Argan dan Rencana Perjodohan (1)

1166 Words
Sebentar lagi istirahat tapi perasaan Jihan semakin tidak enak. Hari ini Argan mengajak makan siang, Mama juga sudah mengingatkan Jihan untuk jangan sampai tidak datang. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menolak. Fokus kerja Jihan mengendur, berkali-kali Jihan menghela menghela napas berat, rupanya hal itu mengundang pertanyaan dari Icy, yang duduk tepat di kubikel sebelahnya. “Kenapa, Han? Kayak yang lagi banyak beban aja. Ini masih tanggal muda, lho.” Jihan menggeleng. “Tidak apa-apa, Ci.” “Laper? Bentar lagi istirahat, kita bisa makan di kafe depan yang baru buka.” “Sepertinya ... tidak bisa. Hari ini aku ada janji.” Mata Icy mengerling. “Sama siapa? Udah punya calon laki, ya? Jangan sok rahasia terus tetiba sebar undangan, nanti satu ruangan kaget, lho.” Senyum tipis sebagai akhir dari percakapan. Jihan fokus menyelesaikan pekerjaannya, tidak menanggapi Icy lagi. Tapi, saat jari-jarinya sibuk menekan keyboard komputer, sebuah notif pesan masuk. Jihan sempat menghentikan lalu melirik pada layar yang menyala. Nomor yang tidak pernah Jihan simpan, bahkan Jihan hapus saat itu juga, mengiriminya pesan. Tanpa membuka pun Jihan sudah bisa membacanya. +628120110xxxx : [Tidak keberatan kalau saya menjemput Jihan?] Ya Allah laki-laki ini ... kenapa begitu sulit menjauhinya? Malah Argan sekarang semakin gencar mendekati Jihan, didukung lagi dengan Mama. Setiap Argan ingin melakukan sesuatu, Mama pasti sudah lebih dulu mengetahuinya. Seolah skenario kedekatan Jihan dan Argan sudah diatur, tinggal menjalaninya saja. Lagi-lagi, tangan Jihan berkeringat dingin. Jihan sempat mengepalkannya lalu setelah itu mengambil ponsel. Dengan cepat Jihan mengetikkan balasan untuk pesan Argan. Sama seperti bicaranya yang irit, pesan yang dikirimnya pun tidak jauh. Jihan : [Saya akan datang tepat waktu.] Setelah itu, Jihan keluar dari ruang percakapan. Kali ini, Jihan tidak mematikan ponselnya melainkan mematikan data internet. Berharap agar Argan mengerti, kalau saat ini Jihan enggan didekati. *** Begitu Jihan tiba, Argan berdiri menyambutnya. Senyum Argan juga tidak luput dari pandangan Jihan tapi Jihan segera menundukkan kepalanya untuk menghindar. Jihan menguatkan dalam hati, ini akan berlalu dengan cepat. Jihan hanya butuh makan sambil menanggapi singkat lalu kembali ke kantor setelahnya. “Langsung makan atau mengobrol dulu?” “Makan saja,” jawab Jihan pelan. Argan mengangguk. Segera Argan memanggil pelayan, menerima buku menu dan langsung menyebutkan pesanannya. Jihan juga begitu. Sengaja Jihan memilih menu yang porsinya lebih sedikit agar tidak membutuhkan waktu banyak untuk menghabiskan makan. “Ke sini naik apa? Pulangnya nanti boleh saya antar?” “Terima kasih, tapi saya naik taksi online saja.” “Jangan sungkan. Tante Layla berpesan saya harus memastikan keselamatanmu.” Sebelumnya Jihan curiga Mama bertukar pesan dengan mamanya Argan atau Argan sendiri, tapi sekarang kecurigaannya sudah terjawab. Dalam hati Jihan sedih, Jihan tahu Mama ingin Jihan segera menikah, tapi tidak dengan cara seperti ini. Jihan menikah jika Jihan sudah benar-benar siap, bukan karena tuntutan atau paksaan. “Mohon maaf karena lancang, apa Jihan tidak menyukai saya?” tanya Argan. Manik mata Argan tidak pernah lepas menatap Jihan, itu juga yang membuat Argan menangkap kalau perempuan di depannya ini terlihat tidak nyaman. “Apa saya mengganggu Jihan?” “Tidak.” Kedua tangan Jihan saling meremas, kepalanya tertunduk. “Saya ... memang begini. Maaf kalau membuatmu salah paham.” Seulas senyum tipis muncul. “Sama sekali tidak. Kita dalam tahap mengenal, saya bisa memakluminya. Semoga Jihan juga begitu pada saya.” “Terima kasih.” Pesanan mereka datang. Jihan langsung fokus pada makanannya begitu pelayan meletakkan di hadapan Jihan. Tanpa melihat Argan, Jihan memulai lebih dulu. Bisa saja Argan langsung menilai kalau Jihan adalah orang yang tidak sopan, tapi Jihan tidak akan mempermasalahkan. Itu pandangan Argan, Jihan tidak berhak melarangnya. “Apa Jihan selalu begini?” Argan berbicara lagi, sementara tangannya sibuk melepas kancing lengan kemeja lalu menggulungnya. “Atau ini hanya karena Jihan lapar, jadi Jihan tidak mengajak saya untuk memulai makan bersama.” Jihan sempat melirik kemudian