Biarkan aku yang berkorban

1358 Words
Ini masih pagi. Sinar matahari saja masih tidak jelas. Kabut bahkan masih mewarnai esok ini. Tapi Anisa sudah mendengarkan curhatan kakaknya yang tidak sabar menunggu waktu malam tiba.  Anisa hanya diam. Dia membiarkan kakaknya berceloteh sesuka hati. Memangnya dia harus bagaimana? Pergi meninggalkan kakaknya sendiri di kamarnya atau pura-pura tidur kembali? "Kamu tahu, Sa? Mas Jordan itu orangnya gak romantis. Tapi perlakuan dia ke aku itu hangat banget. Aku nyaman banget sama dia." Amira tersenyum sambil mengusap jarinya. Dia membayangkan tentang lamarannya nanti malam. "Sebentar lagi di jariku akan ada cincin pengikat dari Mas Jordan. Sumpah, aku gak sabar banget." Melihat senyuman kakaknya yang begitu tulus dan bahagia, rasanya Anisa ingin memaki dirinya sendiri. Untuk apa dia terus memikirkan Jordan yang jelas-jelas itu adalah jodoh kakaknya. Benar memang kata orang bahwa mau seberapa dalam kita mencintai seseorang, kalau dia bukan jodoh kita, kita bisa apa? "Kakak yakin dia cinta sama kakak?" Tanya Anisa sambil menatap wajah kakaknya. Amira yang mendengar pertanyaan Anisa langsung menatap Anisa tidak mengerti. "Maksudnya?" Amira bingung dengan pertanyaan adiknya. Kenapa Adiknya bertanya seperti itu kepadanya? Anisa terlihat gugup. Untuk apa dia menanyakan sesuatu yang jelas-jelas dia sendiri tahu jawabannya bahwa lelaki itu sangat mencintai kakaknya. Kalau Jordan tidak mencintai kakaknya untuk apa Jordan ingin melamar kakaknya? "Maksudku, apa dia benar-benar mencintai kakak? Aku tidak mau kakak cantikku ini patah hati. Aku tidak akan segan-segan memukulnya menggunakan kayu balok kalau sampai dia berani melukaimu." Anisa merentangkan kedua tangannya. Amira yang melihat Anisa merentangkan kedua tangannya langsung menghambur kedalam pelukan adiknya. Amira pikir ada sesuatu yang tidak dia ketahui sehingga adiknya bertanya seperti itu kepadanya. Ternyata Adiknya takut dia di sakiti oleh Jordan. "Tenang saja, dia tidak akan menyakitiku. Karena dia sangat menyayangiku." Ucap Amira ketika berada di dalam pelukan Anisa. Tanpa sadar Anisa meneteskan air matanya di punggung kakaknya. Dadanya nyeri ketika mendengar pengakuan kakaknya. "Ya, dia mencintaimu tidak aku." Batin Anisa yang mencoba menerima kenyataan pahit ini. Meski sulit dia terima bahwa malam nanti harapannya untuk memiliki Jordan harus berakhir dan pupus begitu saja, tapi Anisa bahagia karena kakaknya bisa mendapatkan laki-laki yang membuat kakaknya sebahagia ini. Benar memang kata orang bahwa lawan yang paling sulit di kalahkan adalah saudara sendiri. Mau maju lawan kita saudara sendiri, mau mundur kita yang mati. "Aku rasa rindu tidak akan membunuh siapapun. Tapi mencoba mengikhlaskan suatu hal yang ingin kita dapatkan dari dulu adalah suatu hukuman yang paling menyakitkan dan ketika kita meninggalpun bekasnya masih ada." Batin Anisa sambil melawan sakit di hatinya. Ini semua demi kakaknya, kakaknya harus bahagia, itu sumpahnya. Anisa ingin mengubah tentang cara pikir dan cara pandang seseorang mengenai hanya seorang kakak yang mampu berkorban untuk adiknya. Anisa ingin semua orang tahu bahwa seorang adik juga rela mengorbankan dan memendam semua perasannya hanya untuk melihat kakaknya bahagia bersanding dengan lelaki yang kakeknya cintai, meski dia juga mencintai lelaki itu. "Sa, Ra, mau sampai kapan kalian terus berada di dalam kamar? Ayo bantu Mama bersihin rumah. Punya dua anak perempuan kok males banget." Anisa dan Amira saling melepas pelukan. Keduanya saling tatap dan segera menurunkan kedua bahu mereka malas. "Waktunya menjadi babu Mama." Ucap Amira yang langsung turun dari tempat tidur Anisa. "Dek, nanti bantu kakak sama Mama diluar kalau udah mandi." Suruh Amira sebelum menghilang di telan tembok rumah ini. Anisa turun dari tempat duduk dan berkaca di depan cermin besar yang berada di kamarnya. "Malam ini Kak Amira akan lamaran dengan Mas Jordan. Tuhan, malam ini aku harus bersedih atau bahagia? Aku sedih karena bukan aku yang di lamar Mas Jordan. Tapi aku bahagia karena kakakku sudah menemukan laki-laki pengganti Papa yang akan menjaganya nanti." Ucap Anisa sambil meremas dadanya sakit. Kuatkah dia nanti malam menyaksikan kedua manusia yang sangat dia sayangi bersama? Atau akan ada pertumpahan air mata yang membuatnya harus pergi dan tidak melihat proses lamaran kakaknya? "Allah tahu siapa yang terbaik untukku, semoga setelah malam ini aku bisa berdamai dengan diriku dan mengiklaskan dia hidup bersama kakakku." *** "Sa, ayo ke kamar kakak. Kakak bingung nanti malam harus mengenakan gaun apa!" Pinta Amira ketika dia melihat Anisa yang baru saja ingin mencomot kue yang mamanya buat. Mamanya sudah membuat banyak kue, tapi entah kenapa mamanya masih memanggang kue lagi di dalam oven. Memangnya untuk apa kue banyak-banyak seperti itu? Dasar ibu-ibu memang selalu berlebihan. Anisa menatap kakaknya malas. "Malas ah kak, aku mau bantu Mama ngepel. Bukannya gaun kakak udah mama pilihkan? Nanti malam kakak harus pakai gaun warna merah." Tolak Anisa. Entah kenapa hari ini tiba-tiba dia malas bicara atau bertemu dengan kakaknya. Padahal kalau dia pikir-pikir semua ini bukan kesalahan kakaknya. Tapi kenapa hatinya panas ketika berpapasan dengan kakaknya? "Iya, Mama memang sudah memberikan aku gaun berwarna merah untuk ku kenakan saat lamaran nanti. Tapi mama membelikan aku dua gaun. Kira-kira mana yang harus aku pakai nanti malam? Aku bingung." Rasa tidak tega menyelimuti hati Anisa ketika dia melihat tatapan memohon kakaknya. Anisa kembali meletakkan kue yang hendak dia makan. Dia berjalan mengikuti langkah kakaknya untuk memilihkan kakaknya gaun lamaran. "Kamu tidak ingin memperkenalkan kekasihmu kepada kakakmu ini?" Tanya Amira sambil merangkul pundak adiknya. Sekilas keduanya seperti anak kembar yang dilahirkan bersama. Anisa menggelengkan kepalanya pelan. "Mama sudah cukup sedih ketika dia mengetahui bahwa putri pertamanya akan di lamar oleh seseorang malam ini. Mama bilang rumahnya akan sepi ketika kakak sudah menikah dan ikut Mas Jordan ke rumahnya." Jawab Anisa sambil tersenyum kepada kakaknya. "Dan karena itu kamu memutuskan untuk tidak menikah? Karena ingin terus menemani Mama? Mama punya Papa, jadi kamu gak usah khawatir tentang Mama." Amira mengambil kedua gaunnya dari lemari pakaiannya dan menunjukkan kedua gaunnya kepada Anisa yang tengah duduk di pinggir tempat tidurnya. "Bahas dulu tentang gaunmu, jangan tentang aku." Anisa mengambil gaun merah yang memiliki panjang di atas lutut. "Lamaran kakak diadakan di rumah, aneh rasanya jika kakak memakai gaun panjang seperti itu." Anisa menempelkan gaun milik kakaknya ke tubuh kakaknya. "Cantik." Gumam Anisa yang masih bisa Amira dengar. "Pantas saja Mas Jordan memilihnya untuk menjadi calon istrinya, ternyata kakakku ini sangat mempesona." Anisa menggegam tangan kakaknya dan menekan kedua bahu kakaknya untuk duduk di kursi yang berada di depan cermin. Anisa menyisir rambut kakaknya dan tersenyum di depan kaca rias. "Kakak harus janji sama aku kalau apapun yang terjadi nanti kakak akan tetap tersenyum seperti sekarang ini. Aku tidak mau kehilangan senyuman kakak." Anisa merangkul leher Amira dari belakang. "Mas Jordan jahat karena sudah mengambil kakak dariku secepat ini. Lelaki itu pasti ingin cepat memiliki kakak karena dia takut kehilangan kakak. Lihat saja, sebentar lagi dia akan menikahi kakak dan aku pasti akan sendirian di rumah ini." Anisa memperlihatkan wajahnya yang cemberut di depan cermin yang bisa Amira lihat. Amira yang mendengar nada merengek dari adiknya tersenyum tipis. Adiknya memang sangat manja kepadanya. "Kamu pasti takut kangen sama kakak kalau kakak sudah gak tinggal di rumah ini. Ngaku kamu," Amira menggegam kedua tangan adiknya dengan posisi masih duduk di depan cermin. Anisa terkekeh, kemudian dia menggelengkan kepalanya pelan. "Percaya diri sekali kakakku ini. Aku bukan takut kangen sama kakak kalau kakak udah gak tinggal di rumah ini. Tapi aku takut jadi satu-satunya babu Mama yang Mama suruh-suruh kalau gak ada kakak. Kalau ada kakak kan lumayan, bisa bagi tugas." Sontak pengakuan Anisa membuat kedua bola mata Amira hampir keluar. "Anisa...." Teriak Amira lantang. Bahkan dia sampai berdiri dan berbalik menghadap Anisa dengan kedua tangan berkacak pinggang. "Ra, jangan teriak-teriak. Ini rumah, bukan hutan. Malu sama tetangga." Anisa dan Amira yang mendapat teriakan balik dari mama mereka hanya mampu meringis pelan. Kemudian mereka berdua tertawa bersama. "Beginilah caraku untuk menghibur diriku sendiri. Berbuat seolah-olah aku bahagia meski sebenarnya hatiku tersayat ketika membayangkan lelaki yang aku cintai akan melamar seorang perempuan di depan mataku, walau perempuan itu adalah kakakku sendiri." Batin Anisa sambil menatap tawa kakaknya. Melihat tawa tulus dan bahagia kakaknya, rasanya dia tidak tega untuk merampas semua itu. "Kali ini biarkan aku yang berkorban." Anisa mantap mengatakan itu dari dalam hatinya. Meski dia kurang yakin kalau dia mampu menghilangkan perasaan cintanya kepada Jordan yang sudah terlanjur dalam, tapi Anisa janji kalau dia tidak akan merebut Jordan dari pelukan kakaknya. Dia tidak akan mengambil sesuatu yang menjadi sumber kebahagiaan kakaknya sekarang ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD