Mencoba meyakinkan hati

1193 Words
Yang hidup pasti akan mati. Kita tidak bisa merubah takdir siapapun. Pagi yang seharusnya berawan dan indah, kini menjadi suram. Kematian kakaknya seperti membuatnya kehilangan semangat. Panas sinar matahari tidak membuatnya pergi dari kuburan ini. Anisa masih berjongkok di samping tanah merah yang masih basah milik kakaknya. Untuk pertama kalinya Anisa merasakan hatinya sangat hampa. Jordan tidak terlihat meneteskan air matanya sama sekali. Tapi tatapan mata lelaki itu terlihat kosong. Bahkan saat Jordan ikut memasukkan jenazah istrinya kedalam liang lahat, Jordan tidak berkomentar apapun. Jordan mendekati Anisa dan berbicara kepada perempuan yang istrinya titipkan kepadanya. Sejujurnya berat untuknya menerima keputusan ini. Dia sangat mencintai istrinya, tidak mudah untuknya jika harus menikah lagi dengan perempuan lain. "Dia tidak akan tenang jika melihatmu terus menangis." Jordan berjongkok di samping Anisa yang hanya berdua dengannya disini. Aldo sudah pergi ketika Jordan mengisyaratkan kepada lelaki itu seakan mengatakan biar dia yang mengurus Anisa. "Lalu jika aku tidak boleh menangis apa aku harus tertawa atas kematian kakakku? Semesta seakan sedang bercanda denganku. Baru kemarin aku menyaksikan kalian menikah, tapi sekarang aku harus menyaksikan kakakku meninggal. Apa yang lebih menyakitkan dari pada di tinggal orang yang paling kita sayang?" Tanya Anisa yang membuat Jordan segera menatapnya serius. "Hal yang jauh menyakitkan dari pada di tinggal oleh orang yang kita sayang meninggal adalah ketika kita di paksa untuk mencintai orang yang tidak kita cintai." Jordan menjawab pertanyaan Anisa dengan mata tidak lepas dari wajah perempuan di sampingnya. Anisa mengerutkan keningnya, dia tidak mengerti dengan maksud dari ucapan Jordan, tapi dia juga tidak berniat bertanya lebih tentang maksud ucapan dari lelaki itu. Anisa merasa kalau ucapan Jordan itu tidak lagi penting.  Jordan menggegam tanah merah basah milik istrinya. "Di peristirahatan terakhirmu, aku bersumpah akan mengabulkan keinginanmu untuk menikahi adikmu, yaitu Anisa Maharani Alfat. Tapi aku tidak berjanji untuk bisa mencintainya. Karena cinta itu hadir tanpa paksaan. Semoga kamu tenang disana, aku mencintaimu." Jordan bicara di dalam hati. Kemudian tanah merah itu dia sedikit kenakan di lengan Anisa. "Aku pulang dulu," Jordan meninggalkan Anisa sendiri. Tetapi saat dia hendak masuk kedalam mobilnya, dia teringat dengan janji istrinya bahwa dia akan menjaga adik iparnya tersebut. Jordan memakai kaca mata hitam miliknya, kemudian dia bersandar pada sisi samping kanan mobilnya sambil menunggu Anisa. Lagi pula dia yang menyuruh Aldo pergi, berarti dia yang bertanggung jawab mengantar Anisa pulang. "Katanya mau pulang, kenapa malah masih disini?" Tanya Anisa sambil membenarkan kerudung yang menutup kepalanya. "Aku bukan lelaki b******n yang meninggalkan perempuan di makam sendiri. Terlebih makam ini sepi. Masuklah, kita pulang bareng." Suruh Jordan sambil membukakan pintu mobil untuk perempuan itu. Anisa terdiam, dulu dia sangat berharap di bukakan pintu mobil seperti ini oleh lelaki di sampingnya, tapi sekarang dia sadar, kehilangan kakaknya jauh lebih menyakitkan dari pada melepas cintanya. Dia tidak mau menghianati kakaknya dengan masih mengharapkan lelaki di sampingnya untuk hadir di hidupnya. Meski dia tahu bahwa kakaknya sudah meninggal, tapi dia tidak mau merebut sesuatu yang memang sudah menjadi milik kakaknya. Dia sadar hanya raga kakaknya saja yang mati, tapi cinta kakaknya akan terus hidup untuk lelaki di sampingnya. Anisa masuk kedalam mobil sambil sesekali melirik lelaki di sampingnya. Entah kenapa jantungnya masih berdetak kencang ketika duduk di samping suami kakaknya. Tapi jujur di dalam hatinya dia sudah tidak lagi menginginkan lelaki di sampingnya untuk menjadi imamnya. Dia akan mencoba dengan keras menghapus nama suami kakaknya di hatinya dan menggantikan nama lelaki itu dengan nama lelaki lain. "Mau sampai kapan kamu diam seperti ini? Bahkan aku tidak pernah melihat kakakmu diam seperti kamu." Ucap Jordan sambil melirik perempuan di sampingnya. Ini yang tidak Jordan sukai dari Anisa. Anisa itu pendiam, dan dia