menggeleng. “Saya memang seperti ini.” “Berarti banyak hal yang perlu saya pelajari tentang Jihan.” Argan sempat menjeda, lalu melanjutkan lagi, “Saya orang yang mudah beradaptasi. Seharusnya orang dengan kepribadian seperti Jihan, tidak akan sulit dihadapi.” Memangnya Jihan seperti apa di mata Argan sehingga Argan berkata seperti itu. Jihan tidak suka, bukankah itu terlalu lancang? Ini baru pertemuan kedua, tapi ketidaknyamanan Jihan semakin bertambah. “Satu minggu. Beri saya waktu satu minggu untuk mengenal Jihan, kalau itu tidak berhasil maka saya akan menyerahkan keputusan pada keluarga kita.” Sendok di tangan Jihan langsung terlepas. Jadi, ... keluarga mereka sudah ada rencana? Ya Allah, apalagi ini? Apa yang tidak Jihan ketahui? Apa yang Mama Jihan dan Mama Argan bicarakan di belakang Jihan? “Saya tidak mengerti. Apa yang terlewatkan oleh saya?” “Jihan tidak tahu?” Dari tadi, Argan belum memulai makannya. Sekarang malah urung karena ini adalah kesempatan di mana Jihan lebih banyak bicara, walau pun harus dipancing dulu. “Sejak di pernikahan waktu itu, Mama saya dan Mama Jihan beberapa kali bertemu. Mereka ingin menjodohkan saya dengan Jihan. Sebelum itu terjadi, saya meminta ingin mendekati Jihan dulu. Dalam jangka waktu satu Minggu, kalau itu berhasil maka itu akan lebih mudah untuk kita. Kalau tidak, saya akan menyerahkan semua keputusan pada para orang tua.” Bukankah itu sama saja? Mendekat atau tidak, perjodohan akan tetap dilakukan. Menerima Argan atau tidak, Jihan tetap akan menikah. Kenapa tidak ada satu orang pun yang mau memahami kondisi Jihan? Kalau Mama saja tidak mengerti, dengan siapa lagi Jihan meminta pengertian? Bukankah darah lebih kental dari air? Seharusnya Mama sudah tahu gelagat yang ditunjukan Jihan selama ini karena mereka satu rumah. “Kenapa kamu menerimanya? Maksud saya, kenapa kamu ingin mengenal saya?” “Apa yang salah? Saya sudah cukup usia untuk menikah, saya juga sedang tidak dekat dengan seseorang. Saat ada teman mama saya memperkenalkan anak perempuannya yang juga sama, tidak ada alasan untuk menolaknya.” “Kita tidak saling mengenal.” Jihan refkles menyahut cepat, tapi itu tidak diralat karena itu pertanyaan yang memang ingin Jihan sampaikan. “Ini juga ... terlalu cepat. Saya ... tidak bisa.” “Maka dari itu saya meminta waktu seminggu untuk lebih jauh mengenal Jihan. Saya harap Jihan mau bekerjasama untuk mempermudah. Masalah cepat atau tidak, itu sama sekali bukan alasan. Saya anggap Jihan mengatakan itu karena gugup.” “Kenapa kamu begitu yakin ini akan berhasil? Saya takut kalau saya tidak sesuai dengan yang kamu harapkan. Jangan hanya menilai dari penampilan, itu akan mengecewakanmu nanti.” “Apa yang sebenarnya Jihan ingin katakan?” Argan menatap beberapa saat. “Sejak tadi saya mendengar, Jihan terlalu merendahkan diri Jihan sendiri. Apa ada masalah?” “Tidak.” Dengan cepat Jihan menggeleng lalu menunduk, fokus pada makanannya lagi. “Jam istirahat saya sebentar lagi habis. Saya ingin menyelesaikan makanan saya.” “Silahkan,” ujar Argan, tertawa geli. “Tidak ada yang melarang Jihan.” Selanjutnya, tidak ada lagi percakapan. Jihan hanya menyuap, mengunyah dan menelan. Itu pun rasanya kesulitan karena tenggorokannya tercekat. Berarti kalau Jihan dijodohkan, pernikahan akan terlaksana dan Jihan akan menghadapi ketakutan terbesarnya. Hal yang paling ingin Jihan hindari justru sekarang tepat di depan mata. Apa ini takdir dari Allah untuk Jihan? Jika orang lain, mungkin merasakan bahagia di posisi ini, tapi Jihan sama sekali tidak. Perasaan itu ... justru semakin menyiksanya. Kilasan masa lalu muncul, lalu gambaran penolakan. Membayangkan begini saja Jihan sudah tidak sanggup, apalagi mengalaminya langsung. Jihan bukannya berpikir buruk, tapi untuk ukuran orang tidak percaya diri, asumsi-asumsi negatif itu selalu muncul tanpa diperintah. Mereka bergentayangan di otak dan melahirkan ketakutan yang besar. Jihan akrab dengan itu karena Jihan selalu menempatkan dirinya pada ketidakpantasan. Jadi, situasi apa pun yang akan Jihan hadapi, tidak percaya dirinya-lah yang lebih dulu mengambil alih. Itu racun yang ditimbulkan Jihan sendiri untuk menyiksa diri Jihan sendiri. *** 02 Juli 2020 Instagram : wfebiy_ Wattpad   : Hellowol_  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD