Rabu, 21 April 2021
Dari seminggu lalu pesanan kebaya anak-anak serta dewasa melonjak naik. Jujur saja Anisa tidak menyadari bahwa hari ini adalah hari Kartini. Anisa melihat penampilan kakaknya yang begitu sangat memukau. Pantas saja banyak yang menyukai kakaknya, rupanya kakaknya secantik ini. Apa dia iri? Jawabannya tentu saja tidak. Dia tidak membutuhkan cinta dari lelaki lain selain cinta dari laki-laki yang bernama Jordan.
Huh, Jordan lagi.
Anisa sadar, dia tidak bisa lepas dengan bayang-bayang lelaki itu. Cintanya untuk lelaki itu terlalu dalam, tapi sayangnya lelaki itu sama sekali tidak mengetahuinya.
"Ra, kapan calon tunangan kamu itu bisa ketemu dengan mama dan Papa? Malam ini kami tidak ada acara. Kalau bisa, suruh saja calon tunangan kamu itu kesini bersama kedua orang tuanya agar papa dan mama bisa lebih mengenalnya dan keluarganya." Ucap Bima, selaku orang tua Anisa dan Amira. Kedua perempuan yang hanya berselisih dua tahun.
Amira terlihat malu-malu ketika papanya membahas tentang calon tunangannya, bahkan pipi perempuan yang memiliki paras cantik itu sampai memerah.
"Baiklah, Pa. Sore ini aku akan menemuinya ketika urusanku di restoran selesai." Jawab Amira yang entah mengapa membuat Anisa tidak suka. Padahal biasanya Anisa tidak perduli kakaknya akan menjalin hubungan dengan siapa dan akan berjalan seperti apa. Tetapi kali ini dia terusik dengan hubungan kakaknya beserta laki-laki yang sebentar lagi akan bertunangan dengan kakaknya. Entah mengapa ketika kemarin kakaknya mengatakan kalau calon tunangannya itu bernama Jordan mendadak hatinya terasa panas. Hatinya seakan tercambik dengan perih. Padahal dirinya juga tidak tahu apa yang kakaknya maksud adalah Jordan kakak tingkatnya semasa kuliah dulu atau tidak.
Anisa mencoba berpikiran positif kalau Jordan yang kakaknya itu ingin kenalkan kepada keluarganya nanti malam bukan Jordan yang dari dulu sampai sekarang memenuhi hati dan otaknya. Untuk menepis semua pikiran buruk yang bersarang di otaknya, Anisa mencoba menggelengkan kepalanya. Tingkah Anisa yang berbeda dari biasanya tertangkap oleh mamanya yang tidak sengaja menatapnya.
"Sa, apa kamu sakit sayang? Kalau kamu sakit lebih baik kamu jangan ke butik. Biar nanti mama yang menelpon Jihan dan Rani. Mama perhatikan sedari tadi kamu gelisah begitu. Mama tidak mau kamu kenapa-napa." Ucap Rahma, ibu Anisa dan Amira. Sontak ucapan Rahma itu langsung mengundang tatapan cemas Amira dan Bima.
"Loh, kamu sakit dek? Kenapa gak bilang sama kakak?" Tanya Anisa sambil menempelkan punggung tangannya ke kening Anisa yang duduk di sampingnya. Anisa menggelengkan kepalanya pelan, kakaknya selalu begitu, memperlakukan dirinya layaknya anak kecil.
"Anisa tidak apa-apa, Kak. Kakak, Mama, dan Papa tidak perlu cemas begitu." Anisa memasang senyuman tipis yang dirinya tunjukkan kepada mereka agar mereka tidak mencemaskannya lagi. Terlebih perempuan muda yang duduk di sampingnya, dia pasti akan posesif terhadapnya jika sampai dirinya terlihat lesu. Kakaknya pasti akan memaksanya tetap berada di rumah dan melarangnya pergi bekerja karena kakaknya tidak mau terjadi hal buruk padanya.
"Kalau begitu biar kakak yang mengantarmu pergi ke butik." Tawar Amira kepada adiknya.
"Aku rasa itu tidak perlu, Kak. Aku pergi dulu Ma, Pa." Tolak Anisa sambil meraih punggung tangan mama dan papanya. Kemudian dia mencubit gemas pipi tembem kakaknya hingga membuat kakaknya itu mengaduh dan berteriak,
"Pipiku bisa kendor kalau terus kamu tarik, Sa!" Teriak Amira yang membuat Anisa tertawa kecil.
Anisa melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sambil menghela nafas kasar. Jam 07.35, dia sudah telat 35 menit. Kemarin dia sudah berjanji kepada Jihan dan Rani untuk datang ke butik mereka tepat jam 07.00. karena di butik sedang ramai pelanggan, jadi dirinya tidak boleh telat.
"Aduh, Jihan dan Rani bisa marah nih, semoga saja jalannya tidak mancet." Gumam Anisa sambil memegang setir mobilnya dengan erat. Dia sedang sangat terburu-buru.
***
"Aku rasa temanmu itu akan telat lagi, Han. Apa dia lupa kalau hari ini adalah hari Kartini yang artinya akan ada banyak pelanggan yang datang ke butik kita untuk mengambil kebaya pesanan mereka atau membeli gaun di butik kita ini?" Ucap Rani sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Rani sedang duduk di depan Jihan yang tengah melihat hasil gambarannya. Karena dari Anisa dan Rani, Jihan lebih teliti dan tidak teledor. Kerjanya begitu rapi dan bagus.
Jihan tersenyum mengejek. "Memangnya apa yang lebih penting di hidupnya selain menghafal nama Jordan yang ketus dan dingin itu? Tentu saja hari ini dia pasti melupakan janjinya kemarin untuk datang lebih awal dari biasanya." Jawab Jihan yang di balas kekehan kecil oleh Rani. Rani tahu kalau Jihan sangat tidak setuju kalau Anisa bersama dengan Jordan. Karena menurut Jihan Jordan itu sombong. Jelas-jelas butiknya dan restoran milik laki-laki itu berhadap-hadapan, Tapi ketika berpapasan Jordan malah sama sekali tidak menyapanya, padahal dirinya sudah tersenyum sopan kepada kakak tingkatnya itu.
Sudah menjadi kebiasaan untuk senja butik ini memberikan diskon 30% untuk para pelanggannya jika pada hari-hari tertentu seperti ini. Tentu saja hal itu tidak di lewatkan oleh para pelanggannya untuk menyerbu butik ini dan membeli barang-barang yang mereka inginkan sebelum harganya kembali normal.
"Yaampun Han, Ran, di jalan tuh mancet banget." Anisa berdiri di depan kedua sahabatnya dengan nafas terengah. Rani dan Jihan yang mendengar alasan Anisa telat datang ke butik ini karena mancet langsung saling tatap dan memutar kedua bola mata malas.
"Alasan." Balas Jihan dan Rani dengan kompak. Hal itu membuat Anisa tersenyum kikuk sambil menggaruk kepalanya sendiri yang Jihan dan Rani tebak tidaklah gatal.
"Sumpah aku tuh lupa kalau hari ini hari Kartini." Ucap Anisa sambil menggigit ujung bibirnya dan tersenyum malu kepada kedua sahabatnya.
"Memangnya apa lagi yang kamu ingat selain nama Jordan Mahendra, Sa?" Sindir Jihan yang membuat Anisa langsung memeluknya sambil tersenyum semanis yang dia punya.
"Mau makan siang dimana nanti, Han?" Rayu Anisa kepada sahabatnya. Jihan mendengus, selalu begitu.
"Kamu merayuku? Itu tidak akan pernah bisa. Aku bukan tukang makan seperti Rani yang kamu sogok pakai makanan langsung luluh." Ucapan Jihan itu membuat Rani menatapnya tajam.
"Kemarin yang memesan gaun pengantin itu benar-benar membuat kepalaku pusing Sa, Ran. Kemarin dia bilang mau gaun putih tulang polos yang tanpa hiasan di luarnya. Lalu semalam dia meneleponku lagi dan mengatakan kalau menambahkan mutiara melingkar di pinggang gaunnya itu akan terlihat sedikit mewah. Lalu setelah aku sudah menggambar disain yang dia mau hingga dapat setengah, pagi ini dia meneleponku kembali dan memintaku menambahkan taburan emas di bajunya agar terlihat sangat mewah. Apa dia sudah gila? Andai saja dia tidak pelanggan kita, mungkin aku sudah memakinya di telepon dan menanyakan alamat rumahnya pagi tadi." Kesal Jihan sambil menatap gambaran gaun pengantin yang begitu sangat bagus sesuai dengan permintaan pelanggannya. Anisa yang mendengar ucapan Jihan meringis pelan. Dia tahu kalau Jihan itu pasti kesal menghadapi pelanggan seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, itu adalah pekerjaannya. Mau marah tapi kita di paksa untuk tersenyum dan bersikap ramah.
"Untuk apa kamu meminta alamat rumahnya, Han?" Tanya Rani sambil mengerutkan keningnya. Sahabat sekaligus rekan kerjanya itu pasti pagi ini sedang mencoba sabar meski dia sedang ingin menelan orang hidup-hidup karena menghadapi sikap orang yang menyebalkan seperti itu.
"Mau aku ajak gelut. Bisa-bisanya dia membuat pekerjaanku bertambah. Apa dia pikir kerjaanku hanya mengurus dia saja? Aku rasa otaknya benar-benar geser." Jihan berkacak pinggang dan merasa kesal sendiri dengan sikap pelanggannya. Perempuan berparas cantik itu keluar dari ruangannya dan membiarkan Anisa dan Rani saling tatap.
"Biasa, lagi badmood." Ucap Anisa yang di beri anggukan kepala oleh Rani.
***
Amira tersenyum manis ketika dia ingin memperkenalkan untuk pertama kalinya calon tunangannya kepada keluarganya. Amira yakin kedua orang tua dan adiknya tidak mungkin menolak kekasihnya, karena kedua orang tuanya sangat menghargai keputusannya. Terlebih Adiknya, adiknya selalu mendukung apapun tentang keputusan yang dia ambil tanpa protes selagi keputusannya itu baik. Bukankah ingin serius dengan laki-laki adalah keputusan yang baik? Amira tidak sabar bertemu dengan kekasihnya nanti sore dan mengatakan kepadanya kalau kekasihnya dan kedua orang tuanya di tunggu papa dan mamanya di rumah. Berarti papa dan mamanya memberikan dirinya Restu untuk serius dengan kekasihnya itu.
"Kenapa Mbak Amira senyam-senyum sendiri?" Tanya karyawan Amira kepada Amira. Perempuan cantik yang terkenal ramah dan baik oleh kalangan karyawannya itu semakin melebarkan senyumannya. Amira tidak pernah menunjukkan sikapnya yang sombong hanya karena dia anak pemilik restoran ini. Amira selalu bersikap rendah hati, hal itu yang membuat karyawan Amira mudah akrab dengan Amira. Malah terkadang Amira itu mengadakan sesi curhat dengan para karyawannya di jam istirahat atau pulang kerja.
"Tidak ada apa-apa, Ris. Saya hanya lagi senang hari ini." Jawab Amira kepada Risa yang cukup dekat dengannya. Risa mengangguk, kemudian dia berlalu pergi dan kembali bekerja melayani orang-orang yang datang ke restoran ini.
"Bagaimana nanti reaksi Anisa ketika melihat Mas Jordan? Apa dia akan mengatakan kalau calon tunanganku itu tampan? Atau dia akan mengatakan kalau Mas jordan itu sangat cocok denganku? Aku tidak sabar melihat reaksinya." Ucap Amira sambil melihat fotonya bersama kekasihnya yang berada di galeri handphone miliknya.
Anisa dan dirinya itu sangat berbeda. Dirinya yang selalu bersikap heboh dan terkadang manja sangat berbeda dengan Anisa yang anggun dan lemah lembut. Soal percintaan antara dirinya dan Anisa pun berbeda. Dirinya selalu terbuka ketika menjalin hubungan dengan lelaki manapun kepada Anisa, tetapi Anisa tidak pernah sekalipun mengatakan apapun kepadanya tentang laki-laki. Jangankan mengatakan tentang adiknya yang menjalin hubungan dengan laki-laki, adiknya saja tidak pernah menyebut nama lelaki di depannya. Hanya saja 2 tahun lalu adiknya itu mengatakan kepadanya kalau adiknya menyukai laki-laki yang hanya mampu dia kagumi tanpa berani dia temui dan mengatakan perasaannya kepada lelaki itu.
Padahal Amira sudah mengatakan kepada Anisa untuk mengungkapkan perasaannya kepada lelaki itu. Karena ini tuh sudah masa emansipasi wanita yang derajat wanita dan laki-laki itu sama. Jadi tidak ada salahnya jika perempuan mengatakan cinta lebih dulu kepada laki-laki.
Kalau dia menolakku bagaimana?
Amira tersenyum ketika mengingat pertanyaan polos Adiknya. Dan dia masih ingat jawaban apa yang dia berikan kepada adiknya dua tahun lalu.
Memangnya siapa yang akan menolak perempuan secantik kamu, Sa? Seharusnya lelaki itu beruntung karena bisa di cintai oleh perempuan pintar dan cantik sepertimu. Lagi pula apa salahnya mencoba? Dari pada terus-terusan memendam perasaan sendiri dan akan berakhir merelakan. Ingat, rasanya di tolak sama melihat laki-laki yang kita cintai menikah dengan perempuan lain dan itu bukan kita, rasanya itu sangat menyakitkan ketika melihat laki-laki yang kita cintai bersanding dengan perempuan lain. Pokoknya sakit ketika kamu di tolak lelaki itu tidak ada apa-apanya dari pada melihat laki-laki yang kamu cintai bersanding dengan perempuan lain.
"Sa, Sa, lucu banget sih kamu, Dek." Ucap Amira sambil menggelengkan kepalanya pelan. Dia tersenyum tipis ketika mengingat obrolannya dengan Adiknya 2 tahun lalu.
"Apa perasaan Anisa masih utuh untuk lelaki itu?" Tanya Amira yang tidak tahu siapa nama dan wajah laki-laki beruntung yang bisa mencuri hati Adiknya 2 tahun lalu.