Ia tetap berjalan. Setiap langkah Haykal di atas aspal yang panas terasa berat namun mantap, seolah kakinya dipandu oleh sebuah kekuatan purba yang bernama amarah. Ia menyeberangi jalan yang tidak terlalu ramai itu, mengabaikan klakson pelan dari sebuah mobil yang terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Dunia di sekelilingnya seolah memudar menjadi latar yang buram dan tak berarti. Suara tawa dari seberang jalan, desau angin di telinganya, bahkan napasnya sendiri yang mulai memburu—semuanya lenyap. Yang tersisa hanyalah satu titik fokus, satu target yang terkunci dalam bidikan matanya: sosok kakaknya, yang masih tertawa di bawah matahari pagi tanpa menyadari bahwa neraka sedang berjalan mendekat ke arahnya. Ia seakan tak mendengar apapun selama melangkah. Di belakangnya, para sepupu

