Ada sebuah level kepedihan yang melampaui kemampuan kelenjar air mata untuk merespons. Sebuah luka yang begitu dalam, begitu membakar, hingga ia mengeringkan sumber airnya sendiri sebelum sempat jatuh membasahi pipi. Di titik itulah ia kini berada. Rasanya terlalu perih untuk ditangisi, terlalu menghimpit untuk sekadar diurai dengan isakan. Yang ada hanyalah sebuah rongga kosong yang menganga di pusat dadanya, mengisap semua udara, meninggalkan sesak yang tak berkesudahan. Air mata tak sanggup keluar, seolah beku oleh dinginnya kehilangan yang baru saja terjadi.
Di keheningan sepertiga malam, di saat dunia terlelap dalam buaian mimpi, ia justru menekan keningnya lebih dalam ke atas sajadah. Sujud. Sebuah posisi paling rendah bagi seorang hamba, namun menjadi satu-satunya tempat tertinggi di mana ia bisa meluapkan segalanya tanpa perlu bersuara. Lantai keramik yang dingin di bawah sajadah tipis itu seolah menjadi satu-satunya saksi nyata dari kerapuhannya. Dinginnya merambati kening, mengirimkan getar ke seluruh syarafnya, sebuah pengingat bahwa ia masih di sini, di dunia ini, sendirian.
Dinding di sebelahnya terasa memancarkan kekosongan yang berbeda malam ini. Kamar itu, kamar sebelah yang selama setahun belakangan ini dihuni oleh perempuan yang berstatus istrinya, kini telah resmi kosong. Bukan hanya kosong dari raganya, tapi juga dari kehadirannya yang selama ini mengisi ruang dengan cara yang paling subtil sekalipun. Aroma parfumnya yang lembut, yang biasa tercium samar saat mereka berpapasan di lorong sempit, kini pasti mulai memudar, terbawa angin yang masuk dari ventilasi. Suara langkah kakinya yang ringan, atau bunyi pengering rambut di pagi hari, semua itu kini telah menjadi arsip kenangan yang menyakitkan.
Ya, sejak detik pertama mereka resmi disebut suami-istri, mereka memang tak pernah sekamar. Sebuah fakta ganjil yang menjadi rahasia kecil di dalam rumah mungil mereka. Tak pernah ada sentuhan hangat di malam hari, tak ada obrolan sebelum tidur, tak ada hubungan selayaknya sepasang suami-istri yang membangun bahtera. Yang ada hanyalah dua orang asing yang terikat oleh selembar kertas dan sumpah di hadapan Tuhan, yang mendadak harus tinggal bersama di bawah satu atap. Sebuah dinamika yang aneh dan pincang: satu pihak terus menanam harapan di tanah yang tandus, sementara pihak yang lain tak pernah berhenti mencari celah untuk pergi, untuk terbang bebas dari sangkar yang ia yakini telah mengurungnya.
Ia sudah berusaha. Demi Tuhan, ia sudah berusaha sekuat tenaga menahannya. Setidaknya sampai gema takbir esok pagi usai. Setidaknya sampai mereka bisa melewati satu hari Lebaran dengan berpura-pura menjadi keluarga yang utuh di hadapan tetangga. Tapi beberapa jam yang lalu, semua usahanya runtuh. Perempuan itu akhirnya pergi, meluncur pergi dengan mobilnya sendiri, mobil yang menjadi simbol kemandiriannya yang tak pernah bisa ia sentuh. Ia tak tahu pasti ke mana tujuan perempuan itu. Mungkin ke rumah orang tuanya, mungkin ke tempat persembunyian rahasianya, atau mungkin langsung menuju pelukan lelaki itu. Ia tak sempat bertanya. Atau mungkin, ia tak punya hak lagi untuk bertanya.
Terlebih, beberapa jam yang lalu, dari bibirnya sendiri telah terucap kata keramat itu. Talak. Satu kata yang terasa seperti batu besar yang ia lemparkan ke permukaan danau yang tenang, menciptakan riak kehancuran yang tak akan pernah bisa kembali seperti semula. Kata yang ia ucapkan dalam puncak kelelahan, dalam kepasrahan yang ia kira adalah sebuah kekuatan. Dan kini, kata itu kembali menghantuinya, bergaung di dalam sujudnya yang panjang, menjelma menjadi penyesalan paling dalam yang pernah ia rasakan.
Sujudnya semakin dalam. Tubuhnya sedikit bergetar, bukan karena dinginnya lantai, tapi karena getar penyesalan yang menjalari tulang punggungnya. Dalam posisi berserah diri ini, pikirannya justru berkelana, memutar ulang setiap adegan dengan detail yang menyiksa. Ia bisa merasakan kembali bagaimana kata "talak" itu terbentuk di pangkal lidahnya, terasa ganjil dan berat. Ia mengucapkannya untuk memenuhi tuntutan perempuan itu, sebuah syarat terakhir agar ia mau pulang malam itu. Mungkin, di sudut hatinya yang paling naif, ia berharap dengan memenuhi keinginan itu, perempuan itu akan luluh. Mungkin ia akan melihat "pengorbanannya" dan berpikir ulang. Bodoh. Betapa bodohnya ia. Ternyata, itu bukanlah pengorbanan di mata perempuan itu. Itu adalah pembebasan.
"Ya Rabb," bisiknya dalam hati, sebuah dialog tanpa suara yang hanya ditujukan pada Sang Pemilik Malam. "Di manakah letak salahku? Apakah salah jika aku berharap terlalu banyak? Apakah dosa jika aku mencoba membangun istana di atas pasir?"
Tidak ada jawaban. Hanya hening. Dan dalam keheningan itu, ia melanjutkan keluh kesahnya.
"Engkau yang mempertemukan kami. Engkau yang menyatukan kami dalam ikatan yang Engkau sebut suci. Aku menerimanya sebagai takdir, sebagai amanah. Aku mencoba menjaganya, merawatnya, menyiraminya dengan sabar setiap hari, meski aku tahu tanahnya tak pernah menerimaku. Tapi mengapa, Ya Allah? Mengapa rasanya aku hanya sedang memeluk bayangan?"
Ia ingat pagi-pagi pertama pernikahan mereka. Dengan semangat, ia akan menyiapkan dua piring sarapan. Nasi goreng sederhana atau roti panggang dengan selai. Ia akan mengetuk pintu kamarnya, dan hanya dibalas dengan dehaman pelan. Seringkali, saat ia pulang kerja, piring sarapan itu masih utuh di atas meja makan, sudah dingin dan tak tersentuh. Ia ingat satu sore saat ia mencoba memulai percakapan, bertanya tentang harinya, tentang pekerjaannya. Perempuan itu hanya menjawab sekenanya, matanya tak pernah lepas dari layar ponsel, membangun sebuah dinding transparan yang tak pernah bisa ia tembus.
Ia mencoba memahami. Ia tahu pernikahan ini bukanlah keinginannya. Ia tahu perempuan itu memiliki dunianya sendiri, cinta lain yang tak bisa ia lepaskan. Ia mencoba memberinya ruang, memberinya waktu, berharap suatu saat nanti, perempuan itu akan melihat ketulusannya. Harapan. Itulah penyakitnya. Harapan yang membuatnya buta pada kenyataan bahwa sejak awal, ia sudah kalah.
Dalam sujudnya, ia tidak lagi merasakan amarah pada lelaki itu, lelaki yang menjadi alasan utama dari semua ini. Amarahnya sudah habis, terkuras oleh kelelahan. Yang ada kini hanyalah sebuah pertanyaan pilu pada dirinya sendiri. Mengapa ia tak bisa menjadi alasan bagi perempuan itu untuk tinggal? Apa yang kurang dari dirinya? Apa yang salah dari caranya mencintai?
Ia bukan lelaki yang sempurna, ia tahu itu. Ia hanya seorang pegawai biasa, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang sederhana. Dunianya terlalu kecil jika dibandingkan dengan gemerlap dunia asal perempuan itu. Tapi ia punya cinta yang tulus, punya niat untuk membangun keluarga yang sakinah. Ternyata, di zaman ini, niat dan ketulusan saja tidak pernah cukup.
Waktu terasa berhenti. Sujudnya terasa abadi. Ia membiarkan semua rasa sakit itu mengalir, bukan melalui air mata, tapi melalui setiap getar di tubuhnya, melalui setiap doa lirih yang tak terucap. Inilah syahdunya sepertiga malam. Di tengah kepiluan yang paling puncak, ada sebuah perasaan pasrah yang menenangkan. Sebuah kesadaran bahwa ia hanyalah seorang hamba yang lemah. Ia sudah mencoba sekuat dayanya, dan kini ia mengembalikan semuanya pada Sang Pemilik Skenario.
Ia tidak menyesal telah mencintai. Yang ia sesali adalah ketidakmampuannya untuk berhenti berharap.
Perlahan, dengan sisa tenaga yang ada, ia mengangkat kepalanya. Bangkit dari sujudnya untuk duduk di antara dua sujud, sebelum kembali merebahkan diri dalam sujud terakhirnya. Kali ini, doanya berbeda. Tidak ada lagi pertanyaan. Tidak ada lagi keluhan.
"Ya Allah," bisiknya, suaranya kini lebih tenang, lebih pasrah. "Jika perpisahan ini adalah yang terbaik untuknya, untuk agamanya, untuk kebahagiaannya, maka ikhlaskanlah hatiku. Kuatkanlah pundakku untuk menanggung semua ini. Beri ia petunjuk di jalan yang ia pilih. Dan ampunilah aku... ampunilah aku karena pernah berharap bisa mengubah takdir yang telah Engkau tulis."
Ia menyelesaikan salatnya. Mengucap salam ke kanan dan ke kiri. Hening kembali menyergapnya, kali ini terasa lebih nyata, lebih berat. Ia melipat sajadahnya dengan gerakan lambat, setiap lipatan terasa seperti sedang menutup satu babak dalam buku kehidupannya. Ia menatap ke arah kamar sebelah yang pintunya kini sedikit terbuka, menampakkan kegelapan di dalamnya. Kosong.
Kepedihan itu masih ada, menggerogoti hatinya seperti kanker. Tapi di tengah badai itu, ada sebuah titik ketenangan yang muncul dari rahim sujudnya yang panjang. Ia kalah dalam memperjuangkan pernikahannya, tapi ia tidak ingin kalah dalam berdamai dengan takdir Tuhannya. Fajar akan segera tiba, membawa serta hari kemenangan yang akan ia sambut sebagai hari pertama dari sisa hidupnya yang baru. Hidup tanpanya.
***