Jam menunjukkan pukul 00.00 malam. Anisa yakin keluarga Jordan sudah pulang dan keluarganya juga sudah tidur. Anisa mengusap air matanya yang kembali menetes ketika dia menginjakkan kakinya di teras rumahnya. Anisa hendak mengetuk pintu rumahnya, tapi sebelum Anisa melakukan itu pintu rumahnya sudah terbuka sendiri. Anisa menundukkan kepalanya sambil melihat ujung sepatunya, dia tahu dia akan di marahi oleh kedua orang tuanya karena kepulangannya yang terlalu malam.
"Yaampun Sa, kenapa jam segini baru pulang? Bikin kakak khawatir aja." Amira langsung memeluk adiknya dan menghela nafas lega ketika dia melihat adiknya pulang dengan selamat. Dia sampai tidak bisa tidur karena adiknya yang pergi tiba-tiba ketika acara perkenalan keluarga antara keluarganya dan keluarga tunangannya. Amira akan sangat marah pada dirinya sendiri kalau sampai adiknya kenapa-napa.
"Mama sama papa?" Tanya Anisa sambil celingukan kedalam rumahnya. Amira tersenyum memperlihatkan kedua lesung pipi indah miliknya.
"Udah tidur. Mereka pikir kamu tidur di rumahnya Jihan." Jawab Amira sambil merangkul pundak adiknya masuk kedalam rumah. Anisa menghela nafas lega, kemudian dia duduk di sofa ruang tamunya.
"Tadi papa udah nelpon orang tua Jihan, tapi tidak mereka angkat." Tambah Amira yang langsung membuat bola mata Anisa hampir keluar.
"Terus papa bisa percaya kalau aku tidur di rumah Jihan itu bagaimana ceritanya?" Tanya Anisa ketakutan. Amira tertawa ketika melihat wajah panik adiknya.
"Apa kamu lupa kalau kakak kamu ini pintar? Aku bilang ke papa kalau kamu tadi sudah meminta ijin kepadaku untuk tidur di rumah Jihan karena kamu rasa ini sudah terlalu malam untuk pulang ke rumah." Jawab Amira yang di balas helaan nafas lega oleh Anisa. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi kepada dirinya kalau sampai kakaknya itu tidak menutupi kesalahannya. Dia sengaja mematikan handphone miliknya Karena dia tidak mau berbicara kepada siapapun.
"Oh ya, kok kakak lihat mata kamu merah, kamu abis nangis?" Tanya Amira sambil mengamati wajah adiknya dari jarak dekat. Anisa segera menegakkan badannya, dia langsung menatap lurus kedepan. Jujur saja dia gugup ketika mendengar pertanyaan kakaknya. Dia harus menjawab apa?
"Sa, kamu tadi nangis? Kenapa?" Tanya Amira sambil memegang kedua pundak adiknya hingga menatapnya. Anisa menggelengkan kepalanya pelan sambil menutup matanya, dia gugup.
"Itu, anu..." Anisa bukan kakaknya yang pandai berbohong. Dia bingung cara meyakinkan kakaknya kalau dia itu tidak menangis. Tapi hidung dan matanya tidak bisa diajak berbohong.
"Anu kenapa?" Desak Amira tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah adiknya.
"Aku tadi ke butik buat nganter handphone milik Jihan, tapi butik udah tutup. Waktu aku ke rumah Jihan, aku malah di tawari makan oleh mamanya Jihan, jadi aku makan di rumah Jihan sekalian ngobrol sama Jihan dan mamanya. Eh tiba-tiba udah jam 23.25, aku takut di marahi mama sama papa gara-gara pulang kemaleman. Dan benarkan, aku sampai rumah jam 00.00. Andai kakak gak ngomong ke mama sama papa kalau aku tidur di rumah Jihan, pasti sekarang aku sudah di sidang mereka gara-gara pulang kemalaman." Terang Anisa kepada kakaknya. Amira tersenyum tipis, dia tahu adiknya tidak pandai berbohong seperti dirinya. Pasti tadi adiknya ketakutan banget karena pulang kemalaman. Adiknya pasti takut di marahi kedua orang tuanya yang posesif dan tidak memperbolehkan kedua putri mereka pergi dan pulang larut malam.
Anisa meringis pelan, dia meremas baju yang dia kenakan dengan perasaan gugup. Dia berharap semoga kakaknya percaya dengan ucapannya, karena berbohong itu bukan keahliannya. "Maafkan aku kak, kali ini aku terpaksa berbohong kepadamu. Aku tidak mungkin mengatakan kalau aku pergi dari rumah karena aku tidak mau bertemu dengan calon tunanganmu karena aku juga mencintai laki-laki itu. Maafkan adikmu yang tidak tahu diri ini, maafkan adikmu yang mencintai calon tunanganmu." Batin Anisa dengan kepala menunduk.
"Tenang, gak usah takut. Selama ada kakak kamu itu aman. Papa sama Mama gak akan marahi kamu." Amira kembali memeluk adiknya yang sudah dewasa tapi masih saja berlaku layaknya anak kecil.
"Andai kakak tahu kalau adikmu ini juga mencintai calon tunangan kakak, apa kakak masih mau memelukku seperti ini dan memanggilku adik?" Batin Anisa sambil meneteskan air matanya di pelukan kakaknya. Dia tahu dia sudah keterlaluan karena mencintai calon iparnya, tapi dia juga tidak bersalah disini. Mati-matian dia ingin melupakan calon tunangan kakaknya itu, tapi rasa sukanya kepada laki-laki yang akan menjadi iparnya sebentar lagi kian hari kian tumbuh. Lalu dia harus bagaimana? Apa dia harus bunuh diri agar rasa cintanya mati bersama jazadnya? Anisa merasa bingung ketika berada di posisi ini. Dia tidak mungkin bersaing dengan kakaknya sendiri.
"Jika cinta harus sesakit ini, lalu mengapa cinta harus hadir di hati umatmu yaallah?" Batin Anisa sambil menangis pedih. Rasanya tidak adil jika semua orang bisa berbahagia dengan laki-laki yang mereka cintai sedangkan dirinya harus mengubur dalam-dalam cintanya untuk lelaki yang bahkan belum pernah membalas perasaannya atau mungkin tidak akan pernah membalas perasaannya karena sebentar lagi lelaki itu akan menjadi milik kakaknya seutuhnya.
****
Weekend kali ini sama sekali tidak membuat Anisa Maharani Alfat tertarik. Perempuan yang masih mengenakan piyama tidurnya itu duduk termenung di atas tempat tidurnya dengan leptop berada di depannya.
Tips move on dari mantan!
Mantan?
Berpacaran dengan Jordan saja dia belum pernah.
Sebuah artikel memperlihatkan cara move on kepada mantan dengan menghapus foto-foto tentang mantan. Tapi rasanya Anisa tidak rela jika harus menghapus foto lelaki itu dari galeri handphone miliknya. Tidak mudah untuk mendapatkan foto lelaki itu, tapi sekarang dia harus menghapus foto lelaki itu dengan suka rela.
"Mungkin aku bisa menghapus foto-fotonya dari galeri handphoneku. Tapi aku tidak akan mungkin bisa menghapus namanya dari hatiku." Ucap Anisa sambil menatap foto laki-laki yang dua tahun ini sangat mengganggu dirinya. Anisa tidak bisa tidur dengan nyenyak karena memikirkan laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi iparnya.
Berbagai artikel tentang cara melupakan sosok laki-laki yang menghantuinya selama ini sudah dia baca. Tetapi tidak ada satupun yang bisa untuk membuatnya lebih baik. Hatinya kian resah gara-gara laki-laki yang selama ini dia cintai ternyata mencintai kakaknya sendiri.
"Sa, kamu udah bangun belum?" Teriak perempuan yang Anisa sendiri tahu kalau itu pasti kakaknya. Suara cempreng kakaknya membuatnya cepat-cepat menutup leptop miliknya.
"Udah kak, buka aja pintunya. Gak aku kunci kok." Seru Anisa yang masih duduk di atas tempat tidurnya. Amira masuk kedalam kamar adiknya dengan senyum yang merekah.
"Sa, punya dress bagus gak? Kakak pinjam dong, kalau boleh sih minta, heee. Ada gak, Sa?" Tanya Amira sambil duduk di meja rias adiknya. Amira dan Anisa itu memiliki ukuran badan yang sama, tentu saja hal itu membuat keduanya gampang sekali bertukar baju dan lainnya.
"Ada Kak. Emang mau buat apa? Tumben-tumbenan nanya dress." Tanya Anisa sambil membuka lemarinya. Amira tersenyum manis, perempuan berlesung pipi itu menggigit ujung bibirnya dengan aura wajah bahagia.
"Mau ngedate siang nanti sama Mas Jordan. Kan kamu tahu sendiri, hari ini weekend." Jawab Amira dengan rahut wajah seneng. Tanpa Amira ketahui Anisa langsung merubah rahut wajahnya menjadi sendu.
Anisa memegang dress milikinya yang berwarna merah dengan tatapan nyalang. Matanya nyaris mengabur karena air mata yang siap tumpah.
Sanggupkah dia melihat laki-laki yang dua tahun ini dia cintai bersama perempuan lain? Terlebih itu adalah kakaknya sendiri.
Dress merah di atas lutut yang dia beli atas rekomendasi Jihan dan Rani harus dia berikan kepada kakaknya. Dress merah itu sama sekali belum pernah dia kenakan. Karena dia menunggu moment bersama Jordan untuk memakai gaun itu. Moment dimana Jordan melirik dirinya yang sudah 2 tahun ini mengamati lelaki itu dalam diam. Namun sepertinya dirinya yang terlalu berharap, sedangkan Jordan tidak.
"Kamu serius memberikan dress sebagus ini untukku, Sa? Kamu tidak akan menyesal nanti?" Tanya Amira sambil menempelkan gaun itu di tubuhnya. Kulit Amira yang putih bersih membuatnya terlihat menawan ketika mengenakan gaun itu.
"Aku rasa dress itu cocok buat kakakku yang cantik. Aku yakin calon tunangan kakak itu akan terpesona ketika melihat penampilan kakak nanti." Ucap Anisa sambil tersenyum tipis. Iya, Anisa tersenyum untuk menutupi lukanya. Luka menganga yang dokter manapun dia pastikan tidak akan pernah bisa mengobati lukanya.
Amira mengangguk mantap. Dia percaya kalau calon tunangannya itu akan terpesona ketika melihat penampilannya nanti. Bagaimana tidak, adiknya saja sampai mengacungkan kedua jempolnya ketika melihat dirinya berputar sambil menempelkan dress itu pada tubuhnya.
"Aku pastikan dia tidak akan berkedip ketika melihat penampilan kakakmu yang cantik ini." Ucap Amira dengan sangat percaya diri. Anisa hanya mampu mengangguk, berkata pun dia tidak sanggup. Lelaki itu untuk kakaknya, bukan untuknya.
Anisa menatap dress merah yang di pegang kakaknya dengan nanar. Rencananya Dress itu akan dia pakai kencan dengan Jordan, Tapi sayangnya bukan dirinya yang memakai dress itu nanti, melainkan kakaknya. Ada rasa sesak di hatinya ketika mengingat untuk apa dia membeli dress itu. Tapi mau bagaimana lagi, Allah sudah menuliskan takdirnya bersama lelaki lain.
Lelaki lain? Apa dia bisa? Mencintai Jordan terlalu dalam membuatnya tidak sempat melirik lelaki lain yang juga tengah mencoba mendekatinya.
"Bisakah kamu membantuku berdandan untuknya, Sa?" Tanya Amira yang Anisa pastikan kalau kakaknya berdandan untuk Jordan.
Anisa terdiam sebentar, setelah dia memberikan dress yang dia beli untuk berkencan dengan Jordan kepada kakaknya, sekarang dia harus membantu kakaknya berdandan untuk membuat lelaki yang dia cintai terpesona dengan penampilan kakaknya. Kenapa harus dia yang berada di posisi sulit seperti ini? Kenapa harus dia yang di takdirkan mencintai calon tunangan kakaknya sendiri? Rasanya terus memendam perasaan seperti ini membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang.
"Sa, bisakan? Plisss..." Mohon Amira sambil mengatupkan kedua tangannya di depan Adiknya.
Anisa tersenyum tipis kearah kakaknya. "Apasih yang enggak buat kakakku yang cantik ini." Jawab Anisa sambil mencubit kedua pipi tembem kakaknya. Amira mendengus, adiknya selalu begitu, mencubit pipinya sambil tersenyum.
"Lama-lama pipiku bisa kendor, Sa." Cibir Amira sambil memanyunkan bibirnya. "Tapi it's okay. Sekarang aku mau ke kamarku dulu, mau nyoba dress dari kamu. Semoga saja pas di tubuhku yang bohay ini." Tambah Amira yang langsung keluar dari kamar adiknya.
Tapi sebelum kembali menutup pintu kamar Anisa, Amira kembali berteriak. "Sa, thanks dressnya."
Anisa hanya mengangguk. Kemudian dia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Anisa menekan kedua pipinya dengan sendu. "Apa aku terlalu jelek untuk mendapatkan Mas Jordan? Kenapa Mas Jordan lebih memilih Kak Amira untuk menjadi pendampingnya dari pada aku? Apa aku tidak pantas untuk mendapatkan dia?" Anisa bertanya pada dirinya sendiri sambil melirik kearah pintu kamarnya. Dia takut kakaknya masih berdiri di depan pintu kamarnya dan mendengar ucapannya .
"Aku memang tidak secantik kak Amira, tapi aku ingin di cintai juga oleh Mas Jordan seperti ketika Mas Jordan mencintai Kak Amira." Anisa kembali berbicara. Air matanya kembali menetes. Dadanya sangat sesak karena tidak kuat untuk menyimpan perasaan ini sendiri.
"Maafkan aku yaallah, aku sudah menghianati kakakku dengan mendambakan laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi iparku." Sesal Anisa. Namun perasaannya tidak bisa diatur. Setiap kali dia ingin melupakan Jordan, wajah lelaki itu kian hari kian nyata seperti tengah menatapnya. Sehingga membuatnya sulit untuk melupakan wajah lelaki itu. Hatinya mendambakannya, namun logikanya mengatakan dia harus melepaskannya karena Jordan tidak akan pernah bisa menjadi miliknya karena lelaki itu adalah milik kakaknya.