Aborsi

1074 Words
“Maksud saya … Nyonya hamil. Selamat atas kehamilan Anda, Nyonya Anjani.” “A-pa maksud, Bu Bidan? Saya tidak mengerti.” “Nyonya Anjani sekarang sedang mengandung. Usia kandungan Nyonya memasuki 7 minggu.” Bumi terasa berhenti berputar. Suara petir di langit menggelegar membuat Anjani syok. Hujan yang turun dengan lebat seperti air matanya yang membanjiri pipi. Dunia terasa hancur dalam sekejap. Kata-kata sang bidan tadi masih terngiang-ngiang di telinganya. Langkah Anjani gontai menyusuri jalan. Kini tubuhnya basah kuyup karena bermandikan air hujan. Kilat petir yang menyambar, tak membuatnya takut sedikitpun. Pikirannya kosong. Hingga tanpa terasa, dia telah sampai di kontrakannya. Anjani bergegas masuk dan menuju ke kamar mandi. Di sana dia duduk meringkuk memeluk lutut di balik pintu. Dia menangis sejadi-jadinya. “Apa yang harus aku lakukan. A-aku hamil. Dan ini adalah anak Pak Juna. Karena hanya dia lah yang selalu menyentuhku selama 2 bulan ini.” Anjani bermonolog seraya berdiri. “Aku harus menghubunginya sekarang juga. Lebih baik aku meneleponnya saja.” Anjani bergegas keluar dengan tubuh yang masih basah kuyup. Dia mengambil ponselnya di lemari, lalu mengaktifkannya. Sudah dua hari ponselnya dalam kondisi tidak aktif. Yang pertama dibuka olehnya adalah aplikasi hijau, tujuannya hanya satu, yaitu menghubungi nomor Juna. Puluhan pesan dan panggilan masuk beruntun. Mata Anjani terbelalak ketika membaca pesan demi pesan dari Juna. Pria itu menunjukkan kemarahan padanya karena tidak masuk bekerja dan ponselnya tidak aktif. Anjani memencet tombol memanggil ke nomor pria itu. Namun, tidak bisa. Anjani melakukannya berulang kali. Dia pun mengirim pesan, tetapi hanya ceklis satu, yang artinya nomor Juna sedang tidak aktif. Tangis Anjani pun kembali pecah. Tubuhnya menggigil kedinginan, bibirnya bergetar. Tidak ada tempat untuknya mengadu selain pada Tuhan. Hingga tanpa sadar dia tertidur karena kelelahan menangis. Keesokan harinya, Anjani memaksakan diri untuk berangkat bekerja. Dia ingin menemui Juna dan membicarakan perihal kehamilannya. Pukul 09.00, Juna terlihat memasuki gedung perusahaan. Anjani bergegas menyusulnya secara diam-diam. Juna langsung duduk di kursi kerjanya. Wajahnya masih terlihat kusam dan sedikit memucat akibat mabuk-mabukan kemarin hingga malam. Matanya nampak memerah. Suara ketukan pintu mengejutkannya yang tengah melamun. “Masuk!” titahnya. Dengan menunduk, Anjani pun masuk. Dia tak berani mendongak untuk menatap sang CEO. Jemari tangannya saling memilin. Semua itu tak luput dari perhatian Juna. “Mengapa dua hari kemarin kamu tidak masuk kerja? Dan mengapa ponselmu tidak pernah aktif?” Juna memecah keheningan. Anjani tak langsung menjawab. Rasa takut itu lebih mendominasi. Juna menghela napas dengan berat, dia bangkit dan mendekati gadis tersebut. Tangannya memegang dagu Anjani hingga mendongak. Mata mereka saling bertatapan dengan pikiran masing-masing. “Jawab aku, Jani! Jangan semakin merusak mood-ku!” Dengan memberanikan diri Anjani menjawab. Dia menatap mata Juna dengan perasaan yang tak menentu. “M-maaf, Pak. S-saya sakit, dan ponsel saya tidak saya aktifkan. Tapi —” “Tapi apa?” “Tapi tadi malam saya sudah membalas pesan Bapak, dan sa-ya menelepon Bapak. Tetapi nomor Bapak tidak aktif.” Juna tertegun. Dia baru teringat jika ponselnya tidak diaktifkan sejak kemarin karena dia sedang sibuk di bar, jadi tidak ingin diganggu. Hingga pagi hari ini pun ponselnya masih dalam keadaan off. Dia juga baru teringat jika ponselnya tertinggal di rumah. “Oh. Memangnya apa yang kamu bicarakan di pesanmu itu? Karena aku tadi terburu-buru berangkat, jadi ponselku tertinggal di rumah.” Mata Anjani berkaca-kaca. Bahunya terguncang. Kini yang terdengar hanya isak tangisnya saja. Juna mengernyit, dia semakin menatap dalam mata gadis malang tersebut. “Katakan dengan jelas, apa isi pesanmu itu!” Sekali lagi Juna menegaskan. “S-saya ha-mil ….” Mata Anjani terpejam rapat. Deg! Jantung Juna seakan berhenti berdetak mendengarnya. Perlahan dia melepaskan tangan dari tubuh Anjani dan menjauh. “A-apa? Ka-mu ... ha-mil …?” “Iya, Pak. Saya hamil anak Bapak. Karena hanya Pak Juna-lah yang menyentuh saya selama ini, selama dua bulan ini. Sa-saya … minta pertanggungjawaban Bapak.” Juna menatap Anjani dengan tajam. Dia memegang bahu gadis itu dan meremasnya dengan kuat. “Pertanggungjawaban apa maksudmu?!” “Bapak harus menikahi saya karena Bapak adalah ayah dari anak yang saya kandung!” Mata Juna menyipit. Dia tengah berpikir keras mendengar ucapan Anjani. Dia menyadari bahwa memang dirinyalah orang yang selama ini selalu menyentuh tubuh Anjani, bahkan dirinyalah orang pertama yang menyentuh gadis itu. Akan tetapi, dia belum siap untuk menikah, dia belum siap menjadi seorang ayah. Karena dia masih ingin hidup bebas dengan bergonta-ganti wanita. Apalagi hubungannya dengan Anjani tidak didasari rasa cinta, melainkan hanya karena hutang semata. “Tidak! Aku tidak mau bertanggung jawab! Aku tidak mau dan tidak sudi menikahimu!” Juna berkata dengan sarkas. Deg! Air mata Anjani pun semakin deras. Bibirnya bergetar hebat. Hatinya sangat sakit mendengar penolakan dari pria yang telah menghancurkan hidupnya. “A-apa ma-maksud Anda, Pak Juna?” “Maksudku sudah jelas, bahwa aku tidak mau bertanghung jawab atas kehamilanmu itu. Aku tidak mau menikahimu!” “Tapi ini anak Anda, Pak Juna. Setega itukah Anda pada darah daging Anda sendiri?!” “I don’t care tentang anak itu! Persetan dengan yang namanya darah daging! Intinya, aku tidak mau bertanggung jawab, aku tidak mau menikahimu, karena aku belum siap menikah, aku masih ingin hidup bebas!” Mata Anjani memerah. Dadanya terasa sesak dan semakin sulit menghirup oksigen. Tubuhnya semakin berguncang hebat. Ingin rasanya dia berteriak untuk melepaskan beban yang menghimpitnya. “Lalu … bagaimana dengan saya? Bagaimana dengan anak yang saya kandung ini jika Bapak lepas dari tanggung jawab?” “Kamu gugurkan saja kandunganmu itu. Simple!” Juna berjalan menuju meja kerjanya. Tungkai kaki Anjani sudah tak mampu menopang tubuhnya hingga merosot, terduduk di lantai. Tangisnya pun semakin pecah. Dia menggigit bibir dengan kuat hingga berdarah. Langkah kaki Juna mengalihkan pandangannya. Kini pria itu sudah berdiri tegap di hadapannya, dan melemparkan secarik kertas di wajahnya. Anjani memungut kertas tersebut dan melihatnya. Ternyata itu merupakan sebuah cheque yang tertera tulisan 500 juta. “Itu cheque untuk biaya kamu aborsi. Kamu gunakan uang itu untuk semua kebutuhan aborsi. Karena aku tidak mau jika anak itu sampai terlahir di dunia ini dan menganggapku sebagai ayahnya! Kamu cairkan uang itu. Mengerti!” “Dan ingat, Nona Anjani Zeva. Bahwa selama ini kita melakukan percintaan itu karena uang. Aku sudah membayarmu pada Ardan. Jadi, jangan libatkan perasaan dan hati dalam urusan ini!” Hati Anjani semakin sakit dibuatnya. Harga dirinya bagaikan di injak-injak oleh Juna, pria kejam yang tak memiliki hati dan perasaan. Anjani menyusut air matanya. Dia berdiri dan menatap tajam wajah tampan di hadapannya. Srek! Srek! Srek! Plak! Plak!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD