiarkan, jika Maja adalah adik Liza, otomatis sifatnya juga akan sama seperti Liza, pokoknya aku nggak mau putraku terluka untuk kedua kalinya!" Sebagai seorang ibu, tentu Ratih tak rela anaknya disakiti untuk yang kedua kalinya. Di bawah pohon, kini Richo sedang berbicara dengan Arsen. "Saya mohon jauhi Maja!" pinta Richo pada Arsen. "Aku juga tak tertarik padanya, tapi kamu nggak berhak mengurusi hidupku mau dekat dengan siapa saja!" Arsen merasa kesal kala Richo seolah mengatur interaksinya. "Kamu nggak ngerti kenapa saya melarang kamu dekat dengannya." "Kamu nggak ngerti dukanya, dia diintimidasi oleh keluarga karena dekat denganmu, jadi saya sangat berterima kasih apabila kamu mau menjauhinya." "Intimidasi? Mana ada keluarga yang mengintimidasi anggota keluarganya sendiri!" Arsen tak percaya pada ucapan sang pria berseragam polisi tersebut. "Sejak berusia tiga tahun dan semenjak meninggalnya ibu kandung kami, dia sudah kehilangan kasih sayang dari ayahnya, dia selalu diperlakukan nggak adil di rumah ini!" "Yang semua orang tahu hanya bahagianya aja tapi nggak tahu dukanya, dia selalu tersenyum namun hatinya sebenarnya hancur dan dia selalu mencoba tegar untuk orang yang dia sayangi." "Kasih sayang orangtua sudah nggak dia dapatkan semenjak kecil, dia juga kuliah dengan uangnya sendiri, empat tahun dia bekerja di toko baju untuk membiayai kuliahnya, kadang aku juga membantu biaya kuliahnya, tapi aku hanya mampu membantu sedikit." Richo terus menceritakan semua duka Majarani agar Arsen paham dan mau menjauh dari Majarani. "Aku minta jangan dekati dia dan jangan membuatnya jatuh cinta karena hatinya akan terluka setelah cintanya direnggut oleh kakaknya sendiri." "Maksudnya?" tanya Arsen pada Richo. "Meliza juga mencintaimu dan aku takut Meliza akan semakin membenci Maja dan terus berniat untuk menyakiti Maja." Richo menjawab seraya memasang tatapan sendunya. "Sebenarnya aku tak tertarik pada Maja dan aku memang nggak punya niat untuk mendekatinya, namun entah mengapa ketika mendengar dukanya aku menjadi iba dan kasihan padanya," ucap Arsen di dalam hatinya. "Hanya itu yang mau aku katakan!" ucap Richo seraya beranjak berdiri dari duduknya untuk segera pergi ke Polres. *** Siang harinya, Richo dan rekan-rekannya melakukan tugas di lapangan. Melakukan penyelidikan terkait kasus pembunuhan yang terjadi di kota itu. Dengan tangan yang dibungkus oleh sarung tangan, Richo mengambil sebuah kartu nama yang ada di atas tanah. Pandangannya sangat fokus ke arah kartu itu dan ia bisa membaca dengan jelas nama yang tertera di sana. "Kenapa kartu nama Arsen ada di sini?" Richo bertanya-tanya di dalam hatinya. "Menemukan bukti?" tanya Iptu. Sena yang tak lain adalah pimpinan dalam penyelidikan kasus itu. "Iya, saya menemukan kartu nama ini!" jawab Richo seraya menunjukkan kartu nama tersebut pada atasannya. *** Keesokkan harinya, Majarani diundang makan siang di sebuah restoran oleh keluarga Arsen. "Rasanya aku ingin menolak, namun aku merasa nggak enak pada Tante Ratih!" ucap Majarani yang kemudian bergegas pergi. Namun ketika ia hendak keluar, ia dihubungi oleh Ratih. "Halo!" ucap Majarani. "Makan siangnya dibatalkan karena Arsen ada di Polres!" jawab Ratih dari seberang teleponnya. "Apa?" Majarani sangat terkejut setelah mendengar kabar buruk dari Ratih. "Dia menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan seorang pria!" Ratih menjelaskan permasalahannya pada Majarani. Setelah mendengar semuanya, Majarani pun segera memutus sambungan teleponnya dan menaruh ponselnya ke dalam saku celananya. "Dia memang pria kulkas tapi nggak mungkin dia melakukan hal kejam semacam itu, aku harus menolongnya!" ucap Majarani yang kemudian bergegas pergi ke Polres untuk menolong Arsen. *** Tak beberapa lama kemudian, taksi yang ditumpangi oleh Majarani telah tiba di Polres. Setelah memberikan uang bayaran pada sang sopir, Majarani pun bergegas keluar dari taksi dan berjalan ke arah Polres. Di depan ia berpapasan dengan kakaknya yang sedang bersama dengan rekan kepolisian yang lain. "Kakak!" panggilnya. Richo hanya diam menatapnya dengan tatapan sendu. "Mengapa Arsen bisa menjadi tersangka?" tanya Majarani pada kakaknya. "Kartu namanya ada di tempat kejadian perkara dan sidik jarinya ada di sebuah tongkat yang diduga kuat adalah alat untuk membunuh!" jawab Richo dengan jujur. "Enggak! Pilot kulkas itu nggak mungkin membunuh, dia pria baik-baik, Kak!" Majarani membela Arsen. "Kakak harus apa? Semua bukti mengarah padanya, Maja. Atasan kakak juga sudah menetapkan dia sebagai tersangka!" jawab Richo. "Di mana dia sekarang?" tanya Majarani pada kakaknya. "Ada di ruang pemeriksaan!" jawab Richo. Majarani pun hendak menemui Arsen namun tangannya dicekal oleh Richo. "Mau apa menemuinya? Lebih baik pulang saja dan istirahat, infeksi mu masih belum sembuh!" Majarani terdiam kala merasa ada yang mengalir dari hidungnya. Melihat ada darah yang keluar dari hidung adiknya, Richo refleks menggunakan telapak tangannya untuk menahan darah yang hendak mengalir lagi. Rekannya yang melihat hal itu pun langsung memberikan tisu pada Richo. "Maja, kamu mungkin infeksi karena gigitan tikus itu, jadi kamu harus banyak istirahat!" "Pilot kulkas bukan pembunuh!" Majarani masih membela Arsen. Entah mengapa hatinya merasa tak tenang saat ini dan seolah ia tidak ingin Arsen kenapa-napa. "Jika dia nggak salah maka dia nggak akan dihukum, Dek. Tenanglah karena dia masih berstatus tersangka bukan pelaku." "Lima hari lagi kamu ada tugas penerbangan, kan? Jadi, lebih baik kamu jaga kesehatan agar bisa bertugas." Richo membujuk adiknya untuk pulang. "Kamu pasti belum makan, kan? Ayo kita makan siang bersama, kebetulan ini jam istirahat," ajak Richo sambil tersenyum pada adiknya. "Baiklah." Majarani patuh sebab ia mengingat pesan dari dokter bahwa jika mau sembuh total, ia tak boleh kelelahan dan tak boleh telat makan. Majarani pun hendak bergegas pergi bersama dengan kakak dan teman-teman kakaknya untuk makan siang di restoran dekat Polres. Namun mendadak panggilan alam memangilnya, ia pun berkata, "Kak, Maja mau ke toilet." "Ke toilet lah, kakak akan menunggumu di sini." Majarani kemudian segera pergi ke arah belakang Polres untuk mencari toilet. Sementara Richo duduk di kursi tunggu depan SPKT sendirian sebab teman-temannya pergi duluan ke restoran usai Richo memintanya. *** Di depan toilet, Majarani hanya diam karena ia tak melihat ada tanda toilet pria atau wanita di sana. "Apakah ini toilet wanita?" tanyanya pada dirinya sendiri yang kemudian hendak masuk. Namun, Majarani terlonjak kaget kala pintu toilet terbuka dan terlihatlah seorang polisi pria bernama Liam keluar dari toilet. "Ada apa? Toilet wanita ada di sebelah sana bukan di sini," kata Liam seraya menunjuk ke arah toilet dengan pintu berwarna hijau yang berada tak jauh dari sana. "Oh, maaf, saya nggak ngerti!" jawab Majarani yang kemudian langsung pergi ke arah toilet wanita. "Siapa gadis itu? Kenapa wajahnya nggak asing?" batin Liam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD