Keesokan harinya, Anjani kembali libur bekerja. Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Ponselnya pun sejak kemarin tidak diaktifkan karena dia benar-benar menghabiskan waktu untuk tidur.
Siang itu Juna kembali mengunjungi MA Company. Dan amarahnya pun kian memuncak ketika mengetahui jika Anjani kembali tidak masuk bekerja. Dia kembali menghubungi nomor telepon gadis itu, tetapi ternyata masih belum aktif juga. Bahkan pesannya yang kemarin pun masih ceklis satu.
Prang!
Juna melempar ponselnya di tembok. Darahnya mendidih. “What the hell! Mengapa sejak kemarin Jani tidak masuk kerja. Dan nomornya pun tidak aktif. Ahhh … aku bisa mati jika begini, sejak kemarin aku berpuasa. Aku benar-benar sangat menginginkannya.”
“Apa aku ke kontrakannya saja, ya. Tapi apa kata orang-orang jika melihat seorang CEO yang mendatangi tempat tinggal karyawannya. Nanti mereka bisa berpikiran buruk tentangku, dan aku juga tidak mau bila image-ku menjadi buruk. Lagi pula, badanku bisa gatal-gatal jika aku bercinta di tempatnya yang jelek itu, hhh.”
Akhirnya Juna berusaha mati-matian agar tidak mendatangi Anjani ke kontrakannya. Meskipun dengan susah payah dia berusaha menahan hasratnya yang sudah di ubun-ubun, tetapi demi menjagi image-nya, maka dia terpaksa tidak melakukannya.
Hari itu dia meninggalkan kantor MA Company, sebab dia tidak melakukan kegiatan apa pun di sana. Dia menghubungi sang tangan kanan—Bian. Mereka pergi mencari tempat hiburan untuk menenangkan pikirannya yang sedang kalut.
Juna dan Bian menuju bar langganan mereka. Bar tersebut buka 24 jam. Bartender yang sudah hapal dengan kedua pria tampan itu segera menuangkan whiskey ke dalam gelas, lalu diberikan pada Juna. Juna lebih menyukai whiskey yang diproduksi di Amerika. Karena menurutnya cita rasanya lebih kuat daripada whisky yang diproduksi di negara lain. Kadar alkohol yang berkisar 40-60 persen itu membuatnya merasa puas.
Juna dan Bian mulai menenggak minuman haram itu. Pikiran Juna sedang kacau, karena hasratnya tak terpenuhi sudah dua hari ini. Dia melampiaskannya dengan minum whiskey hingga habis berbotol-botol.
Bian tidak sepertinya. Dia hanya minum satu gelas saja, sebab jika dia sampai mabuk, maka siapa yang akan mengurus Juna yang sudah terkapar itu. Bian sangat paham dengan kebiasaan buruk sang bos jika sedang kalut dan stres, maka dia akan menghabiskan waktunya dengan bermabuk-mabukan, atau bercinta dengan para wanita panggilan.
“Jun, please, lo stop minumnya. Ini udah kebanyakan. Lo udah abis berbotol-botol, Jun. Sebenernya apa yang terjadi sama lo sampe lo kayak gini? Karna udah lama lo gak pernah minum sampe mabok parah gini.” Bian menepuk-nepuk wajah Juna yang sudah tergolek di atas meja.
Juna tak langsung menjawab. Matanya terpejam rapat. Dia sudah mulai kehilangan kesadaran. Pengaruh alkohol benar-benar sangat buruk bagi yang meminumnya secara berlebihan.
Bian merogoh saku celana mengambil ponsel, lalu mengetik pesan untuk seseorang. Tidak berapa lama kemudian, seorang wanita cantik dan seksi datang ke bar tersebut dan langsung menghampiri mereka.
“Hay, Bi. Apa yang terjadi sama my baby?”
“Andin, untung kamu sudah datang. Cepat bantu aku membawa Pak Juna ke kamar.” Bian berusaha mengangkat tubuh Juna agar berdiri.
Ya … orang yang Bian hubungi tadi adalah Andin. Dia sengaja meminta wanita itu menyusul mereka di bar, sebab biasanya Juna yang sedang mabuk akan menghabiskan waktu dengan melampiaskan hasratnya dengan Andin.
Dengan senang hati Andin menuntun Juna menuju kamar khusus tamu di bar tersebut. Bian kembali ke meja bar menunggalkan mereka berdua di kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar Juna yang berteriak-teriak mengusir Andin hingga wanita itu lari terbirit-b***t. Mulut Juna terus menyebut nama Anjani, karena hanya gadis itu yang dia butuhkan untuk menyalurkan hasratnya.
Sementara Anjani di kontrakannya sudah bangun dari tidur. Dia terlihat sedang murung di atas kasur yang sangat sederhana. ‘Sudah dua hari aku bolos kerja tanpa keterangan. Ponselku juga nggak kuaktifin dari kemarin. Aku nggak bisa kalau hanya berdiam diri kayak gini terus-menerus. Mending aku ke bidan aja buat periksa, sekalian minta surat keterangan sakit.’
Dengan memaksakan diri Anjani berusaha bangun dan segera membersihkan tubuhnya. Dia bergegas menuju ke klinik, sebab cuaca terlihat mendung akan turun hujan. Dia memesan ojek online untuk pergi ke sana karena tempatnya lumayan jauh.
Waktu sudah menjelang sore ketika dia sampai di klinik. Di ruang tunggu terlihat beberapa orang yang masih duduk menunggu antrean. Anjani mengambil nomor antrean, lalu duduk berbaur dengan pasien lainnya.
“Nyonya Anjani, silakan masuk.” Suara asisten bidan memanggil namanya. Dia merupakan pasien terakhir.
Anjani pun masuk dan duduk di seberang meja sang bidan. Bidan tersebut memeriksa tensi darahnya, lalu setelah itu memintanya untuk tiduran di brankar. Anjani menurut dan terlentang. Bidan pun mulai memeriksa detak jantungnya menggunakan stetoskop.
Sang bidan menatap wajah Anjani sembari tangannya tetap melakukan pemeriksaan jantung. Anjani merasa sedikit tak nyaman karena ditatap dalam oleh bidan tersebut.
“Nyonya Anjani, silakan bangun dan duduk kembali,” ucap sang bidan.
“Baik, Bu Bidan.” Anjani turun dari brankar dan duduk kembali di kursi.
Bidan tersebut terlihat sibuk mengambil sesuatu di dalam lemari penyimpanan obat-obatan. Lalu tak lama kemudian, dia kembali menghampiri Anjani yang terlihat gelisah.
“Nyonya, silakan ke kamar mandi, tampung urin Anda, lalu gunakan test pack ini.” Bidan itu memberikan wadah atau gelas urine dan test pack.
Anjani terperangah. Dia menatap sang bidan, lalu beralih menatap alat di tangan bidan tersebut. “Bu Bidan, i-ini un-tuk apa?”
“Nanti saya jelaskan. Sekarang Nyonya lakukan saja apa yang saya katakan tadi.” Sang bidan meletakkan alat-alat tersebut di meja.
Dengan tangan gemetar Anjani mengambilnya, lalu berjalan menuju kamar mandi. Setelah selesai, dia kembali keluar dan memberikannya pada bidan.
“Silakan duduk, Nyonya.” Bidan tersebut mempersilakan Anjani yang masih mematung berdiri.
Anjani kembali duduk. Dia semakin gelisah tak menentu. Matanya terus fokus memandang sang bidan yang tengah sibuk. Tak lama kemudian bidan itu duduk di hadapannya.
“Apakah akhir-akhir ini Nyonya merasa mual-mual bahkan sampai muntah-muntah di pagi hari? Atau lebih tepatnya disebut morning sickness."
Anjani tertegun dan mengernyitkan kening, kemudian menggeleng. “Tidak pernah, Bu Bidan.”
“Atau Nyonya merasakan hal-hal yang lainnya, yang sebelumnya tidak pernah Nyonya alami atau rasakan?”
Wajah Anjani berubah muram. Dia berusaha mengingat-ingat kembali apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Hingga kemudian wajahnya berubah serius. “Iya, Bu Bidan. Saya baru ingat kalau sudah beberapa hari ini badan saya selalu terasa lelah dan lesu. Bahkan dua hari ini saya libur kerja karena badan saya benar-benar tidak enak.”
Bidan itu manggut-manggut. “Itu artinya hasil pemeriksaan saya benar, Nyonya. Tidak meleset. Yang pertama, waktu tadi saya memeriksa detak jantung Nyonya. Yang kedua dari hasil test pack urine. Dan yang ketiga dari penjelasan Nyonya barusan.”
“Apa maksud Bu Bidan? Saya tidak mengerti.” Mimik wajah Anjani semakin terlihat serius.
“Maksud saya … Nyonya hamil. Selamat atas kehamilan Anda, Nyonya Anjani.”