Anisa menatap Abang sepupunya dengan penuh tanda tanya. Abang sepupunya sama sekali tidak berbicara ketika selesai menerima telepon dari seseorang. Lalu saat mobil abangnya hampir sampai ke rumahnya banyak sekali orang yang keluar masuk kedalam rumahnya. Hal yang membuat Anisa langsung linglung dan mematung di tempat adalah ketika dia melihat bendera kuning berkibar di depan halaman rumahnya.
"Ada apa ini, Pak? Kenapa ada bendera kuning di depan rumah saya?" Tanya Anisa kepada RT di komplek rumahnya yang hanya diam sambil menatap wajah abang sepupunya.
"Kenapa semua orang menangis setelah keluar dari dalam rumahku bang?" Tanya Anisa dengan nada panik. Aldo menggegam tangan adik sepupunya dan langsung menariknya kedalam pelukannya.
Anisa menatap wajah abangnya dengan sendu. "Ad_ada apa bang?" Tanya Anisa yang suaranya mulai serak.
"Abang harap setelah kamu melihat apa yang terjadi di dalam rumahmu, kamu tidak larut dalam kesedihan. Kamu boleh menangis, tapi ingat, semua ini sudah garis takdirnya." Setelan mengatakan kalimat itu, Aldo menuntun Anisa untuk masuk kedalam rumah.
Orang yang Anisa lihat pertama kali adalah laki-laki yang selama ini dia hindari setelah dia tahu bahwa lelaki itu lebih memilih kakaknya dari pada dirinya.
"Siapa yang pergi? SIAPA?!" Teriak Anisa ketika melihat tubuh seseorang terbujur kaku dengan kain menuntup seluruh tubuhnya. Anisa mendekati jenazah di depannya. Dengan perasaan kacau dia memberanikan diri untuk membuka kain yang menutupi wajah jenazah di depannya.
"Ini gak mungkin, kakakku gak mungkin pergi. Dia ada di Paris, hari ini dia pergi ke Paris bersama suaminya. Ini bukan kakakku, ini bukan kakakku!" Anisa menepis semua yang terjadi. Dia terus menggelengkan kepalanya dan mengatakan bahwa yang dia lihat sekarang itu bukan kakaknya. Anisa menolak sebuah kenyataan tentang kakaknya yang sudah meninggal. Dia percaya bahwa kakaknya masih hidup dan sekarang ini tengah berada di paris bersama dengan kakak iparnya.
Tubuh Anisa di peluk oleh Aldo. Karena Mamanya sedang menunggu tantenya yang pingsan di kamar karena tidak kuat melihat keadaan putrinya. Sedangkan papanya mengurus tempat pemakaman Amira.
Anisa menyesali tentang keputusannya yang pergi dari rumah ini. Andai dia kemarin tidak pergi ke Bandung, Mungkin tadi pagi dia masih bisa melihat kakaknya untuk yang terakhir kali.
"Kasihan ya, baru menikah udah meninggal."
"Iya, mana masih muda lagi."
"Kira-kira Mas Jordan setelah jadi duda mau gak ya sama anak saya? Atau malah diambil Mbak Anisa?"
Andaikan tidak dalam keadaan duka seperti ini, Anisa ingin sekali menampar mulut kedua ibu yang sedang duduk tidak jauh darinya. Ketika semua orang sedang bersedih dan berduka atas kematian kakaknya, kedua ibu itu malah membicarakan tentang hal yang tidak pantas di bicarakan dalam kondisi seperti ini.
Untuk pertama kalinya Anisa menyesali perbuatannya yang pergi dari rumah. Dia membenci dirinya sendiri karena hanya perkara laki-laki dia tidak bisa melihat kakaknya untuk yang terakhir kali.
"Semua orang boleh pergi, tapi jangan kakak. Aku gak bisa kehilangan kakak, cuma kakak yang ngerti dan selalu bela aku kalau aku ada masalah. Aku sama siapa kak, kalau gak sama kakak. Aku cuma punya kakak. Kak dengerin aku ngomong, kakak bangun. Ayo kak bangun, kak bangun." Ucap Anisa sambil menggoyangkan kedua lengan kakaknya. Selama ini hanya kakaknya yang mendengar keluh kesalnya, dia jarang sekali bercerita kepada kedua orang tuanya. Hanya kakaknya yang selalu menemaninya dan menenangkannya ketika dirinya mempunyai banyak masalah diluar. Hanya kakaknya yang membelanya ketika satu rumah menghakiminya. Sekarang kakaknya sudah pergi, siapa yang akan membela dan mendengarkan semua ceritanya?
"Kakak jangan pergi, hiks, hiks, aku siap ngalah lagi buat kakak. Kakak jangan pergi. Kakak denger aku, bukannya kakak pengen nikah sama Mas Jordan dan punya anak kembar? lalu kenapa setelah nikah kakak malah meninggal? Kenapa kak? Kenapa tuhan?!" Teriak Anisa yang mulai tidak terkendali. Anisa mulai mengamuk dan menyalahkan tuhannya.
Aldo segera memekuk adik sepupunya dan menenangkannya. Tapi Anisa memberontak dari pelukannya, hingga membuat Aldo kuwalahan.
"Kamu pikir cuma kamu yang kehilangan Amira?! Aku, Tante, Om, Jordan, dan semua orang disini juga kehilangan Amira. JADI BERHENTI MENANGIS DAN NYALAHIN TUHAN! TUHAN ITU GAK SALAH SA, INI SEMUA UDAH TAKDIR AMIRA MATI UMUR SEGINI. KAMU GAK BISA YANG NAMANYA MENGUBAH ATAU MENGATUR TAKDIR SESEORANG!" Teriak Aldo sambil memegang kedua pundak adiknya. Anisa memalingkan wajahnya, kemudian dia menatap wajah Kakaknya yang sudah terbujur kaku.
Tangan yang selalu merangkulnya kini tidak lagi bisa bergerak. Bibir yang selalu mengomelinya ketika dia membuat kesalahannya kini tidak lagi bisa berbicara. semua yang ada pada tubuh kakaknya sudah dingin.
"Sekarang kamu tidur, ini Sudah malam. Biar Abang dan semua orang yang berada disini yang menjaga jasad Amira." Suruh Aldo sambil mengusap air mata Anisa. Anisa menggeleng, dia menatap Zidan yang berdiri tidak jauh dari posisi Aldo berdiri. Anisa menghampiri lelaki itu dan bersujud di kakinya.
"Kamu pernah bilang ke aku kalau aku boleh minta apa aja ke kamu. Kali ini aku mau minta satu hal ke kamu, Zid. Ak_aku mau min_minta sesuatu sama kamu. Aku mohon..." Anisa mengantupkan kedua tangannya dengan nada bicara terbata-bata. Zidan mengusap air matanya, kemudahan dia memeluk Anisa yang sedang berjongkok di depannya.
"Kamu mau minta apa, Sa? Ngomong sama aku, kamu mau minta apa?" Zidan menangkup wajah Anisa sambil mengusap air matanya yang terus mengalir bagai hujan.
"Bawa kakakku kembali kesini, bawa dia kembali kepadaku. Bawa dia kembali bersamaku. Aku janji, setelah kamu membawa kakakku kembali aku akan menikah denganmu, aku janji Zid, aku janji." Anisa menangis sambil menatap wajah Zidan. Zidan yang mendengar permintaan Anisa langsung terdiam mematung. Dia tidak mungkin menyetujui permintaan perempuan di depannya. Tidak mungkin. Dia manusia, dia tidak bisa merubah takdir siapapun.
"Maaf Sa, untuk kali ini aku gak bisa penuhi permintaanmu. Aku manusia, aku tidak mungkin melawan takdir. Hanya Tuhan yang mempunyai kuasa atas takdir kematian kakakmu." Zidan menatap Anisa sendu. Anisa terdiam, dia mengusap air matanya ketika semua orang tidak bisa menolongnya.
Anisa menghampiri kakaknya kembali, kemudian dia memeluk tubuh kaku milik kakaknya dengan cara tiduran di sampingnya. Anisa tiduran di samping kakaknya dan menatap seluruh wajah sang kakak.
"Jika Kalian ingin membawa kakakku pergi, bawa aku juga. Karena aku sudah berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah meninggalkan kakakku sendirian. Kubur aku bersamanya." Bagi Anisa tidak ada hal yang paling menyakitkan selain kehilangan kakaknya. Dia rela berkorban untuk tidak mengatakan kepada kakaknya kalau dia mencintai Jordan agar Kakaknya bisa bahagia bersama lelaki itu. Sekarang kakaknya pergi, dia tidak mau melihat kakaknya sendirian di alam kubur, dia ingin menemani kakaknya dimanapun kakaknya berada. Biar saja orang lain menganggapnya gila karena dirinya mau ikut di kubur bersama jasad kakaknya. Kerena kenyataanya sulit baginya untuk melepaskan kakaknya begitu saja.
Semua orang ingin maju dan memindahkan tubuh Anisa dari samping Amira. Tapi Aldo menggeleng. Aldo mendekati Anisa dan mengusap rambutnya.
"Kamu sayang sama kakak kamu?" Tanya Aldo dengan lembut. Dia sudah mencoba berbicara dengan Anisa menggunakan kata-kata kasar, tapi sepertinya Anisa tidak bisa di kasar. Semakin Anisa di kasar semakin Anisa memberontak.
Anisa mengangguk lemah ketika dia mendengar pertanyaan dari Abang sepupunya.
"Biarkan dia tenang dan damai dalam kematiannya. Kamu jangan mempersulit semuanya. Kakakmu tersiksa ketika melihatmu seperti ini. Lepaskan dia, doakan dia agar dia tenang di surga. Kakak kamu orang baik, akan banyak malaikat yang menjaganya. kamu gak usah khawatir dia sendirian disana. Sekarang ikut Abang, biar jenazah kakak kamu mereka yang jaga. kamu harus istirahat, besok kita antar kakak kamu di peristirahatan terakhirnya." Ucap Aldo sambil menggendong tubuh Anisa. Zidan yang melihat Aldo datang ke rumah ini bersama dengan Anisa merasa panas, terlebih sekarang lelaki itu menggendong Anisa dan memeluknya seperti itu.
"Siapa dia? Kenapa dia bisa begitu mudah menenangkan Anisa?" Tanya Zidan kepada dirinya sendiri.