Laki-laki untuk kakakku

1759 Words
Hari ini adalah hari paling melelahkan untuk Jihan, Rani, dan Anisa. Ketiga perempuan itu baru saja menunaikan ibadah sholat magrib di butik milik mereka bertiga. Mereka bertiga tidak menyangka kalau butik mereka akan di serbu pelanggan dengan mereka hanya memberikan diskon 30% untuk pembeli mereka. Jihan meregangkan otot-otot tangannya dengan badan masih mengenakan mukena. Sedangkan Rani, perempuan itu tertidur di atas sajadahnya dengan mukena yang belum dia lepaskan. "Makan ayam bakar sama es teh malam-malam begini enak kayaknya." Ucap Rani yang langsung di beri anggukan kepala antuasias oleh Jihan. Jihan yang sedari tadi menahan lapar langsung setuju ketika temannya itu mengatakan kalau makan ayam bakar dan minum es teh malam-malam begini enak. "Giliran makan aja semangat, Han." Cibir Rani yang di beri senyuman malu-malu oleh Jihan. "Kamu gimana, Sa? Setuju gak kalau kita makan ayam bakar malam ini?" Tanya Rani kepada Anisa yang sedari tadi terus terdiam. Jihan melihat kearah Anisa yang sepertinya sedang melamun. Dengan lembut Jihan memegang pundak Anisa. "Sa, apa kamu ada masalah?" Tanya Jihan dengan suara lembut. Anisa tersenyum tipis, kemudian dia menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, tapi aku harus segera pulang. Pagi tadi Kak Amira mengatakan kepadaku kalau dia ingin membawa calon tunangannya pulang. Rasanya tidak enak jika aku sebagai adiknya tidak ikut menemui laki-laki yang statusnya adalah calon kakak iparku." Anisa segera melipat mukenanya. Rasanya berat dirinya untuk meninggalkan ruangan persegi ini yang dirinya jadikan untuk mushola di butiknya. Jihan dan Rani saling tatap. Keduanya melihat Anisa dengan serius. "Kak Amira mau ngenalin calonnya malam ini?" Tanya Rani dengan antuasias. Dia yang memang juga mengenal kakak Anisa dengan baik turut bahagia ketika kakak Anisa yang memiliki humor tinggi itu akan membawa lelaki yang kakak Anisa cintai pulang ke rumah. Anisa mengangguk singkat. "Sepertinya begitu, karena papa dan Mama ingin bertemu calon tunangan Kak Amira malam ini." Jawab Anisa sekenanya. "Kita berdua boleh ikut pulang bersamamu? Aku sangat penasaran dengan laki-laki beruntung yang mampu meluluhkan hati kakakmu itu. Perasaan kakakmu itu tidak pernah serius setiap menjalin hubungan dengan lelaki." Jihan berkata sambil melepas mukenanya. Anisa meringis pelan, bukan dia tidak memperbolehkan kedua temannya datang ke rumahnya, hanya saja ini urusan keluarga. Rasanya tidak enak jika dirinya datang bersama kedua temannya dan menghampiri kakaknya beserta calon iparnya. "Kalau soal itu mohon maaf, aku tidak bisa mengijinkan kalian ikut bersamaku. Bukan karena apa-apa, aku..." "CK, aku dan Rani hanya bercanda, Sa. Kami berdua tahu kalau itu urusan keluarga." Jihan yang pikirannya cukup dewasa di bandingkan dengan cara pikir Anisa dan Rani cukup memaklumi kalau Anisa tidak mengajaknya atau Rani ke rumahnya. Karena acara itu pasti hanya untuk keluarga Anisa. Anisa tersenyum, perempuan yang memiliki mata teduh itu mengambil tasnya dan berjalan keluar dari ruangan yang dia dan kedua temannya jadikan musholla. "Han, Ran, jangan lupa kunci butik." Teriak Anisa sebelum menuruni anak tangga butiknya. Jihan dan Rani tidak menjawab, keduanya sibuk mengobrol. "Kira-kira kamu penasaran gak Han siapa laki-laki yang berhasil membuat Kak Amira mempercayakan hatinya untuknya?" Tanya Rani sambil menatap Jihan yang tengah mengecek handphone miliknya. Dirinya lupa, dirinya juga harus pulang cepat karena kedua orang tuanya bisa marah kalau dirinya tidak ikut hadir di acara keluarga besarnya. "Penasaran sih, tapi aku nunggu undangannya aja." Cengir Jihan sambil memasang senyum canggung. "Ran, makan sendiri ya? Aku ada urusan di rumah. Bay..." Seru Jihan sambil melambaikan tangan kearah Rani yang tengah menatapnya dengan kesal. "Lah, di tinggal. Dasar Jihan tukang PHP, katanya mau nemenin makan tapi malah pulang." Kesal Rani sambil memanyunkan bibirnya. *** Anisa mengamati mobil Pajero berwarna hitam yang sepertinya sangat dia kenal. Tapi masa dia? Mana mungkin. Untuk apa dia datang ke rumahnya?  Anisa memainkan kunci mobilnya sambil berjalan masuk kedalam rumahnya. Saat dia ingin pergi dulu ke kamarnya untuk berganti baju, dia mendengar suara mamanya tengah memanggil namanya. Sepertinya suara mamanya ada di ruang makan, jadi dengan langkah santai Anisa berjalan ke ruang makan. Dia tersenyum kepada mamanya sambil menatap punggung seorang pemuda yang duduk membelakanginya serta kedua orang tua yang sepertinya seumuran dengan mama dan papanya. "Sa, Salim dulu dong sama Nak Jordan dan kedua orang tuanya." Suruh Rahma kepada putri keduanya. Anisa mengangguk, dia mendekatkan dirinya kepada sosok laki-laki yang duduk membelakanginya beserta kedua orang tua lelaki yang sebentar lagi akan menjadi kakak iparnya karena senyuman kakak perempuannya tidak memudar dari bibirnya. Sudah pasti mama dan papanya merestui mereka. Beruntung sekali kakaknya itu, sekali memperkenalkan laki-laki ke rumah langsung mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Semoga saja dirinya nanti begitu. Saat Anisa sudah berada di belakang pemuda itu dan juga kedua orang tua pemuda itu, mereka berbalik menatap dirinya. Deg! Seketika Anisa langsung memundurkan satu langkah kakinya. Anisa menggelengkan kepalanya pelan, dia mencoba menepis apa yang dia lihat malam ini. Rasanya dadanya begitu sakit dan air matanya ingin tumpah. Senyuman kakak beserta kedua orang tuanya membuatnya sadar kalau orang di depannya adalah nyata. Dirinya memang pernah meminta kepada allah untuk membuat lelaki di depannya datang ke rumahnya, tapi bukan sebagai calon kakak iparnya, melainkan calon imamnya. "Sa, kenapa diam? Ganteng ya calon suami kakak?" Tanya Amira kepada Anisa yang hanya di beri senyuman tipis oleh Anisa. Rasanya Anisa tidak sanggup berdiri lama-lama di depan lelaki yang dia harapkan untuk menjadi imamnya tetapi malah menjadi calon kakak iparnya. "Maaf Pa, Ma, Kak, Anisa harus balik ke butik. Anisa lupa kalau handphone Jihan ke bawa di tas Anisa. Anisa pergi dulu, assalamu'alaikum." Anisa berlari dari ruang makan dengan langkah tergesa-gesa. Sedari tadi dia menahan air matanya untuk tidak menetes di depan keluarganya dan keluarga lelaki itu. Anisa tidak mau merusak moment bahagia kakaknya. "Sa, tunggu..." Amira hendak mengejar Adiknya, tapi instruksi papanya membuatnya tetap duduk di tempatnya. "Ra, sudah. Adik kamu ada urusan sama temannya." Tegur Bima sambil menatap putri pertamanya yang kelihatan murung. "Tapi, Pah..." "Dia akan kembali kalau urusannya sudah selesai. Biarkan saja." Potong Bima kepada anaknya. Bima dan Rahma merasa tidak enak dengan calon besannya atas perlakuan anak keduanya. "Maafkan Anisa Bu, Pak, dan Nak Jordan. Tidak biasanya Anisa seperti itu." Ucap Bima yang menyayangkan sikap putri keduanya yang kurang sopan terhadap tamu. Bukankah mengantar handphone bisa besok saja? Dia berjanji akan menegur anaknya ketika pulang nanti. "Tidak apa-apa Pak Bima, saya kenal dengan anak bapak yang satu itu. Dia baik kok. Mungkin saja handphone temannya itu penting, kan bekerja di butik pasti banyak orang yang menelpon untuk membuat pesanan." Mutiara, ibu Jordan itu memaklumi sikap Anisa karena dia sudah mengenal Anisa dengan sangat baik. Bahkan ketika dia datang mengunjungi restorannya, dia kerap sekali datang ke butik milik Anisa dan kedua temannya untuk mengobrol. Niatnya dia ingin menjodohkan Jordan dengan Anisa, tapi sayang Jordan malah mengatakan kepada dirinya, kalau Jordan sudah menemukan calon istri untuknya sendiri. Dan sepertinya dunia sangat sempit, ternyata calon istri Jordan adalah Amira, kakak Anisa. "Loh, kalian udah pada saling kenal?" Tanya Rahma kepada besar perempuannya. "Sudah, restoran kami dan butik Anisa 'kan berhadap-hadapan." Jawab Mutiara sambil tersenyum tipis. Sedangkan Jordan hanya diam, perempuan yang dulu sempat menjadi adik kelasnya di kampus ternyata adik dari calon istrinya. "Baiklah, bagaimana jika malam ini kita bahas sekalian tentang tanggal lamaran anak kita?" Tanya Bima dengan aura wajah senang. Akhirnya putrinya yang kerap kali berpacaran dengan beberapa lelaki kini mau serius dengan satu laki-laki. "Saya setuju, lebih cepat lebih baik. Bagaimana Nak Amira dan Jordan setuju kalau kami bahas tanggal lamaran kalian sekarang?" Tanya Rafi selaku papa Jordan. Jordan dan Amira mengangguk. "Kami setuju, Pa." Jawab Amira dan Jordan kompak ketika mereka berdua tadi sempat saling tatap. *** Disaat semua orang tengah berbahagia untuk menentukan tanggal lamaran Amira dan Jordan, kini Anisa tengah menangis sambil menyengkram setir mobilnya. Anisa berhenti di gang sepi yang membuatnya sedikit lebih baik. Hatinya tercambik begitu sakit ketika laki-laki yang sering kakaknya ceritakan kepadanya adalah laki-laki yang sering dia sebut namanya ketika dirinya sedang sholat. Anisa sadar dia terlalu pengecut untuk mengungkapkan rasa sukanya kepada Jordan. Tapi apa takdir harus mempermainkan dirinya seperti ini? Jika dirinya tidak bisa mendapatkan hati Jordan, tolong jangan kakaknya yang mendapatkan hati lelaki itu. Dirinya tidak sanggup jika harus bertemu dengan lelaki itu setiap hari dengan status sebagai adik dan kakak ipar. Anisa membanting pintu mobilnya dan bersandar di dinding usang yang dirinya sendiri tidak tahu letak jalan ini dimana. Mobilnya melaju tanpa arah, lalu saat menemukan tempat sepi dirinya turun dari mobilnya. Anisa tidak perduli jika ada orang jahat yang berbuat tidak baik padanya. Hatinya terlanjur sakit. "Kenapa harus aku yang mengalami kejadian seperti ini? Bagaimana aku harus menghadapi kenyataan bahwa laki-laki yang aku pinta kepadamu setiap malam harus menjadi kakak iparku? Bagaimana aku bisa menyikapi keadaan ini dengan baik jika hatiku tidak terima dia bersama kakakku? Ini semua terlalu menyakitkan untukku!" Teriak Anisa sambil meremas baju yang dia kenakan. Anisa tertunduk sambil bersandar di tembok usang yang ada di pinggir jalan. Ada berbagai coretan disana, karena gelap Anisa tidak bisa membaca berbagai coretan yang terbuat dari pilok tersebut. Rasanya Anisa kehabisan pasokan oksigen ketika lelaki itu menatapnya. Anisa tidak bisa menjamin dirinya tidak akan menangis jika dirinya ikut makan malam bersama keluarganya dan keluarga Jordan. Mendengar Jordan ingin bertunangan dengan kakaknya saja hatinya sudah hancur. Apalagi melihat interaksi keduanya, hal itu sama saja membuatnya bunuh diri secara perlahan. "Dia yang selalu aku tatap sepanjang hari, namanya yang selalu aku sebut dalam setiap doaku, dan dia yang selalu aku jadikan alasan untuk menolak laki-laki yang mendekatiku ternyata calon tunangan kakakku. Bodohnya aku, kenapa aku tidak meminta kakak untuk memperlihatkan foto calon tunangannya ketika kakak mengatakan kalau calon tunangannya bernama Jordan. Aku tahu disini aku yang bersalah, tapi jujur aku tidak bisa untuk menerima kenyataan ini." Tangisan Anisa kian menjadi ketika dia mengingat senyuman manis yang tersungging di bibir kakaknya. Dia tidak mungkin mengatakan kepada kakaknya kalau kakaknya tidak boleh untuk bertunangan dengan Jordan karena dirinya juga mencintai lelaki itu. Namun hatinya tidak bisa diajak untuk berbohong, hatinya tidak terima ketika Jordan ingin bersanding dengan perempuan selain dirinya, walau itu kakaknya sendiri. Bibir Anisa mengatakan kalau dia ikhlas melihat Jordan bersanding dengan kakaknya, tapi hatinya berkata sebaliknya, hatinya tidak rela jika Jordan bersanding dengan kakaknya atau perempuan lain selain dirinya. Anisa akui dia egois, dia memaksakan kehendak agar lelaki itu menjadi takdirnya. Padahal sang pemberi jodoh sudah memperlihatkan bahwa lelaki itu jodoh kakaknya. Artinya Allah ingin dia sadar bahwa lelaki yang selama ini dia pinta dalam doanya bukanlah jodohnya. "Aku tahu jika jodohku sudah kau atur yaallah, tapi apa aku tidak boleh berharap bahwa takdirku adalah laki-laki yang malam ini datang ke rumahku? Aku menginginkan dia, tapi dia tidak menginginkanku melainkan menginginkan kakakku." Anisa memukuli aspal di sampingnya dengan d**a naik turun. Dia terluka, tapi dokter tidak memiliki obatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD