Belitan Masa lalu (2)

967 Words
“Lila udah, Nisa udah, Jihan kapan?” Tante Raya bertanya, tentunya diselipi canda. “Udah berkali-kali dilangkahin, dari adik sendiri sampai adik sepupu. Padahal Tante paling nunggu undangan dari kamu, lho.”  “Udah 26, kan? Lebih dari cukup tuh untuk menikah, Lila aja 25. Nisa 24 malah. Kurang apalagi, Han? Kamu nggak pengen seperti adik-adikmu?” “Penghasilanmu sudah lumayan dan setau Tante, teman seangkatanmu sudah menikah semua. Jangan lama-lama menunda, nggak baik. Kalau terlalu berumur nanti sulit punya anak, keburu expired.” Jihan hanya tersenyum menanggapi. Jika pembicaraan seperti ini terjadi, senjata ampuh Jihan hanyalah senyum dan kediamannya. Menanggapi hal seperti ini tidak akan ada habisnya. Mereka tidak akan puas sampai kapan pun. “Udah jangan ditanya lagi, kasihan ponakan sendiri diusili.” Mama menengahi, tapi tidak betul-betul menengahi. “Kalau ada anak teman, kenalin sama Jihan. Jangan cuma didesak aja, tapi ikut bantu nyariin jodoh. Anak ini nggak punya motivasi, semua yang kita desak hanya jalan di tempat.” “Mbak mau tipe yang seperti apa?” Tante Bunga menimpali, ibu dari Nisa yang menikah hari ini. “Kebetulan temanku punya anak laki-laki, tadi datang, kok. Mau sekalian dikenalin?” “Tid–” “Boleh,” sahut Mama antusias. “Di mana orangnya?” Lengan Jihan langsung dirangkul, bahkan tanpa meminta pendapat dari Jihan, Mama sudah menyeretnya. Kecemasan langsung melingkupi Jihan, hal ini sering terjadi saat berada di situasi yang sama. Rasa tidak percaya dirinya mulai muncul, Jihan begitu takut padahal orang-orang tidak akan tahu seandainya Jihan tidak mengatakan kekurangannya. “Jeng Linda, hai, apa kabar?” Tante Bunga angsung cipika-cipiki. “Ini ada yang mau aku kenalin, Argan mana?” “Hai, baik, kok,” sambut seseorang yang bernama Linda, pandangannya beralih pada Mama dan Jihan, seketika senyumnya langsung merekah lebar lalu memanggil anaknya untuk mendekat. “Nggak bilang-bilang kalau ngajak kenalan. Tau gitu, kami butuh persiapan dulu untuk menyambut.” “Ah, nggak usah.” Tawa kecil Tante Bunga terdengar, selanjutnya Tante Bunga menunjuk Mama. “Ini Kakakku dan ini ...” Beralih pada Jihan. “Ponakanku. Masih sendiri, lho.” “Halo.” Mama lebih dulu menyapa dan mengajak cipika-cipiki. “Baru tahu kalau Bunga punya teman semuda ini.” “Mbak bisa aja.” Tante Linda tertawa. Seorang laki-laki mendekati dan Tante Linda langsung memperkenalkannya. “Ini Argan. Anak saya satu-satunya. Masih sendiri juga.” Rupanya Argan menyadari situasi, jadi, Argan langsung tanggap dengan mengulurkan tangan ke arah Jihan, mengajaknya berkenalan. Mama mengode Jihan lewat tatapan, supaya segera menanggapi. Jihan menelan ludah lalu menyambut dengan telapak tangan yang mengeluarkan keringat. “Jihan ... Aisha.” “Argan Akbar,” balas Argan. Mata Argan lekat mengamati Jihan beberapa saat, setelah itu terputus seiring dengan jabatan tangannya yang dilepas. “Senang mengenalmu.” “Terima kasih,” lirih Jihan. Para orang tua itu menangkap sinyal yang salah. Mereka tertawa bersama-sama, karena menurut kacamata mereka, ini adalah sesuatu yang akan berhasil jika kedepannya dibumbui sedikit usaha untuk mendekatkan keduanya. *** “Kata Tante Linda, Argan menelpon. Kenapa tidak diangkat?” Jihan baru saja pulang dari kantor. Sebagai karyawan pabrik yang selalu menghadapi komputer dan angka-angka yang memusingkan, Jihan ingin pulangnya disambut dengan ketenangan, bukan pertanyaan seperti ini. Belakangan ini Jihan sering mengeluh, tapi hanya bisa menyampaikan keluhannya di dalam hati, karena Jihan tidak berani mengatakannya secara langsung. Jihan anak yang begitu penurut tapi adakalanya Jihan ingin memberontak, tapi lagi-lagi tidak bisa disampaikan. Mungkin sudah terbiasa memendam, pada akhirnya itu menjadi kebiasaan bagi Jihan. “Jihan belum periksa ponsel, Ma.” “Sekarang langsung hubungin balik, ya. Nggak sopan begitu. Padahal itu telepon pertama, lho, gimana mau berhasil kalau Jihan menutup akses duluan.” Bibir Jihan sudah terbuka, ingin mengatakan penolakan. Namun pada akhirnya hanya embusan napas keluar berikutnya dengan anggukan. “Jihan akan menelponnya.” “Bagus.” Senyum Mama mengembang. “Kalau begitu, Mama ke dapur dulu. Papa dan Zidan sebentar lagi pulang dari olah raga sore, mereka pasti mengeluh kelaparan. Nanti bantuin Mama di dapur setelah urusan kamu selesai.” “Iya, Ma.” Jihan mempersilahkan Mama berlalu lebih dulu barulah setelah itu Jihan memasuki kamarnya. Diletakkan Jihan tasnya di atas meja, selanjutnya Jihan mendudukkan diri. Jihan mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan jemarinya langsung menekan tombol-tombol di layar, hingga menampilkan deretan angka tanpa nama. Pasti ini nomor Argan. Jihan memandanginya lama. Alih-alih menelpon, Jihan hanya mengirimkan pesan pada Argan. Jihan tidak ingin menaruh apa-apa di sini karena Jihan tidak ingin berakhir pada kekecewaan. Jihan : [Assalamu’alaikum. Ini Jihan. Maaf tidak bisa menjawab panggilannya.] Setelah itu, Jihan meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapan Jihan mulai fokus pada kaca di depannya. Satu persatu, jarum pentul yang tersemat di kerudung pashminanya dicomot. Setelah bagian itu selesai, Jihan melepaskan pashmina berikut dengan telakung yang menjadi lapisannya. Yang ada di pantulan kaca sekarang adalah perempuan dengan surai hitam legam sebahu. Semakin lama Jihan menatap semakin murung raut wajahnya. Ada alasan dibalik Jihan memutuskan untuk berhijab, penampilannya tanpa penutup kepala membuatnya teringat akan masa lalu. Gambaran seorang gadis yang terpedaya oleh nafsu yang mengatasnamakan cinta. *** Jihan baru selesai melipat mukenanya, ponsel yang tadi di charge berdering. Tanpa tergesa-gesa  untuk mengangkat, Jihan lebih dulu mengembalikan mukena dan sajadahnya ke dalam lemari. Setelah itu barulah Jihan mengambil benda tipis itu. Sebuah nomor tanpa nama lagi, kali ini Jihan mengenalinya di luar kepala. Yang Jihan tidak mengerti, kenapa Argan menelponnya lagi? Jihan ingin menolak tapi sepertinya itu tidak sopan. “Assalamu’alaikum, ini Argan.” Itu adalah salam pertama setelah Jihan menerima, lalu dilanjutkan, “Saya tidak mengganggu, bukan?” “Wa’alaikumsalam, tidak mengganggu.” “Alhamdulillah kalau begitu.” Selanjutnya Jihan termenung, karena tidak tahu harus menanggapi dengan apa. Jika bisa, Jihan ingin segera mengakhirinya, tapi  alasan apa yang harus Jihan katakan? Sudah lama rasanya Jihan tidak merasakan kebimbangan seperti ini. “Senang mengenal Jihan. Ibu saya ingin kita berhubungan baik.” “Terima kasih.” Sama sekali tidak mempunyai inisiatif untuk memperpanjang percakapan. Jika laki-laki yang menjadi lawan bicaranya ini mencoba mendekat, maka Jihan sendiri harus menolak, tidak akan terang-terangan karena jika itu terjadi, Mama akan marah. “Jihan sudah salat isya?” “Sudah.” “Alhamdulillah. Hanya itu saja yang saya sampaikan, sekali lagi saya senang mengenal Jihan.” “Terima kasih.” “Sama-sama. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” Jihan langsung menghapus nomor Argan begitu ponsel dijauhkan. Setelahnya Jihan menyimpan ponsel di dalam lemari, sementara untuk mengindari melihat benda itu. Semoga tidak akan pernah lagi terlibat percakapan dengan Argan, karena Jihan tidak ingin itu berjalan dengan lancar. Bukan Argan yang bermasalah, tapi Jihan. Karena saat ini Jihan merasa tidak percaya diri bersanding dengan siapa pun. *** 01 Juli 2020 Instagram : wfebiy_ Wattpad   : Hellowol_
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD