“Kamu lagi ngidam?”
Tuti bertanya seraya menelisik penampilan Anjani dari atas kepala hingga turun ke kaki. Peluh dingin membasahi dahi Anjani, sebab dia merasa sangat terkejut bercampur ketakutan jika kehamilannya terendus oleh orang lain.
Anjani memaksakan bibirnya tersenyum untuk menyembunyikan kegugupannya. “Apa maksud Bu Tuti?”
“Hehe … soalnya kamu pagi-pagi gini udah kepengen ngerujak mangga muda, makanya ibu ngomong gitu.” Tuti terkekeh.
Anjani bernapas lega mendengarnya. Tadinya dia sangat ketakutan hingga bermandikan peluh. “Eh, itu, Bu. Beberapa hari yang lalu saya lewat sini, dan saya liat mangganya berbuah, jadi saya kepengen ngerujak ngebayanginnya.”
Tuti tersenyum mendengarnya. “Ibu minta maaf, ya, Anjani. Kalau ucapan ibu tadi menyinggung kamu.”
“Iya, Bu Tuti. Nggak apa-apa.”
Akhirnya Tuti mengambil galah untuk memetik buah mangga yang tinggi. Buah mangga berjatuhan di tanah. Air liur Anjani sudah menetes melihatnya. Dia memungut sebuah, lalu menggigitnya.
Anjani sangat menikmati makan mangga muda tersebut, hingga tanpa disadari sudah menghabiskan dua buah. Tuti yang sudah selesai memetik mangga, menatapnya sambil bergidig ngilu melihat Anjani yang begitu menikmati mangga muda yang sangat asam itu.
“Maaf ya, Bu Tuti. Saya udah nggak sabar, jadi saya makan di sini.” Wajah Anjani kini berseri-seri dan terlihat sangat bugar.
“Iya, Anjani. Nggak apa-apa. Ibu mah cuman ngerasa ngilu aja ngeliat kamu ngunyah mangga muda asem, apalagi masih pagi gini.” Tuti mengecap-ngecap karena merasa ngilu.
“Hehe … seger banget, Bu.”
Tuti menggeleng-gelengkan kepala. Lalu dia masuk untuk mengambil kantong plastik. Satu kantong plastik berukuran lima kilo berisi buah mangga muda ia berikan pada Anjani. “Ini mangganya. Nanti kalo udah abis dan kamu pengen lagi, ke sini aja.”
Mata Anjani berbinar-binar melihatnya. Dengan perasaan gembira tangannya menerima plastik tersebut. “Ini harganya berapa, Bu Tuti?”
“Udah, gak usah beli. Kamu bawa aja. Kalo kurang, nanti ke sini lagi aja. Gak usah sungkan-sungkan.” Tuti tersenyum.
Anjani semakin merasa tidak enak hati karena diberi mangga secara gratis dan banyak pula. “Bu Tuti jangan gitu. Saya ngerasa gak enak kalo dikasih gratis gini.”
“Udah, gak apa-apa. Lagian di pohon buahnya lebat, gak akan rugi kalo ibu bersedekah. Iya, kan?”
Anjani tersenyum simpul. “I-iya, Bu Tuti bener. Terima kasih banyak ya, Bu Tuti. Kalo gitu saya pamit pulang, udah gak sabar mau lanjutin ngerujak pake sambel.”
“Sama-sama.”
Anjani bergegas pulang. Tuti menatap kepergiannya sampai menghilang dari pandangan. Pikiran Tuti berkecamuk memikirkan tentang keanehan pada Anjani.
‘Ah … mungkin ini cuma perasaanku aja. Nggak mungkin kalo Anjani hamil. Dia itu gadis baik-baik, lugu, dan polos. Selama dia ngontrak di tempatku, dia nggak pernah ngelakuin hal yang aneh-aneh.’
‘Kan yang suka ngerujak asem-asem bukan cuma yang lagi hamil atau ngidam aja, yang masih gadis juga suka ngerujak. Bahkan dari yang anak-anak sampe orang tua juga kalo emang hobi makan asem mah banyak.’
Tuti menepis semua pikiran buruknya tentang Anjani, lalu dia berbalik badan untuk masuk ke dalam. Namun, belum juga kakinya melangkah, tiba-tiba ada suara seorang wanita yang memanggilnya.
“Bu Tuti, tunggu!” Wanita tersebut berlari-lari kecil.
Tuti membalikkan badan. “Eh, Bu Odah. Ada apa, Bu?”
Dengan napas terengah-engah, wanita bernama Odah itu menghampirinya. “Itu tadi si Anjani yang ngontrak di kontrakan Bu Tuti, kan?”
“Iya, itu emang Anjani. Emangnya kenapa ya, Bu Odah?”
“Itu kantong kresek yang dibawa apaan ya, Bu?” Wajah Odah sangat penasaran.
“Oh, itu buah mangga. Tadi dia ke sini mau beli mangga muda, tapi saya kasih aja. Katanya lagi pengen banget ngerujak. Kalo Bu Odah mau mangga buat ngerujak, silakan ngambil aja, Bu.”
Odah tercenung mendengarnya. Dia nampak tengah berpikir keras. ‘Gadis belum bersuami, tapi pagi-pagi pengen ngerujak. Kok aku jadi curiga, ya? Apa si Anjani itu lagi ngidam?’
“Bu Odah, kok malah bengong.”
Suara Tuti mengejutkan Odah. “Eh, nggak, Bu Tuti. Saya cuma lagi mikirin si Anjani.”
Tuti mengernyit. “Mikirin Anjani? Emangnya ada apa, Bu?”
Odah menarik Tuti naik ke teras. Wajahnya didekatkan pada telinga Tuti, lalu berbisik. “Saya curiga sama Anjani itu. Kok dia kayak yang lagi ngidam gitu, pagi-pagi pengen makan yang asem-asem.”
Tuti terkejut. Dia menatap Odah semakin dalam. “Ke-napa Bu Odah sampe berpikiran kayak gitu sama Anjani? Kan yang doyan ngerujak bukan cuma wanita hamil, Bu Odah. Anak kecil, gadis, bahkan orang tua juga sering kok ngerujak.”
Odah merasa tidak puas mendapati tanggapan Tuti yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Dia semakin menghasut sang pemilik kontrakan agar mempercayainya. Dia berusaha meyakinkan Tuti.
“Bu Tuti, saya ngerti sama yang Ibu bilang. Tapi ini beda lho, Bu. Orang yang ngidam sama yang cuma doyan ngerujak tuh beda ciri-cirinya. Saya yakin banget, yakin seribu persen kalo Anjani itu lagi ngidam, dia hami di luar nikah.”
“Kalo Bu Tuti nggak percaya sama omongan saya, mending Ibu periksa aja isi dalem kontrakannya. Pasti deh ada sesuatu petunjuk yang nunjukin kehamilannya.”
Tuti terdiam mendengarnya. Setelah menghasut pemilik kontrakan, Odah pun berpamitan pulang. Kini tinggallah Tuti yang termenung memikirkan ucapannya. Dia bergegas masuk karena merasa pusing.
Sementara Anjani, di rumah kontrakannya, dia sedang sibuk makan rujak mangga muda hingga habis tiga buah, dan saat di rumah Tuti tadi dia habis dua buah, jadi total sudah lima buah. Namun, dia masih belum merasa puas, masih ingin lagi dan lagi.
‘Betapa nikmatnya makan mangga muda kayak gini. Apakah ini salah satu kenikmatan dan keistimewaan yang Tuhan berikan pada wanita hamil? Yang tidak dirasakan bagi yang tidak hamil?’ Tangan Anjani meraba perutnya dan mengelus-elusnya.
Tanpa terasa buliran bening itu tiba-tiba jatuh tanpa diminta. Hati Anjani tiba-tiba merasa sangat sedih karena teringat dengan Juna, ayah biologis dari bayi yang dikandungnya. Namun, tidak mau bertanggung jawab.
Semua ucapan Juna kembali terngiang di telinganya. Kata-kata yang menyakitinya kembali memenuhi otaknya. Bahu Anjani terguncang-guncang karena tengah terisak.
‘A-apa yang harus aku lakukan ke depannya nanti. Sekarang aku bukan hanya mengurus diriku sendiri, tetapi aku harus mengurus anak di dalam kandunganku.’ Anjani menunduk menatap bagian perutnya.
Pagi pun berlalu, dan kini sudah beranjak malam. Sepanjang malam Anjani tak bisa tidur. Dia tak bisa memejamkan mata barang sedikitpun. Pikirannya menerawang jauh memikirkan masa depan hidup yang dijalani.
Hingga tanpa terasa, malam pun berlalu dan berganti pagi. Seperti hari sebelumnya, Anjani kembali mengalami morning sickness. Dia keluar masuk kamar mandi. Wajahnya memucat, tubuhnya lemas. Cuaca pagi hari itu diguyur hujan rintik-rintik, yang membuat suasana semakin dingin.
Suara Anjani yang sedang muntah-muntah itu terdengar hingga keluar. Hingga suara ketukan pintu menghentikan aktivitasnya di kamar mandi. Anjani bergegas membuka pintu.
“Bu Tuti, Bu Odah. Maaf, ada apa kemari?”
“Anjani, saya ingin memeriksa ke dalam kontrakanmu!”