tidak menyukai perempuan pendiam. Menurutnya perempuan pendiam itu membosankan. "Aku bukan kak Amira, kami berbeda. Jadi jangan bandingkan aku dengan dia." Anisa tidak terima jika dirinya di bandingkan oleh lelaki di sampingnya dengan kakaknya yang cerewet dan humoris. Dia punya sifat tersendiri yang membuatnya nyaman. "Mulai sekarang kamu harus berusaha untuk cerewet di sampingku, karena takdir tidak ada yang tahu." Lagi-lagi Jordan membuat Anisa bingung. Tapi Anisa tidak perduli. Dia mencoba memejamkan kedua matanya yang terasa berat karena semalaman dia tidak tidur gara-gara terus memikirkan kakaknya. "Cantik," Gumam Jordan ketika melihat perempuan di sampingnya itu tertidur. Jordan seperti melihat duplikat istrinya tidur Ketika melihat Anisa tidur seperti ini. "Semoga kali ini pilihanku tepat." Ucap Jordan yang kembali fokus ke jalan. *** Jordan terus mengamati Anisa yang sedang mengobrol dengan Zidan.  Mereka berdua tertawa bersama sambil menyiapkan makanan untuk tahlilan. Aldo yang sedari tadi duduk di samping Jordan mengamati setiap gerak gerik Jordan. "Berhenti menatapnya seperti itu, dia itu Anisa, bukan Amira." Aldo mengira kalau Jordan menatap Anisa terus menerus karena Jordan merindukan Amira. Padahal Jordan tengah meyakinkan perasannya untuk menikahi perempuan itu sesuai amanat istrinya. Jordan tidak mungkin asal menikahi seseorang. Dia tidak mau seseorang itu terluka karenanya. Sehingga dia harus meyakinkan perasaannya bahwa dia tidak akan salah mengambil keputusan. "Aku tahu kamu baru kehilangan istrimu, tapi yang kamu lihat sekarang bukan istrimu. Jadi berhenti menatap dia seakan kamu mencintainya." Aldo berdiri di samping Jordan dan menepuk pundak sebelah kanan Jordan sambil menatapnya datar. "Jangan berpikir kamu bisa memilikinya jika kamu hanya ingin menjadikan dia sebagai tempat pelampiasanmu. Dia sama sepertimu, terpukul dengan kematian Amira. Dia baru bisa tersenyum malam ini, jangan kamu buat dia menangis dengan tatapanmu itu." Aldo segera pergi dari samping Jordan. Jordan hanya diam saja ketika mendengar ucapan laki-laki yang kata mamanya itu adalah Abang sepupu Anisa dan Amira, anak dari Tante Sinta. "Pantas saja mamanya omongannya pedas, ternyata anaknya juga omongannya pedas." Gumam Jordan yang sekarang memilih berdiri dan menghampiri papanya yang tengah berbicara dengan seseorang. "Pah," Panggil Jordan sambil duduk di samping papanya setelah orang yang mengobrol dengan Papanya itu pergi. "Yang sabar Nak. Papa yakin semua ini pasti ada hikmahnya. Ikhlaskan istrimu, biarkan dia tenang di surga." Rafi memeluk tubuh anaknya dan mengusap punggungnya guna untuk menguatkannya. Jordan tidak menangis, hanya saja dia benar-benar merasakan kehilangan ketika dia tidak mendengar suara cempreng istrinya di dalam keramaian orang tahlilan seperti ini. "Papa tahu tidak mudah bagi kamu untuk melupakannya, tapi papa yakin rencana Tuhan jauh lebih indah dari pada rencanamu. Percaya sama papa, bahwa Tuhan sudah menggariskan takdir bahagiamu dengan cara yang tidak kamu ketahui." Rafi juga Cukup terpukul ketika pihak kepolisian menelponnya dan mengatakan kepadanya bahwa  mobil yang di kendarai anaknya mengalami kecelakaan beruntun. Bahkan ketika berita di televisi mengatakan ada 4 orang yang tewas di tempat membuatnya seakan sulit bernafas. Tapi setelah dia melihat tubuh anak berserta menantunya yang masih di dalam mobil dan di katakan selamat tetapi dalam kondisi parah, dia langsung mendatangi rumah sakit terdekat. "Aku sedang mencoba untuk mengiklaskannya, Pa. Tapi aku tidak bisa memaksa diriku sendiri untuk berhenti mencintainya." Ucap Jordan yang di beri anggukan kepala oleh Rafi. Menurut Rafi ketika putranya sudah mau berusaha untuk mengikhlaskan istrinya itu sudah sangat membuatnya senang. Rafi tidak meminta putranya untuk melupakan istrinya, karena dia sendiri Juga tahu betapa dalam anaknya mencintai istrinya "Sudahlah, diluar dingin. Ayo kita masuk kedalam." Suruh Rafi sambil merangkul pundak anaknya. Jordan mengangguk, di saat seperti ini dia memikirkan istrinya yang telah pergi. "Semoga kamu tenang disana sayang." Lirih Jordan yang Rafi sendiri tidak bisa mendengarnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD