Malam Seribu Luka
Malam itu, di jantung ibu kota, Monumen Nasional berdiri sebagai saksi bisu sebuah perayaan yang meledak-ledak. Gema takbir bersahut-sahutan dari pengeras suara, beradu dengan deru knalpot dan letupan kembang api sporadis yang melukis langit malam dengan percikan efemeral. Riuh, ramai, dan penuh warna. Udara dipenuhi aroma sate yang dibakar di pinggir jalan, bercampur dengan wangi parfum dan keringat lautan manusia yang tumpah ruah merayakan malam kemenangan. Di tengah keramaian itulah, sebuah rombongan besar anak-anak muda—wajah-wajah yang terbiasa dengan kemewahan namun tetap membumi saat bersama—tampak menikmati malam takbiran mereka dengan cara yang paling mereka suka: bersama-sama, terisolasi dalam gelembung kebahagiaan mereka sendiri. Tawa mereka lepas, canda mereka renyah, merayakan akhir Ramadhan dengan suka cita yang murni dan tanpa beban, seolah dunia di luar lingkaran mereka hanyalah penonton pertunjukan keakraban sebuah keluarga besar.
Sementara itu, beberapa kilometer dari sana, di sudut kota yang sepi dan seolah dilupakan oleh gegap gempita malam itu, suasananya terasa seperti datang dari dimensi yang lain. Di sebuah jalan kecil yang hanya diterangi pendar kuning dari lampu jalanan yang berkedip lelah, berdiri sebuah rumah mungil. Lampunya menyala temaram, memancarkan aura kesenduan yang kontras dengan semangat Idul Fitri yang menggema di kejauhan. Di balik pintu kayu yang sedikit terbuka, seorang lelaki berdiri. Tidak, ia tidak sekadar berdiri. Tubuhnya terpaku kaku, setiap ototnya menegang seolah sedang menahan hantaman badai tak kasat mata. Matanya terkunci pada satu titik di ujung jalan, pada sebuah pemandangan yang baru saja membakar sisa harapan terakhir di hatinya.
Seorang perempuan—istrinya—baru saja turun dari jok belakang sebuah motor sport hitam. Gerakannya anggun, nyaris tanpa cela, seolah ia baru saja pulang dari sebuah perjalanan biasa, bukan sebuah pelarian yang meretakkan fondasi sebuah pernikahan. Lelaki yang mengendarai motor itu bukanlah saudara. Bukan pula teman lama yang sekadar memberi tumpangan. Sosoknya terlalu familier, kehadirannya yang sesekali muncul selalu berhasil menjadi duri paling tajam dalam daging pernikahan mereka.
Motor itu tidak langsung pergi. Sang pengendara, yang siluetnya tampak tegap dalam remang malam, sempat menoleh ke arah rumah itu. Sebuah jeda singkat yang terasa seperti satu abad bagi lelaki yang mengamati dari ambang pintu. Kemudian, kepalanya menunduk sejenak, sebuah gestur kecil yang bisa berarti seribu makna. Entah itu sebuah anggukan kemenangan yang tersembunyi, sebuah permintaan maaf yang tak terucap, atau mungkin sekadar perasaan bersalah yang singgah sekejap. Wajahnya sulit terbaca dalam gelap malam. Yang jelas, deru mesin yang kemudian meraung, membelah kesunyian sebelum akhirnya lenyap di tikungan jalan, menyisakan sebuah ketegangan yang membeku, menggantung berat di udara di antara dua orang yang pernah berjanji untuk saling mencinta, kini berdiri di ambang pintu rumah yang terasa asing.
Perempuan itu melangkah. Setiap langkahnya di atas aspal yang retak terdengar begitu jelas di tengah keheningan. Perlahan, tapi mantap. Tas kecil tersampir di bahunya, dagunya terangkat, dan tidak ada jejak keraguan sedikit pun dalam gerak tubuhnya. Ia tidak berlari, tidak tergesa-gesa. Ia berjalan seolah menuju sebuah takdir yang sudah lama ia pilih, bukan sebuah kepulangan yang dipaksakan.
Sementara itu, sang suami masih berdiri di tempat yang sama. Kaku, membatu, seolah kakinya telah menyatu dengan lantai teras. Bumi terasa berhenti berputar di porosnya. Dadanya sesak, setiap tarikan napas terasa seperti menghirup serpihan kaca. Hatinya seperti diremas dari dalam oleh sebuah tangan raksasa yang tak terlihat, memeras habis setiap tetes kekuatan yang tersisa. Tapi ia tahu. Jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sadar bahwa semua ini sudah lama mengarah ke titik ini. Setiap pertengkaran kecil, setiap keheningan yang panjang di meja makan, setiap tatapan kosong yang ia terima, semuanya adalah anak tangga menuju puncak malam ini.
“Butuh negosiasi untuk membawamu pulang,” ucapnya.
Suaranya keluar begitu pelan, serak, dan dalam. Nyaris seperti gumaman angin yang kelelahan, sebuah kalimat yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada pada perempuan di hadapannya. Ia tidak bermaksud menyindir, tidak pula menuduh. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir yang terasa kebas, sebuah pengakuan getir atas kekalahannya. Namun, perempuan itu mendengarnya dengan sangat jelas. Ia berhenti tepat di hadapannya, hanya terpisah beberapa langkah. Matanya menatap lurus ke mata suaminya, sebuah tatapan yang tajam, jernih, dan tak lagi menuntut pengertian atau memohon belas kasihan.
“Kamu udah janji akan menceraikanku kalau aku pulang,” ucapnya.
Tak ada keraguan. Tak ada getar emosi dalam suaranya. Kalimat itu diucapkan bukan sebagai pertanyaan, melainkan sebagai sebuah penagihan utang. Sebuah fakta yang tak terbantahkan, sebuah klausul dalam kontrak tak tertulis yang kini jatuh tempo.
Lelaki itu menunduk, tak sanggup lagi menahan tatapan mata itu. Pemandangan di bawahnya—ubin teras yang kusam dan retak—tiba-tiba menjadi satu-satunya hal yang bisa ia fokuskan. Ya, ia ingat janji itu. Setiap katanya terngiang jelas di telinganya, seolah baru diucapkan semenit yang lalu. Janji yang ia lontarkan di puncak kelelahan, dalam amarah yang tak lagi bisa ia bendung setelah pertengkaran kesekian ratus kalinya. Sebuah kalimat impulsif yang ia gunakan sebagai senjata terakhir untuk mengakhiri perdebatan, tanpa pernah benar-benar menyadari bobot dan konsekuensinya. Dan kini, saat janji itu diminta untuk ditepati, ia baru benar-benar merasakan luka yang selama ini berusaha ia sembunyikan di balik topeng kesabaran. Tenggorokannya tercekat, seolah ada bongkahan batu yang menyumbat. Tapi ia mengangguk. Perlahan, sebuah gerakan kecil yang terasa begitu berat, seolah menarik seluruh beban dunia di pundaknya. Dadanya sesak, menerima kenyataan pahit bahwa terkadang, cinta saja tidak pernah cukup untuk mempertahankan sebuah rumah yang strukturnya sudah terlalu retak.
“Tapi setelah lebaran. Aku gak mau merusak—”
Ia mencoba lagi. Suaranya kini terdengar lirih, nyaris memohon. Matanya masih terpaku pada tanah, seolah malu untuk menunjukkan kerapuhan yang mulai menjalari wajahnya. Kata-katanya menggantung di udara malam yang lembap, sebuah upaya sia-sia untuk menunda sebuah kehancuran yang sebetulnya sudah lama datang. Sebuah permohonan untuk satu hari lagi, satu malam lagi, untuk menjaga ilusi sebuah keluarga utuh di hari yang suci.
Namun perempuan di hadapannya tidak goyah. Sedikit pun tidak. Matanya yang sembab—jejak tangis dari pertengkaran yang mungkin terjadi sebelumnya dengan orang lain, bukan dengannya—kini menatapnya dengan ketegasan yang dingin.
“Gak perlu. Aku ingin malam ini juga. Aku bisa pergi dari rumah ini karena ini rumahmu,” ucapnya.
Datar. Dingin. Setiap kata adalah bilah pisau yang mengiris sisa-sisa harapan. Kalimat terakhir itu, "karena ini rumahmu," adalah pukulan pamungkas. Sebuah penegasan bahwa selama ini, ia tidak pernah merasa memiliki tempat ini. Ia hanyalah tamu, seorang penumpang dalam sebuah perjalanan yang tak pernah ia inginkan.
Lelaki itu terdiam. Hening. Tubuhnya seperti kehilangan seluruh dayanya, tulangnya serasa melunak menjadi jeli. Matanya yang sejak tadi menahan bendungan, akhirnya mulai memerah. Bukan karena amarah yang meluap, tapi karena seluruh beban, kekecewaan, kesabaran, dan harapan yang selama ini ia pikul sendirian, kini menghantamnya dalam satu kali gebrakan dahsyat. Napasnya menjadi berat dan pendek-pendek. Ini bukan lagi hanya tentang kehilangan seorang istri. Ini tentang kehilangan keyakinan pada dirinya sendiri, pada kemampuannya untuk membangun sesuatu yang indah. Ini adalah akhir dari segala harapan yang pernah ia bangun diam-diam di sudut hatinya yang paling naif. Harapan untuk bisa mengubah keadaan, untuk bisa menumbuhkan cinta di lahan yang tandus, untuk bisa bahagia, meskipun dari sebuah pernikahan yang sejak awal terasa rapuh.
Ia sadar sekarang. Terang benderang. Perempuan itu tak pernah benar-benar mencintainya. Mungkin ia menyukainya sesaat, mungkin ia menghormatinya sebagai seorang teman, tapi cinta? Tidak pernah. Mungkin, ia bahkan tak pernah berniat untuk bertahan sejak awal. Pernikahan ini, ia sadari sekarang, adalah sebuah kontrak yang dipaksakan. Entah karena keadaan, desakan keluarga, atau tekanan sosial yang begitu berat di lingkaran mereka. Dan kini, saat pintu kebebasan itu terbuka di depan matanya, perempuan itu memilih untuk melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang, tanpa perlu menunggu detik baru di esok hari. Baginya, menunda perpisahan ini hingga esok pagi adalah sebuah kesia-siaan.
Di dalam rumah yang senyap itu, hanya terdengar dengung monoton dari kipas angin tua di sudut ruang tamu. Sebuah suara yang mengisi kekosongan, menjadi musik latar bagi sebuah perpisahan. Barang-barang masih tertata rapi di tempatnya. Tidak ada tanda-tanda keributan atau pertengkaran fisik. Tapi justru kesunyian yang teratur inilah yang terasa seperti gema kehilangan yang memekakkan telinga, menampar kesadarannya berulang kali. Lelaki itu masih berdiri mematung di ambang pintu, sementara istrinya melangkah masuk, mungkin untuk mengemasi sedikit barang yang tersisa. Di matanya, ada sisa-sisa cinta yang belum sepenuhnya padam, seperti bara api yang tertimbun abu. Tapi di hadapan kenyataan yang tak bisa lagi dibantah, di hadapan dinding keteguhan yang tak bisa ia runtuhkan, ia hanya bisa menelan perih itu dalam diam yang paling dalam.
Ia tahu... ini akhir yang sudah ditentukan sejak lama. Dan ia adalah orang terakhir yang menyadarinya.
***