Flashback

1096 Words
Aku sudah tak tahan ingin melakukan semua ini. Ratih harus kudapatkan. Bukan hanya faras yang cantik dan bodynya gitar, tapi juga karena dia asisten manajer yang punya gaji besar. Dia wanita sempurna. Sedang aku, hanya pria magang yang butuh masa depan. "Bu, maaf. Bisa minta bantuan sebentar?" tanyaku setelah dekat pada gadis yang tengah melipat mukena di mushola kantor usai lembur. "Ya?" Ratih menoleh. Matanya yang lentik berkedip beberapa kali. Ah, aku jadi gagal fokus karenanya. Kusodorkan berkas, agar ia memeriksa. Berkas itu adalah modus agar aku bisa berduaan dengannya setelah karyawan lain pulang. "Oh, ini perlu diperiksa di komputer. Apa tidak bisa besok?" tanyanya seolah berat menjawab. "Tidak bisa Bu. Soalnya bagian administrasi meminta saya memberikannya pagi-pagi sekali." "Huft." Ratih meniup berat. Ia terlihat terpaksa mengabulkan permintaanku. Kami pun berjalan masuk kembali ke kantor. Di saat dia mulai sibuk. Aku segera mengeluarkan air soda yang telah kucampur dengan obat perangsang. Juga obat bius untuk jaga-jaga jika dia menghindariku saat merasa hal yang aneh dengan libidonya. Malam semakin larut. Nafsu laki-lakiku semakin menjadi saat berdua seperti ini. Tapi aku harus sabar. Di saat wanita itu fokus, air soda kusodorkan dan diminum oleh Ratih. Benar saja, setelah obat bereaksi dia terlihat jelas menahan diri dengan terus fokus ke laptop, perempuan itu terlihat salah tingkah. Beberapa kali Ratih mengusap peluh di wajah. Sudah kuduga akan seperti ini, dia bukan tipe wanita yang mudah ditaklukkan. Akhirnya, soda yang tinggal separo, kuganti dengan botol minum lain yang sudah dicampur obat bius. Dan perempuan itu tak sadarkan diri. Ratih benar-benar cantik tanpa kerudung. Saat kulepas semua kancing pakaiannya, tiba-tiba ponselku berdering, aku melihat siapa yang memanggil. Mayang. Gadis desa yang menjadi tunanganku. "Maafkan aku Mayang," ucapku sembari mensilent suara panggilan dan kembali menggarap Ratih. Jika aku tak bisa menikah dengan wanita kaya, setidaknya aku harus menikah dengan wanita pekerja keras seperti Ratih. Dengan begitu aku bisa sedikit berleha-leha setelah pernikahan. Melanjutkan hubungan dengan Mayang hanya akan membuatku jadi kacung di keluarganya yang miskin. Malam hari saat sadar, Ratih sangat syok. "Ibu sudah bangun?" tanyaku yang terus berjaga di sampingnya dengan laptop. Wanita itu menangis. Dia memungut seluruh pakaiannya yang berserakan di lantai dan segera mengenakannya. "Apa yang sudah kamu lakukan?!" teriaknya serak. "Em ... itu ...." Belum sempat kuselesaikan ucapanku, tangannya sudah mendarat di pipi menamparku. "Kenapa Ibu marah? Coba ingat apa yang terjadi semalam, Ibu Ratih yang meminta saya melakukannya!" ucapku membela diri. Dalam kondisi sangat ingin bercinta lalu tak sadar,  Ratih pasti berpikir dia telah memaksaku. "Saya akan bertanggung jawab, Bu," sambungku lagi mantap. "Apa?" tanya Ratih menekan dan tak percaya. Dari matanya yang basah, aku tahu ada rasa sakit yang teramat karena telah kurenggut mahkotanya. "Saya akan menikahi Ibu." "Pria BRENGSEKKK!" Ratih berteriak sebelum akhirnya berlari pergi meninggalkanku ke luar. Dering ponsel menyadarkanku dari bayangan masa lalu. Kuraih ponsel di saku, sebuah chat dari Ratih. Apa lagi yang dia mau? Sekarang aku benar-benar bimbang, ingin bercerai dengannya tapi .... [Mas, aku tau perubahan adalah keniscayaan. Aku hanya tak percaya, suami yang dulu pernah sangat hangat dan mencintaiku kini berselingkuh dengan wanita lain. Kalau alasannya karena aku tak secantik dulu, itu karena pekerjaanku Mas. Di kantor di tambah di rumah yang tak ada habisnya. Aku sudah banyak berkorban, tenaga juga pikiranku untuk Mas dan keluarga Mas. Tapi setelah ada pengkhianatan seperti sekarang, aku memilih menyerah. Tinggalkan dia atau Mas tinggalkan aku, itu saja.] Huft. Benar semua tak semudah bayanganku. Harusnya seorang Rama tetap mempertahankannya setelah menikah dengan wanita lain pun, Ratih harus sangat bersyukur. Mana ada laki-laki yang mau bertahan dengan istri yang penampilannya seperti nenek-nenek? Ini sangat merepotkan. Aku harus memutar otak untuk mempertahankan Ratih sementara, dan bisa menikahi Delia sebelum ada pria lain yang menikahinya. Aku terus mendesah panjang karena ini. Membuka chat lain dari Delia, membuat hatiku sedikit senang. Perempuan itu mengirim foto menantang dengan caption. [Mas, jangan kelamaan kasih kabar perceraian Mas dengan wanita kurus itu, gak rindu apa sama aku? Aku sudah bilang pada keluargaku akan segera menikah dengan Mas Rama. SEGERA ] Aku geleng-geleng membaca pesannya. Ah, bagaimana ini? Apa aku bisa mengendalikan diriku? Rasanya aku ingin berlari ke hadapannya sekarang juga. Apa daya, aku harus bekerja jika tidak ingin Ibu Wenda menandaiku. Sampai di rumah aku mengajak Ratih bicara. Dengan meja ssbagai pembatas, kami bicara sambil makan. "Aku akan meninggalkan Delia, jadi kamu jangan lagi berpikir macam-macam. Untuk penampilanmu ini, perbaikilah. Makan yang banyak, siapa tau suatu saat nanti aku b*******h lagi." Tanganku memegang kepala Ratih. Euh, adegan ini sungguh buatku pengen  muntah, kenapa aku harus bersikap seperti ini? "Iya, Mas. Aku bisa terima itu, bukankah pernikahan tidak hanya soal seks. Aku akan berusaha membuat Mas tertarik lagi padaku." "Hem. Bagus." Aku menjawab singkat. Mana mungkin kamu bisa semenarik Delia, Rat? Ini membuatku tersenyum miris. Pulang kerja pun, aku tak berani menemui Delia, begitu juga akhir pekan. Minggu-minggu ini aku harus sedikit menjaga sikap pada Ratih meski tidak menyentuh wanita itu, setidaknya aku pulang tepat waktu dan tetap ada di rumah. Walau bagaimana aku harus berpura-pura mempertahankan Ratih untuk jabatan yang sudah lama aku tunggu. Aku juga berhati-hati setiap kali chat atau telepon dengan Delia. Bahkan agar Ratih tak curiga, aku terpaksa menjawab telepon di kamar mandi. Sialnya, aku harus terus meyakinkan Delia juga dengan berbagai alasan. Namun, di saat yang sama aku juga tidak mau kehilangan waktu. Tanpa sepengetahuan Ratih, aku sudah mengurus surat perceraian kami. Jadi setelah diangkat manajer aku hanya tinggal minta tandatangan padanya. Hingga suatu sore, aku pulang dalam keadaan sangat lapar. Berharap sudah ada makanan tersaji di atas meja makan. Namun, rumah kosong. Ratih belum pulang dan yang menitipkan Denisa mengantar anak itu karena melihatku lewat tadi. "Oh, sialan. Ke mana wanita itu?" Aku sangat marah. Ingin sekali melampiaskan kemarahan ini pada Denisa dengan memukulinya, untung saja tidak jadi karena aku ingat bukan binatang. Jadi aku hanya membentaknya setiap kali dia rewel minta ini dan itu. Hampir magrib, Ratih akhirnya pulang. Aku sudah siap akan mengomel dan marah-marah padanya. "Kamu ke mana aja, sih? Mikir pakai otak dong! Suamimu capek dan sudah kelaparan, mana anak gak ada yang urus!" Ratih malah tersenyum. Sedikit pun tak ada rasa bersalah. Dengan santainya ia memperlihatkan bungkusan makanan di tangan. "Mas tenang dulu, ya. Ini aku bawa makanan." Aku memang sangat marah. Tapi juga harus makan sebelum perutku meledak karena sakit. Kuraih bungkusan itu sambil bersungut-sungut. "Sini-in!" Kutarik bungkusan itu. "Lain kali jangan diulangi." "Iya, Mas," jawabnya pelan. "Mas tau gak? Akhirnya aku kepilih jadi manajer perusahaan!" sambung Ratih dengan wajah sangat senang. "Apa?!" Aku jelas terkejut. Dia tak pernah cerita akan jadi manajer. Oh, lebih tepat aku tak tahu apa pun tentang pekerjaannya. Bagaimana ini? Aku saja belum tentu terpilih jadi manajer tahun ini. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD