Cinta boleh, bodoh jangan!
Pernah mendengar kata-kata seperti itu? Kata-kata yang sering di ucapkan oleh para ABG yang sedang menginjak masa remaja. Namun kenyataannya kata-kata itu hanya kata semu yang kenyataanya tidak benar. Mengapa begitu? Apa kalian pernah mendengar cinta memerlukan logika? Tentu saja tidak! Karena cinta itu datang tanpa di minta lalu menetap walau hati tak menginginkan.
Andai saja Anisa bisa memilih pada siapa dia akan memberikan hatinya, tentu saja dia tidak akan pernah memberikannya hatinya kepada kakak tingkatnya semasa kuliah dulu yang meliriknya saja tidak.
Anisa tidak berharap ingin di sapa lelaki yang dulu menjadi kakak tingkatnya semasa kuliah, Anisa hanya ingin di lirik oleh lelaki itu, tapi kenyataannya tidak semanis apa yang Anisa inginkan.
"Melamun lagi, Sa?" Tanya Rani, sahabat Anisa sekaligus rekan kerja Anisa di butik yang Anisa dan kedua sahabatnya dirikan sendiri, yaitu Senja butik.
Kenapa harus senja? Jawabannya cukup simpel, karena mereka bertiga menyukai senja. Tetapi ada yang aneh dari Anisa, meski dia menyukai senja, dia sangat membenci sore hari. Karena ketika hari sudah menjelang sore dia harus pulang. Bukan dia tidak menyukai suasana rumahnya, entah mengapa akhir-akhir ini dia ingin menghindar dari kakaknya yang kerap kali membicarakan lelaki bernama Jordan. Anisa tahu, di dunia ini yang namanya Jordan tidak hanya satu. Tapi apa salah jika Anisa khawatir kalau lelaki yang bernama Jordan yang sering kali kakaknya sebut itu adalah laki-laki di masalalunya yang sampai sekarang dia ingin lupakan? Anisa takut kalau apa yang akhir-akhir ini dia pikirkan terjadi, yaitu harus merelakan laki-laki yang dia cintai menjadi kakak iparnya.
"Masih mikirin penguasa restoran yang ada di depan butik kita ini, Sa? Dunia ini luas, tapi kamu masih mikirin lelaki dingin seperti dia? Aku rasa otakmu sudah tidak waras." Ucap Jihan, yang juga sahabat Anisa sekaligus rekan kerja Anisa di toko butik ini. Jihan sama sekali tidak setuju ketika Anisa mengatakan kalau dia menyukai kakak tingkatnya yang menurut Jihan sangat tidak layak untuk di cintai. Perempuan bertalenta serta menawan seperti Anisa layak mendapatkan lelaki yang lebih dari Jordan Mahendra.
"Kelebihan dia apasih, Sa? Sampai-sampai kamu tidak bisa melupakan dia. Kalau jawaban kamu itu ganteng, dia memang genteng dan mapan. Tapi sikapnya itu loh bikin mual." Lanjut Jihan sambil melihat kearah luar butiknya yang memperlihatkan sosok laki-laki yang hendak masuk kedalam mobil.
Anisa hanya diam ketika kedua sahabatnya mulai jengah dengan dirinya yang terus saja menyukai kakak tingkatnya meski dirinya sudah lulus kuliah dan bekerja.
Memangnya siapa yang ingin terus begini? Menyimpan perasaan sendirian dan mencintai dalam diam adalah hal yang melelahkan. Tapi mau bagaimana lagi, perasaan ini kian hari kian tumbuh. Dia sudah mencoba untuk melupakan laki-laki yang sekarang menjadi pengusaha kuliner dengan restoran di berbagai cabang.
"Han, disain baju pengantin yang kamu buat sudah selesai?" Anisa mencoba mengalihkan pembicaraan. Perasaannya kian tidak menentu ketika kedua sahabatnya itu membahas tentang laki-laki yang namanya masih bersemayam di hatinya. Meski kedua sahabatnya tidak menyebut nama lelaki itu, tapi tetep saja dia tidak nyaman kalau kedua sahabatnya membahas hal yang sedang mati-matian dia ingin lupakan dan hilangkan dari ingatannya.
Jihan dan Rani saling tatap, lalu keduanya memutar kedua bola mata jengah. Selalu begitu, mengalihkan pembicaraan.
"Belum, aku butuh menambahkan warna di gambaranku itu." Jawab Jihan yang kemudian berlalu pergi. Sedangkan Rani memegang pundak kanan Anisa dan tersenyum tipis.
"Tenang, kalau dia itu jodohmu, dia pasti akan bersamamu." Ucap Rani yang tidak mau membuat Anisa larut dalam kesedihan Karena perasaannya yang tidak terbalas. Sedangkan Anisa yang mendengar ucapan Rani hanya mampu menghela nafas panjang dengan kepala menunduk.
***
Anisa sengaja mematikan handphone miliknya karena malam ini dia tidak ingin di ganggu. Menikmati suasana malam ini dengan duduk di kursi kayu yang terletak di taman kota sambil memperhatikan muda-mudi yang tengah berbahagia seperti tidak mempunyai beban lebih menyenangkan dari pada pulang ke rumah dan mendengarkan curhatan kakaknya mengenai sang pujaan hatinya yang ingin serius padanya.
Keluarga Anisa juga mempunyai restoran, tapi Anisa tidak mau mengelola restoran milik keluarganya. Bukan karena dia tidak bisa memasak, hanya saja dia ingin mendirikan usaha sendiri. Dan beruntungnya mama dan papanya mengijinkan dirinya membuat usaha sendiri, dan berdirilah senja butik tersebut. Jadi yang mengelola restoran milik keluarganya adalah Amira, kakaknya.
"Bagaimana rasanya berpegangan tangan dan mengobrol dengan pasangan yang kita cintai? Apa rasanya menyenangkan?" Sebenernya pertanyaan itu tidak tertuju untuk siapa-siapa, melainkan untuk dirinya sendiri. Karena dirinya tidak pernah melakukan itu. Bukan tidak ada laki-laki yang mau menjalin hubungan dengannya. Diluar sana banyak lelaki yang mengantri untuk memilikinya, namun sialnya nama lelaki yang pernah menjadi kakak tingkatnya semasa kuliah membuatnya harus menolak mereka semua dengan alasan dia tidak mau menikah muda dan ingin mengejar karirnya agar bisa menjadi perempuan karir seperti yang dia inginkan sejak kecil.
"Andai perasanku terbalas, mungkin aku akan menjadi perempuan paling bahagia karena bisa memiliki laki-laki yang sudah lama aku dambakan menjadi imamku selama ini." Lagi-lagi pikiran ingin memilki membuat d**a Anisa terasa nyeri. Bagaimana mungkin lelaki itu menerima perasaannya dan menikah dengannya, kalau lelaki itu saja tidak tahu bahwa dirinya mencintainya.
Jordan Mahendra!
Rasanya Anisa ingin merengkuh tubuh lelaki itu kedalam pelukannya dan menjadikan bahu lelaki itu sebagai sandaran kepalanya ketika pekerjaan kantornya menumpuk dan beban di pundaknya kian berat dan membuatnya lelah. Tapi sepertinya itu hanya mimpi belaka yang hanya berujung semu dan tidak akan pernah menjadi nyata.
"Apa sesakit ini berharap pada seseorang yang hatinya tidak untuk kita? Apa harus semenyakitkan ini untuk bisa memiliki laki-laki yang kita dambakan untuk menjadi imam kita?" Tanya Anisa sambil memegang dadanya yang kian terasa nyeri. Sudah berapa kali Anisa di tampar kenyataan bahwa lelaki itu tidak di takdirkan untuknya? Jangankan bermimpi untuk hidup seatap dengan lelaki itu, di lirik lelaki itu saja tidak.
***
Anisa merebahkan tubuhnya dengan badan yang terasa remuk. Menjadi disainer bukan seenak yang semua orang pikirkan. Dia harus mengurus pelanggannya dengan maksimal meski ada banyak pegawai di butiknya. Sebagai pemilik butik yang baik Anisa harus memastikan sendiri kalau pelanggannya puas karena sudah datang ke butiknya dan memesan gaun pernikahan atau sejenisnya di butik miliknya.
Beruntung ketika dirinya pulang tadi lampu rumah sudah pada mati, itu artinya semua anggota keluarganya sudah tertidur, termasuk kakak perempuannya yang menjadi alasan dirinya untuk berada di taman kota dan malas pulang.
Sebenernya Anisa tidak menyukai kegelapan, tapi kalau gelap seperti ini bisa menutupi air matanya maka dia akan membiarkan lampu kamarnya gelap tanpa penerangan lampu apapun.
Anisa menatap sebuah foto yang selama ini tersimpan rapi di dalam galeri handphonenya. Bahkan dengan bodohnya, dia menggunakan nama lelaki itu, Jordan, untuk menjadi password layar handphone miliknya.
"Aku mungkin sudah terlalu bodoh karena mencintai laki-laki yang sampai kapanpun tidak bisa aku miliki. Jangankan memilikimu, untuk menyapamu saja aku tidak berani. Aku mampu memintamu kepada Tuhan secara terang-terangan, tapi aku tidak berani mendatangimu dan membicarakan perasaanku kepadamu secara terus terang. Aku tidak takut kamu akan marah padaku karena aku lancang menyukaimu selama ini, aku hanya takut kamu membenciku dan pergi jauh dari diriku sehingga aku tidak lagi bisa menatapmu seperti dulu." Ucap Anisa sambil menatap layar handphone miliknya. Foto itu dia ambil ketika dia tidak sengaja melihat Jordan duduk di bawah pohon yang terletak di belakang kampus saat kebetulan dia juga ada di sana. Kebahagiaannya cukup sederhana, bisa mendapatkan foto laki-laki yang selama ini selalu membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak karena memikirkannya.
Dulu restoran yang terletak di depan butik miliknya dan kedua sahabatnya bukan Jordan yang mengelola, tetapi kedua orang tua Jordan. Anisa juga tidak tahu perihal pemilik restoran sebelumnya adalah orang tua laki-laki yang selama ini mati-matian dia lupakan dan akhirnya kembali datang di hadapannya dengan menimbulkan rasa yang mati-matian Anisa ingin membuangnya. Ada rasa senang ketika Anisa melihat Jordan kembali ada di hadapannya seperti saat kuliah dulu. Tapi ada juga rasa sedih di saat Anisa sadar bahwa kembalinya Jordan di hadapannya tidak bisa menjamin dirinya bisa dekat dengan lelaki itu.
"Andaikan perasaan bisa diatur dan hati bisa di berikan kepada siapa saja dengan cara memilih, maka aku tidak akan pernah mencintaimu dan memberikan hatiku padamu. Karena mencintai sendiri dan menatapmu setiap hari dengan cara diam-diam itu seperti menggenggam pisau yang aku sendiri tahu tanganku akan terluka ketika aku menggenggam pisau itu tetapi aku masih saja keras kepala menggenggam pisau itu hingga tanganku berdarah." Anisa segera mengusap air matanya. Pantulan sinar rembulan masuk kedalam kamarnya melalui kaca kamarnya yang belum dia tutup menggunakan tirai.
Andaikan saja dirinya dulu mendengarkan Rani dan juga Jihan untuk tidak mencintai Jordan terlalu dalam, mungkin dirinya tidak akan terluka separah ini ketika perasaannya tidak kunjung terbalas. Tidak kunjung berbalas? Memangnya jordan ingin membalas perasaannya? Tahu dirinya mencintainya saja tidak. Disini hanya dirinya yang berharap di cintai oleh Jordan, sedangkan Jordan tidak. Jordan sama sekali tidak pernah mencintainya. Karena tatapan dingin serta datarnya ketika berpapasan di kampus atau di jalan, membuat Anisa tahu kalau Jordan sama sekali tidak mempunyai perasaan kepadanya.
"Mungkin benar kata Jihan dan Rani, mencintaimu sama saja menginjak duri yang sudah tahu sakit tapi aku terjang. Dulu aku sudah bisa sedikit melupakanmu, tapi kenapa kamu kembali dan membuatku menjadi perempuan lemah karena menaruh perasaan dan harapan kepada lelaki dingin sepertimu?" Anisa meruntuki dirinya sendiri yang tidak bisa melupakan laki-laki yang selama ini sudah mati-matian dirinya lupakan. Dirinya tidak bersalah, Jordan juga tidak bersalah, tetapi semester yang seakan ingin bermain-main dengannya.
Butiknya dan restoran Jordan berhadapan-hadapan, tentu saja kaca butiknya yang transparan membuatnya bisa langsung melihat kegiatan apa yang Jordan lakukan dan kapan Jordan datang serta kapan Jordan pulang dengan jelas. Dan itu membuatnya semakin tidak bisa melupakan sosok laki-laki yang selama ini mati-matian namanya dirinya hapus dari hatinya. Setelah dirinya sudah lebih baik ketika Jordan tidak lagi muncul kembali, hal yang paling mengejutkan adalah dirinya bertemu lelaki itu kembali di sebuah tempat yang tidak mungkin dia hindari. Karena Anisa tidak mungkin memindah butiknya jauh dari restoran Jordan, karena dirinya dan kedua sahabatnya sudah membayar lunas tanah yang sekarang dirinya dan kedua sahabatnya buat untuk mendirikan butik. Dan itu harganya tidak murah. Dirinya tidak bisa egois dengan mencampurkan perasaan dalam pekerjaannya.
"Apakah perasanku ini akan terbalas, atau hanya berakhir dengan hanya aku yang mencintaimu sedangkan kamu tidak?"