Gereja di Seberang Jalan

1090 Words
Hampir satu bulan. Bukan, bukan satu bulan ia benar-benar pergi dari rumah itu. Tapi hampir satu bulan penuh ia mempersiapkan kepergian ini, mengubah hatinya menjadi benteng yang tak bisa ditembus, melapisi jiwanya dengan baja agar tak goyah saat saatnya tiba. Bulan suci Ramadan yang seharusnya menjadi momen refleksi spiritual, baginya telah menjelma menjadi sebuah hitung mundur yang panjang dan senyap. Setiap sahur yang ia santap sendirian di dapur kecil itu, setiap berbuka yang hanya ditemani sunyi, adalah pengingat konstan akan keterasingannya. Sejak awal puasa hingga malam takbiran yang baru saja berlalu, ia telah hidup seperti arwah di dalam rumah itu, raganya ada di sana, namun jiwanya sudah lama mengembara, merencanakan pelarian ini. Ia memang tak pulang ke rumah orang tuanya. Pulang ke sana sama saja dengan kembali memasuki sangkar yang lebih besar dan lebih mewah. Tidak, ia tidak akan kembali ke sana. Tentu saja ia pergi ke rumah lain, sebuah paviliun kecil yang bersih dan rapi, yang telah disediakan untuknya oleh lelaki lain. Sebuah tempat perlindungan yang ironisnya berdiri tegak, tepat di depan sebuah gereja. Simbol pemberontakannya kini menjadi pemandangan sehari-harinya. Ia sudah membawa semua barangnya, yang memang tak seberapa jumlahnya di rumah itu. Hanya beberapa koper berisi pakaian, buku-buku, dan laptop. Sisanya, semua kemewahan dan barang-barang pemberian sebagai hadiah pernikahan, ia tinggalkan begitu saja. Ia tidak butuh semua itu. Ia hanya ingin hidup bebas. Bebas. Kata itu terasa begitu nikmat saat ia menggulirkannya dalam benak. Bebas dari tatapan mata penuh harap yang menyiksanya setiap hari. Bebas dari kesabaran seorang suami yang justru terasa seperti jerat yang paling mencekik. Bebas mencintai lelaki yang ia inginkan. Bukan lelaki yang dipaksakan padanya dalam sebuah akad yang terasa lebih seperti sebuah transaksi daripada ibadah. Lelaki yang dipilihkan orang tuanya, lelaki yang dianggap sempurna oleh seluruh dunia, namun di matanya, lelaki itu adalah simbol dari semua hal yang ia benci: keterpaksaan, ekspektasi, dan kehidupan yang bukan miliknya. Deru motor yang membawanya pulang tadi kini telah sepenuhnya lenyap, ditelan oleh keheningan malam. Hanya menyisakan dirinya yang berdiri di teras kecil rumah barunya, rumah perlindungannya. Udara malam terasa berbeda di sini. Tak ada lagi aroma melati dari taman kecil yang dirawat suaminya, tak ada lagi suasana khusyuk yang dipaksakan. Di sini, udaranya terasa netral, kosong, sebuah kanvas putih yang siap ia lukis dengan warna-warni pilihannya sendiri. Pintu paviliun di belakangnya terbuka. Lelaki yang tadi mengantarnya—lelaki yang menjadi alasan dari semua keberaniannya—keluar dari dalam. Wajahnya tampak sedikit lelah, tapi ada senyum tipis di bibirnya saat melihat perempuan itu masih berdiri di sana, seolah ragu untuk melangkah masuk. "Sudah ku bereskan. Tidur lah." Suaranya lembut, sebuah melodi yang kontras dengan keheningan yang baru saja ditinggalkan oleh deru motornya. Kata-katanya sederhana, tak menuntut, tak bertanya lebih jauh. Hanya sebuah pernyataan penuh perhatian. Perempuan itu hanya sanggup mengangguk. Tenaganya seolah terkuras habis setelah konfrontasi terakhir di rumah itu. Setiap sel di tubuhnya terasa lelah, bukan lelah fisik, tapi lelah mental karena harus terus-menerus membangun perisai. Ia sedang sangat malas berbasa-basi, malas untuk tersenyum, malas untuk mengucapkan terima kasih yang berbunga-bunga. Dan lelaki itu, dengan kepekaan yang selalu membuatnya jatuh cinta, langsung paham. Ia tidak bertanya, "Kamu tidak apa-apa?" karena ia tahu jawabannya. Ia tidak memaksa dengan, "Ayo, masuklah," karena ia tahu perempuan itu butuh momennya sendiri. Lelaki itu hanya melangkah mendekat, lalu tangannya terulur, bukan untuk memeluk atau menggenggam, tapi untuk melakukan sesuatu yang jauh lebih intim dan simbolis. Jarinya dengan sangat lembut mengelus permukaan hijab pashmina yang masih terpasang rapi di kepala perempuan itu. Sebuah sentuhan singkat, sebuah pengakuan atas identitas yang masih melekat, sekaligus sebuah janji tak terucap akan masa depan yang berbeda. Lalu, tanpa kata-kata lagi, ia berbalik dan pergi begitu saja, menaiki motornya dan menghilang dalam kegelapan malam. Sementara itu, si perempuan masih mematung. Sentuhan di hijabnya tadi masih terasa, meninggalkan jejak hangat yang aneh. Ia menatap ke arah jalan tempat lelaki itu pergi, memastikan bayangannya benar-benar lenyap. Ada sebagian kecil dari dirinya yang merasakan sengatan sepi, ditinggal sendirian di tempat yang benar-benar asing. Namun, perasaan itu dengan cepat tergantikan oleh gelombang kelegaan yang luar biasa. Sendirian. Akhirnya, ia benar-benar sendirian. Tidak ada lagi mata yang mengawasi, tidak ada lagi ekspektasi yang membebani. Pandangannya yang tadinya lurus ke depan, tak sengaja bergeser ke arah kanan. Dan di sanalah ia berdiri. Sebuah bangunan yang mustahil untuk diabaikan. Sebuah gereja tua bergaya klasik Eropa. Dinding batunya yang kokoh tampak megah di bawah cahaya lampu jalan. Jendela-jendela kacapatrinya yang tinggi dan melengkung memantulkan pendar temaram, menyimpan misteri di baliknya. Menara loncengnya menjulang ke langit malam seolah mencoba menyentuh bintang-bintang. Bangunan itu bukan sekadar bangunan. Malam ini, baginya, bangunan itu adalah sebuah monumen. Monumen atas keputusannya. Selama ini, pemberontakannya terjadi di dalam hati, dalam bisik-bisik rahasia, dalam pertemuan-pertemuan curian. Tapi malam ini, pemberontakan itu telah mewujud nyata. Ia telah menyeberangi Rubicon, membakar jembatan di belakangnya, dan kini ia berdiri di tepi dunia yang baru, dengan gereja itu sebagai gerbangnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara malam yang sedikit lembap mengisi paru-parunya. Ia melangkah masuk ke dalam paviliun. Kosong. Bersih. Bau cat baru masih sedikit tercium. Hanya ada sebuah kasur di sudut ruangan, sebuah lemari kecil, dan tumpukan kopernya. Tak ada foto keluarga, tak ada hiasan dinding religius, tak ada jejak kehidupan orang lain. Ini adalah miliknya. Sebuah awal yang benar-benar dari nol. Ia berjalan menuju satu-satunya jendela besar yang menghadap ke jalan. Dari sana, pemandangan gereja itu menjadi bingkai utamanya. Begitu dekat. Begitu nyata. Ia bisa melihat detail ukiran di pintu depannya, juga bayangan pepohonan yang menari-nari di dinding batunya. Ia tahu apa arti semua ini. Tinggal di sini adalah sebuah pernyataan. Ia tidak hanya meninggalkan suaminya, ia sedang dalam proses meninggalkan seluruh dunianya. Gema azan yang selama ini menjadi penanda waktunya, mungkin akan segera tergantikan oleh dentang lonceng gereja. Diskusi tentang tafsir Al-Quran di meja makan keluarganya, akan berganti dengan pembahasan tentang Alkitab. Ini bukan sekadar pindah rumah. Ini adalah sebuah migrasi jiwa. Apakah ia takut? Mungkin. Tapi rasa lelah dan hasratnya akan kebebasan jauh lebih besar daripada rasa takutnya. Ia sudah muak hidup dalam kebohongan, muak menjadi proyeksi sempurna dari keinginan orang tuanya. Ia ingin merasakan cinta yang riuh, yang penuh tawa, yang membuatnya merasa diterima seutuhnya—bukan cinta yang sunyi, sabar, dan penuh pengertian yang justru membuatnya merasa seperti pesakitan. Ia menyandarkan keningnya di kaca jendela yang dingin. Matanya tak lepas dari bangunan gereja di seberang jalan. Inilah titik awalnya yang baru. Di seberang sana adalah dunia kekasihnya, dunia yang telah menunggunya. Dan ia, dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki setelah perang panjang malam ini, siap untuk melangkah masuk dan mempelajarinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD