Setelah semua anggota gengnya berpamitan pulang, tinggal Andi dan Jehan berada di rumah. Andi duduk gelisah di sofa ruang tamu, bersiap menghadapi introgasi kakaknya.
"Jadi ..." Jehan menarik napas tajam, mencoba menenangkan diri. "... Sudah berapa lama kamu terlibat dalam hal mengerikan seperti ini?"
"Sudah tiga tahun. Sejak aku duduk di bangku kelas dua SMA," jawab Andi sambil menunduk.
Jehan terperangah. Ternyata adiknya sudah lumayan lama menjadi berandalan, dan terlibat dalam organisasi geng-geng yang sok jagoan di tiap desa.
"Kakak tahu kan waktu aku sering kabur dari rumah? Aku. Sering pergi ke rumah Taufik. Dan kebetulan Taufik itu anggota geng sapu rata, dia sering ngajak aku ke markas mereka. Dan ..." Dia mengangkat bahu, enggan memaparkan cerita secara spesifik pada kakaknya.
Jehan mendesah gusar. "Kamu pernah mikir nggak, kalau kamu terlibat dalam kegiatan geng seperti ini, nama kamu bakal ada dalam catatan hitam polisi. Dan kamu nggak bisa dapatin surat kelakuan baik." Dia bangun dari kursi lalu berjalan mondar-mandir di depan Andi.
Andi tersenyum tipis. "Kakak tenang aja. Aku nggak bakal berurusan sama polisi kok."
Sebelah alis Jehan terangkat, meragukan pernyataan Andi. Jadi ketua geng yang nggak berurusan sama polisi? Gimana caranya? Anggota gengnya Andi keliatannya s***s-s***s, apalagi senjatanya, Jehan bergidik mengingat s*****a yang dibawa teman-teman Andi.
Andi memutar mata, seolah mengetahui isi kepala Jehan, dia kemudian berkata, "Kakak nggak perlu tahu soal urusan gengku. Tapi Aku bisa jamin sama kakak kalau aku nggak bakal punya catatan kriminal di kantor polisi."
Jehan diam. Dia kemudian mengangguk melihat kesungguhan adiknya.
"Oh ya kak."
"Hmmm?" Jehan yang hendak beranjak menuju ke kamarnya, berbalik mendengar panggilan Andi.
"Kakak mau kan janji satu hal sama aku?"
Melihat ekspresi serius Andi, firasat Jehan mendadak tidak enak. "Ya?" jawahnya ragu.
"Mau kan kakak ngejauhin Aldo? Demi aku ..." Mohon Andi.
Jehan tertegun mendengar permintaan Andi. Dia diam, lidahnya kelu karena tak bisa menjawab.
Bisakah aku melakukan itu?
"Kak Jehan?" desak Andi halus.
Dengan terpaksa Jehan mengangguk. Demi adikku, pikirnya sedih.
***
Tidak mudah bagi Jehan untuk menjauhi Aldo. Beberapa kali dia harus menghindari pemuda itu ketika Aldo datang ke kampusnya untuk bicara. Dan sekitar lima atau enam kali Aldo menemuinya di kampus, namun Jehan menolak kehadirannya, hingga akhirnya Aldo menyerah.
"Kakak makan apa sih? Berat banget!" protes Andi sembari terus berusaha melakukan push up sebanyak dua puluh kali dengan Jehan yang duduk manis di atas punggungnya, sambil ngemil kripik singkong. Seperti biasa keduanya sedang main di teras rumah.
"Lagi makan kripik singkong. Nggak liat nih!" ucap Jehan sembari menyodorkan kripik singkong pada Andi.
Andi merengut. "Aku nggak nyangka, orang yang badannya krempeng. Dan doyan makan kripik singkong ternyata berat badannya sama kayak kingkong," ledek Andi.
"Apaan?" seru Jehan tersinggung. Dia menarik rambut hitam-ikal-cepak Andi gemas.
"Hei! Hei jangan marah. Itu fakta," ejek Andi sembari tertawa-tawa. Tubuhnya tengkurap, kesulitan untuk bangun karena berat badan Jehan.
Saat keduanya sedang terlibat perkelahian kecil menyenangkan antara kakak beradik, sebuah motor yang lewat menarik perhatian Jehan, wajah cerianya berubah muram ketika melihat si pengemudi dan penumpang motor yang lewat. Pengemudi itu melirik sekilas ke arah Jehan, lalu melajukan motor sportnya dengan kecepatan tinggi.
Menyadari perubahan suasana hati kakaknya. Andi ikut mendongak untuk melihat apa yang menyebabkan Jehan mendadak sedih, dan dia hanya mendesah pahit saat mengetahui bahwa yang dilihat kakaknya adalah Aldo dan Erna.
"Cemburu?"
Jehan menghela napas berat, lalu melirik ke arah Andi. "Memangnya itu perlu?"
"..."
Jehan mendesah. "Kamu nyuruh aku ngejauhin Aldo karena dia nggak baik buat aku. Lalu apa aku perlu cemburu sama orang yang harus kujauhi? Lagian ... Aku sama Aldo nggak pernah pacaran."
Andi tahu, walaupun sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan perasaannya dengan memasang ekspresi datar, hati Jehan terluka.
"Maafin aku kak. Aku nggak bermaksud bikin kakak patah hati. Aku cuma ..."
"Udahlah jangan melankolis gitu, aku nggak apa-apa." Jehan nyengir jahil sambil kembali duduk manis di punggung Andi yang berbaring tengkurap. "Sekarang lanjutin push up-nya. Di tes jas* buat masuk TNI itu, biar bisa lolos harus nyampe berapa kali push up?" Tanya Jehan.
"Sekitar tiga puluh kali."
"Ya udah. Kalau gitu lanjutin push up-nya sampai tiga puluh kali," timpal Jehan seenak udelnya.
"Yeee. Gimana mau tiga puluh kali, wong kakak berat banget," ledek Andi mencoba meredakan suasana tegang diantara mereka.
"Berat apaan? Kurus gini, jangan bohong deh."
"Badan kakak memang krempeng, tapi jangan salah tulang kakak berat kayak tulang dinosaurus ... Aduh duh!" Andi menjerit saat Jehan menarik keras rambutnya. "Aduh kak lepasin! Sakit tahu. Mama! Kak Jehan ngelakuin KDRT nih!"
"Cengeng!"
"Jehan! Andi! Jangan berantem kayak anak kecil!" seru Mama dari dalam rumah.
***
"Seriusan? Orang-orang dari kampung bawah mau nyerang kita?" Andi menelan ludah mencoba mencerna informasi yang dari salah satu temannya yang bernama Rifki. Malam ini dia dan teman-temannya yang lain nongkrong di pos jaga di depan rumah Naufal.
"Lebih spesifiknya sih, nyerang anak-anak Brandalz."
Sebelah alis Andi terangkat tinggi. "Brandalz? Memang apa yang mereka lakuin sampai buat orang-orang kampung bawah marah?"
"Beberapa anak-anak geng Brandalz ngeroyok Hamdi, anak dari kampung bawah, mereka ngebacok dia di punggung, sampe punggung Hamdi harus dijahit," jelas Rifki.
"Mereka itu nggak ada kapok-kapoknya cari masalah," gerutu Naufal. "Yang bakal dilawan itu orang sekampung lho, bukan anggota geng."
"Memangnya siapa aja yang ngeroyok Hamdi?" tanya Andi pada Rifki.
Pemuda bertubuh mungil dengan kulit hitam manis dan alis yang lumayan tebal itu menerawang, mencoba mengingat. "Katanya sih Agus. Tio, sama Aldo."
"Owh." Wajah Andi berubah datar. "Biarin aja, kita nggak usah ikut campur."
***
Malam ini suasana di rumah Pak Irwan Hamzah terdengar sangat meriah. Pertengkaran antara Jehan dan Fathan membuat kedua orang tuanya tertawa geli.
"Ya ampun. Fathaaaannnn balikin hape kakak!" geram Jehan sembari mengejar Fathan yang berlari mengelilingi lingkaran sofa di ruang keluarga yang diduduki oleh kedua orang tua mereka.
"Nggak! Pinjam bentar ngapa? Pelit amat," cibir Fathan sambil berlari menghindar dari Jehan.
"Kayak kamu juga pernah baik sama kakak," desis Jehan. "Balikin! Kamu kan punya hape sendiri Fathan!" Dia mulai kesal karena dipermainkan oleh adik bungsunya.
"Hapeku nggak ada pulsanya kak. Pinjam dulu!" Fathan berlari ke arah ruang tamu, lalu ke teras dengan diikuti Jehan.
"Fathaaannn!"
'Dhuak!'
'Prang!'
"Cari anak-anak s****n tukang bikin onar itu!"
Wajah Jehan dan Fathan langsung berubah pucat saat melihat keramaian yang terjadi di jalan raya besar di depan rumah mereka. Sekelompok penduduk desa laki-laki yang marah tampak membawa golok, parang, dan bambu, berjalan melewati rumah mereka sambil meneriakan makian dan menyerukan nama orang-orang yang mereka cari.
Melihat kemarahan warga yang mencari para anak muda tukang buat onar, pikiran Jehan langsung tertuju pada Adiknya, Andi.
Ya Tuhan, semoga yang mereka cari bukan Andi. Batinnya cemas. Sejak mengetahui bahwa Andi adiknya adalah ketua geng, Jehan tidak bisa berhenti menghawatirkannya.
"Papaaa!" Fathan langsung berlari ke dalam rumah, melaporkan pada Papa dan Mamanya tentang apa yang terjadi di luar.
"Ya ampun!" Pak Irwan tertegun melihat keramaian itu. Beberapa anak muda memukulkan s*****a mereka seperti linggis dan bambu runcing ke jalan raya, meneriakan kata-kata tantangan untuk para anak muda kampung atas agar tidak bersembunyi dan maju melawan mereka.
"Apa yang terjadi? Apa mereka dari kampung bawah?" gumam Bu Irwan cemas sambil memeluk kedua anaknya.
"Mungkin?"
"Ya Tuhan Pa, tolong cari Andi. Dia bilang tadi sedang main di rumah Naufal!" pinta Bu Irwan khawatir.
"Ya. Dan kalian semua masuk ke dalam rumah dan kunci pintu."
***
"Jadi yang mereka cari itu anak-anak sok yang namain diri mereka geng Brandalz?" Pak Irwan mengangguk mendengar penjelasan Andi yang telah berhasil dia bawa pulang ke rumah. Sekarang, Pak Irwan, istri, beserta ketiga anaknya sedang berada di ruang keluarga, membahas mengenai pokok utama yang memicu kemarahan warga.
"Iya Pa." Andi mengangguk. "Anak-anak geng Brandalz ngeroyok Hamdi, dari kampung bawah. Itu yang anaknya Om Usman. Mereka ngebacok Hamdi sampai punggungnya sobek dan harus dijahit," jelas Andi.
Pak Irwan mendesah. "Ah. Anak-anak itu ... Bagaimana keadaan Hamdi sekarang?"
"Masih di rumah sakit."
"Lalu siapa yang menusuknya?" tanya Bu Irwan.
Andi melirik Jehan ragu. "Emmm. Aldo dan teman-temannya," jawabnya pelan.
Tubuh Jehan menegang, matanya melebar. Dia menatap Andi tak percaya. Dan Andi mengangguk pelan ke arahnya.
Ponsel di saku celana jins Andi berdering, dan ternyata itu dari dari Naufal. Mereka berbicara sepatah dua patah kalimat, sebelum Andi mengucapkan terimakasih dan mematikan ponselnya.
"Siapa?" tanya Pak Irwan.
"Naufal. Dia bilang ..." Andi melirik kakaknya perihatin. "Rumah Aldo ... Hancur diamuk masa."
Jehan merasakan dunianya seakan runtuh. Dia jadi sangat mengkhawatirkan Aldo. Dalam hati dia berdoa—berharap Aldo baik-baik saja.