2

3087 Words
  "Kak." Andi melirik gelisah ke arah Kakaknya yang sedang sibuk mengerjakan makalah tugas Linguistik Umum di ruang keluarga. Tivi menyala di depan mereka memperlihatkan acara sinetron malam yang membosankan, sementara Fathan, adik bungsu Jehan dan Andi yang duduk di bangku kelas tiga SMP sedang asik bersms ria dengan pacarnya—sambil berpura-pura belajar, katanya takut ketahuan Papa. "Kak!" panggil Andi lagi sambil melempar kakaknya menggunakan bantalan sofa yang dari tadi dia pegang. Jehan yang sedang asik duduk bersila di lantai sambil menulis makalah, menoleh dan memelototi Andi. "Apaan?" tanyanya gusar sembari balas melempar Andi dengan bantalan sofa tadi. "Aku mau bicara sama Kakak," katanya ragu. Jehan tampak tak acuh. Dia kembali menekuni makalah linguistik umumnya. "Bicara apaan?" Andi menatap kakaknya sebentar, "Ini tentang Al ..." "Jehaann!" Suara panggilan Mama yang terdengar dari dapur memotong perkataan Andi. "Iya Ma!" Jehan langsung meninggalkan makalahnya, lalu pergi menuju dapur untuk mendengarkan perkataan Sang Mama. Andi mendesah. Dia menggaruk kepalanya frustrasi, bingung bagaimana cara menyampaikan pada Kakaknya bahwa Aldo itu ... Errr ... Berbahaya. Well, selama ini dia sudah sering mengatakan pada Jehan bahwa Aldo itu tidak baik, tapi Jehan mengabaikannya. Bagi Andi, Aldo bukan hanya tidak baik, tapi juga berbahaya. Dari salah seorang temannya di desa tetangga, Andi mendapatkan informasi bahwa Aldo terlibat dalam kasus pembunuhan seorang pemuda di desa Runggu. Dia membacoknya. Kasus itu memang belum tersebar, karena keluarga si korban sedang menyelidiki siapa yang membunuh anak mereka, setelah mereka mengetahuinya mereka pasti akan membalas dendam. Dan menurut Andi, kalau sampai Jehan dekat dan pacaran dengan Aldo, itu pasti akan berbahaya bagi Jehan. Andi tidak mau nyawa kakaknya berada dalam bahaya karena pemuda berandalan itu. Well, dia juga memang bukan orang baik, tapi Andi sangat menghawatirkan Jehan. Jehan memang anak sulung dan lebih tua dari Andi, tapi Andi sangat menyayangi Jehan dan malah memperlakukannya seperti seorang adik. "Mau kemana?" Sebelah alis Andi terangkat saat melihat Jehan yang kembali dari dapur pergi menuju ke kamarnya. "Ganti baju. Minyak goreng habis, Mama nyuruh aku ke warung Bu Ade buat ngebeli," jawab Jehan lalu masuk ke dalam kamarnya. Dan tak berapa lama kemudian dia keluar dari kamar dengan menggunakan kaos putih pas badan, dan celana kargo selutut berwarna biru navi. "Aku antar," ucap Andi datar sembari bangun dari kursi, dan tampa menunggu persetujuan dari kakaknya, dia berjalan untuk membuka pintu. Jehan memutar matanya sebal melihat sikap protektif adiknya. Belum sempat mereka berangkat menggunakan motor matik Andi. "Andiiii!" Mama tiba-tiba memanggil Andi. "Iya. Ma!" "Jemput Papamu di bengkel Pak Taufik, Papanya Denny!" Mama muncul di depan pintu. Andi mengerutkan kening. "Memangnya papa kenapa Ma?" "Motor Papamu mogok. Jadi cepat jemput di bengkel sebelum Papa ngomel!" Perintah Mama. Andi menatap Jehan ragu. "Udah sana. Biar aku jalan kaki," kata Jehan kemudian beranjak keluar dari pekarangan rumahnya. Setelah Jehan menghilang pada sebuah tikungan g**g, Andy lalu mengeluarkan motornya dan pergi untuk menjemput si Papa.   ***   "Weits. Ada cewek cakep nih!" Jehan bergidik mendengar godaan dari seorang pemuda berandal yang nongkrong di g**g itu. Dari kegelapan yang remang dia bisa melihat sekitar enam atau tujuh pemuda seumurannya yang nongkrong di sebuah bale-bale di ujung g**g, di temani sekitar dua atau tiga remaja perempuan seksi yang mengenakan pakaian ketat yang minim. "Aku belum pernah ngeliat dia. Apa dia cewek baru di kampung ini?" Jehan terus berjalan sambil menunduk. Dia memang tidak dikenal oleh sebagian orang ataupun anak muda di desa itu, Jehan tipe cewek rumahan yang jarang bersosialisasi. "Ummm. Iya. Mungkin juga cewek baru di kampung ini," salah satu pemuda berandal berambut gimbal menimpali. "Hai cewek. Kenalan dong!" Langkah kaki Jehan berhenti ketika seorang berandal bertubuh cungkring, dengan kaos dan jins gelap, dan rambut cepak yang jarang dikeramas. Mencoba memberanikan diri, Jehan mendongak dan memelototi cowok kurang ajar yang menghalangi jalannya. "Namaku Agus. Namamu siapa?" tanya cowok itu memamerkan cengiran lebarnya pada Jehan. "Namaku adalah aku-tidak-tertarik." sahut Jehan memberikan penekanan di tiap kata yang ia ucapkan. "Dan panggilanku adalah cepat-menyingkir-dari-hadapanku." Si cungkring dan teman-temannya tertawa mendengar gertakan Jehan. "Owh. Cewek ini ganas juga. Bakal asik nih meloncoin cewek baru ini rame-rame!" katanya sambil memamerkan senyum kurang ajar disambut siulan riuh dari teman-temannya. "Minggir!" "Jehan?" Tubuh Jehan membeku mendengar suara itu. Dia menoleh dan matanya melebar mendapati Aldo yang tengah berada di bale-bale dengan seorang cewek berpakaian ketat duduk menempel di pangkuannya, sementara tangan Aldo berada pada salah satu bagian tubuh si cewek. Aldo tampak tertegun melihat Jehan berada di sana. "Kamu kenal dia, Do?" tanya salah seorang temannya. "Dia ..." "Ah! Aku ingat! Dia kan kakaknya Andi?!"   "Andi? Andi Setiawan maksudmu?" tanya Si cungkring ragu, seolah dia takut pada Andi. Memangnya apa yang akan Andi lakukan? "Iya. Andi yang mana lagi? Andi Setiawan, ketua geng Sapu Rata, yang anak buahnya terdiri dari pemuda-pemuda kuat dari empat desa." Jehan melongo mendengar penjelasan salah satu pemuda berandal tentang Andi. Yang benar saja? Pikirnya tak percaya. Andi ketua geng yang ditakuti? Dia mengerjap mencoba mengingat kembali profil adiknya. Andi tinggi, badannya bagus, nggak gemuk dan juga nggak kurus-kurus amat, kulitnya putih, dan untuk urusan tampang sudah jelas Andi ganteng—lihat saja kakaknya cakep. Tidak ada yang menyeramkan dari Andi, tapi kenapa bisa dia terpilih jadi ketua geng? Si cowok bertubuh tinggi datang menghampiri. Dia hampir mirip dengan Aldo, hanya saja dia terlihat sedikit lebih tua. "Jadi dia kakaknya Andi?" tanyanya disertai sebuah senyum penuh arti. "Cantik juga." Wajah Aldo tampak pucat saat cowok dipanggil Edo itu berdiri tepat di depan Jehan. Dengan segera dia menyingkirkan cewek yang dari tadi duduk di pangkuannya, dan turun dari bale-bale. "Bang. Jangan!" katanya terlihat takut. "Bagaimana kalau kita gunakan dia untuk menantang Andi," ucap Edo mengabaikan Aldo. Sebuah seringai kejam tersungging di bibirnya. Jehan gemetar, dalam hati dia berdo'a semoga dia selamat sampai rumah dan membawa minyak goreng untuk mamanya. "Jangan Bang!" Aldo langsung berdiri diantara Edo dan Jehan. "Kenapa Aldo?" Edo melengkungkan alis menatap adiknya. "Jangan bilang kamu takut sama Andi, si anak ingusan yang sok jago itu." "Nggak! Aku nggak takut sama Andi, Bang. Cuma pikirin, kalau kita makai Jehan buat mancing Andi, bukan hanya Andi yang marah tapi juga Pak Irwan Hamzah. Tahu sendirikan bapaknya dia ini kalau marah gimana?" Dia bergidik mengingat kegalakan Pak Irwan Hamzah, papanya Jehan yang sangar dan punya body seperti Agung Hercules itu. "Lagian keluarganya Andi itu pendatang di desa ini. Well, ngelukain Andi bisa jadi nggak ada masalah karena dia nggak bakal ngasih tahu papanya." Jehan melotot mendengar perkataan Aldo. "Tapi ngelukain Jehan," dia menatap Jehan melalui bahunya. "Itu bisa memicu pertikaian antar desa. Kalau papanya Jehan ngerahin orang-orang di desa asalnya buat ngeburu kita bisa bahaya. Papanya Jehan kan orang yang berpengaruh." Edo terdiam mendengarkan perkataan Aldo, ia lalu mengangguk membenarkannya. "Kamu boleh pergi," katanya pada Jehan, yang langsung kabur mengambil langkah seribu. Aldo mendesah lega menatap punggung Jehan yang menjauh dalam kegelapan. ***   Jehan masih terguncang dengan pertemuannya dengan Aldo dan kawan-kawan. Tubuhnya gemetaran. Dia takut dan cemburu, takut pada teman dan abangnya Aldo yang berandalan itu, dan cemburu melihat Aldo bermesraan dengan cewek lain. Sialan, kenapa aku harus cemburu? Dia bukan apa-apaku, dia cuma teman SMA! TEMAN SMA Je! Sadar, rutuk Jehan dalam hati. Setelah selesai membeli minyak goring di warung Bu Ade, Jehan kebingungan. Bagaimana dia akan pulang tanpa melewati g**g tempat para berandalan itu nongkrong? Dia mendesah bingung. "Aku tidak bertemu lagi dengan Aldo dan teman-temannya," keluhnya sembari menendang pelan beberapa kerikil yang dia lewati. Jehan berjalan lambat-lambat berharap Aldo dan teman-temannya sudah pergi. Dan saat dia hampir sampai di persimpangan tempat para berandalan itu nongkrong, Jehan terkejut ketika ada seseorang yang menyentak dan menarik tangannya, menyeretnya menuju ke arah yang berlawanan. Jehan ketakutan setengah mati, dia hampir saja menjerit untuk meminta tolong, namun waktu melihat siapa yang menyeretnya. Jehan mengernyit bingung. "Aldo?" "Sssstttsss." Aldo memberi Jehan isyarat untuk diam. "Aku antar kamu pulang. Kita lewat jalan pintas." "Apa?" "Aku tahu kamu nggak mau ketemu lagi sama teman-temanku tadi. Jadi jangan banyak protes." Jehan diam. Dia menurut saja ketika Aldo menyeretnya masuk ke sebuah jalan kecil yang ada di samping warung Bu Ade. Dan ketika mereka sudah sampai di depan Rumah Jehan. "Je ... Soal tadi aku minta ma ..." "Terimakasih," potong Jehan cepat sembari buru-buru kabur ke dalam dengan sebotol minyak goreng di tangan, meninggalkan Aldo yang berdiri mematung di luar pagar rumahnya.   ***   Andi mendesah frustrasi. Siang ini seperti biasa dia berada di rumah Naufal, sahabatnya, untuk menghindari omelan sang papa. Beberapa bulan belakangan tekanan yang dia hadapi benar-benar berat. Setiap hari Andi terus menjadi sasaran kemarahan Papanya, karena pilihan karir yang ingin dia ambil. Setelah lulus SMA tahun lalu, Andi langsung mengikuti tes untuk menjadi seorang TNI, sementara Papa Andi lebih setuju Andi mengikuti tes sebagai seorang Polisi seperti dirinya. Waktu itu Andi tidak lulus untuk menjadi seorang Tentara kara gagal di tes MI (Mental Intelegency) dan tahun ini Andi berniat untuk ikut tes Secaba untuk menjadi tentara lagi. Tapi Papanya berniat mendaftarkan Andi untuk mengikuti tes Akademi kepolisian. Perbedaan pendapat dan pilihan karir itu membuat Andi frustrasi. Belum lagi masalah kedekatan Jehan dan Aldo yang menambah beban pikirannya. Kalau dekat biasa sebagai teman sih nggak apa-apa, tapi masalahnya Kak Jehan naksir Aldo. "Ndi." Naufal yang sedari tadi asik ber-chatting ria dengan cewek cakep di laptopnya tiba-tiba memanggil Andi, dia memutar kursi belajarnya hingga menghadap ke arah Andi yang sedang asik berbaring di atas tempat tidurnya. "Hmmm?" "Aku lupa ngasih tahu kamu." Naufal tampak ragu memberitahu Andi. Andi bergeming, dia masih menutup matanya menunggu Naufal melanjutkan ucapannya. "Semalam aku ngeliat Kak Jehan digangguin geng Brandalz di g**g Lavendo." Andi tersentak, matanya yang sejak tadi terpejam langsung terbuka lebar. "Aku nggak berani ngedekat, soalnya jumlah mereka banyak," jelas Naufal sedikit ngeri melihat ekspresi Andi yang mendadak keras. "Aku sudah siap-siap mau nelpon kamu kalau mereka berani apa-apain Kak Jehan. Tapi ..." Alis Naufal bertaut saat akan melanjutkan kalimatnya. "... Aku nggak tahu apa yang Aldo omongin sama Bang Edo, sampai dia mau ngelepasin Kak Je ... Andi!" Naufal belum menyelesaikan ceritanya ketika Andi bangun dari tempat tidur dan dengan marah keluar dari kamar Naufal.   ***   Jehan hanya bisa mengernyit bingung saat Desi, gadis bertubuh bongsor, yang merupakan teman sekelasnya, memberitahu dia bahwa ada seorang cowok ganteng yang menunggunya di taman dekat ruang tata usaha. Jehan tidak bertanya pada Desi tentang siapa yang menunggunya, dia pikir itu Andi yang ingin menjemputnya. Tapi ... Kenapa buru-buru? Aku masih ada satu mata kuliah lagi? Pikir Jehan bingung, dan dia segera pergi menuju taman. Jehan merasa jantungnya tenggelam, ketika melihat bahwa yang menunggunya adalah Aldo. Bukan Andi. Aldo dalam balutan jersey tim sepak bola Spanyol, dan celana pendek dengan banyak kantong berwarna gelap, terlihat mengagumkan. Menyadari bahwa Jehan sudah sampai, Aldo mendongak dan bangkit dari bangku taman putih yang dia duduki untuk menghampiri Jehan. "Hai," sapanya dengan nada hati-hati. Kening Jehan berkerut. "Hai," jawabnya ragu. "..." "Ngapain kamu ke sini?" tanya Jehan to the point. Ingatan mengenai teman-teman berandal Aldo, dan juga cewek seksi yang duduk di pangkuannya, membuat Jehan kembali ketus. "Aku datang ke sini buat ketemu kamu. Kita harus bicara," kata Aldo putus asa. Sebelah alis Jehan terangkat bingung melihat kelakuan Aldo. "Nggak ada yang perlu dibicarain. Sebaiknya kamu pulang, aku masih ada satu jam mata kuliah." "Jehan. Plis, dengarin aku," pinta Aldo seolah apa yang akan dia jelaskan adalah sesuatu yang sangat penting baginya. "Aku tahu kamu marah sama aku gara-gara kejadian tadi malam. Tapi ... Aku benar-benar nggak tahu kalau kamu yang digangguin si Agus." Jehan diam. Sebelah alisnya melengkung tajam menunggu kelanjutan penjelasan Aldo. "Soal geng adikmu dan geng kami ... Well. Sebenarnya itu cuma masalah lama antara Bang Edo sama Andi. Mereka pernah bertarung-maksudku berkelahi, saling adu tinju ..." Jehan menganga mendengar cerita Aldo, dia tidak bisa membayangkan bagaimana Andi adiknya yang manis, berkelahi dengan orang sangar seperti Bang Edo, kakaknya Aldo. Dia bergidik. Ternyata Andi adalah orang yang mengerikan. "Dan ... Entah bagaimana adikmu itu bisa menang melawan Bang Edo." Kepala Jehan berputar mengingat beberapa momen antara papa dengan Andi. Bagaimana papanya itu mengajari Andi tentang ilmu bela diri, dan juga ajian-ajian—yang dipercaya— untuk melumpuhkan musuh. "Bang Edo dendam banget sama Andi, dan dia pengen ngadain tanding ulang. Tapi Andi nggak mau ..." Jelas Andi nggak mau, kalau sampai ketahuan papa atau kalau sampai punya catatan kriminal di kantor Polisi, tamat sudah cita-citanya buat jadi tentara. Salah satu persyaratan tes buat jadi TNI kan dengan adanya surat kelakuan baik dari kantor polisi. "Dan soal Erna tadi malam ..." Jehan menggertakan giginya mendengar Aldo menyebutkan nama cewek yang dia pangku semalam. "... Kami cuma ..." "Aku udah maafin kamu kok. Terimakasih sudah ngejelasin," potong Jehan buru-buru kabur dari sana. Dia tidak mau mendengar kelanjutan perkataan Aldo tentang hubungannya dengan si cewek bernama Erna. Well, itu bukan urusanku, pikir Jehan sambil tersenyum pahit. ***   Sore itu Jehan duduk di teras rumahnya sambil membaca beberapa novel yang baru dia beli. Salah satu diantaranya adalah salah satu novel misteri karangan penulis favoritnya Agatha Christie. Jehan sendirian di rumah, dia menunggu Papa dan Mamanya yang sedang pergi ke acara resepsi pernikahan kolega mereka. Sementara Fathan sedang bermain di rumah temannya, dan Andi juga mungkin sedang berada di rumah temannya? Saat sedang asik membaca, Jehan dikejutkan oleh kehadiran Naufal sahabat Andi. Cowok manis berambut kribo itu terlihat pucat, ketakutan, napasnya terengah-engah seperti habis berlari dari jarak yang sangat jauh. "Kak Jehan! Kak!" Dia membuka pintu pagar. Jehan yang panik berlari menghampirinya. "Ya Ampun Naufal ada apa?!" "Om Irwan mana?" tanya Naufal, matanya bergerak liar mencari keberadaan Papa Jehan. "Papa sama Mama lagi kondangan," jelas Jehan bingung dan panik. "Memangnya ada apa?" "Ya Tuhan! Bagaimana ini?" Naufal malah mengeluh. Dia terlihat sangat ketakutan. Jehan menggeram. Menarik kerah baju Naufal, dia memaksa pemuda itu untuk menatap ke arahnya. "KATAKAN PADAKU APA YANG TERJADI!" bentaknya garang membuat Naufal makin pucat. "Andi dan Aldo berkelahi di g**g Lavendo." Mata Jehan membelalak mendengar perkataan Naufal. "Geng Brandalz dan Sapu Rata juga siap tempur, mereka bakal tawuran. Dengan segera Jehan berlari keluar rumah, pergi menuju tempat perkelahian Aldo dan Andi. Ya ampun tawuran antar geng? Wajah Jehan memucat memikirkannya. Dia ngeri membayangkan s*****a apa saja yang dibawa anggota geng, berandalan kampung dalam perkelahian mereka. "KAK JEHAN! Aduh! Tuh orang kenapa malah pergi ke sana sih? Aku bisa diamuk Andi kalau Kak Jehan ikut campur!" Gerutu Naufal. *** "Bang Edo!" Edo yang sedang berada di bengkel, mengautak-atik motornya hanya bisa mendengus tak acuh saat mendengar salah satu anak buahnya memanggil. "Apa?" "Aldo dikeroyok anak-anak Sapu Rata di g**g Lavendo." Dan kegiatan mengautak-atik motor pun tak terselesaikan, karena si empunya motor langsung keluar dari sana, mengambil s*****a seperti golok untuk menghadapi musuh yang sudah berani mengeroyok adiknya. ***   Buk! Aldo tesungkur saat pukulan tinju kiri Andi bersarang tepat di pipi kanannya. Dia memiliki pukulan yang keras, hingga sudut mulut Aldo berdarah dan bibirnya sobek. Beberapa teman Aldo menggeram, ingin membantu Aldo. Namun mereka tidak berani maju, karena jumlah anggota geng Sapu Rata yang membawa s*****a tajam seperti panah, badik, ketapel kelereng, dan pistol rakitan, jauh lebih banyak dari jumlah mereka. "Aku udah bilang sama kalian, jangan pernah ganggu atau bawa-bawa Kakak dan Adik aku dalam pertikaian geng kita." Andi menuding Aldo marah. "Tapi kenapa tadi malam geng kamu malah ngeganggu Kakak aku?!" Dengan susah payah, Aldo bangkit berdiri. Dia menghapus darah yang mengalir di sudut bibirnya menggunakan punggung tangan. "Aku nggak ngegangguin Jehan. Aku nyelamatin dia. Teman-teman aku nggak tahu kalau dia kakak kamu," jelas Aldo. "Bohong!" Andi dan Aldo melangkah pelan membentuk lingkaran, mata mereka awas, saling mengamati kelemahan lawan. "Aku nggak bohong." "ANDI!!!". Andi, Aldo, dan teman-teman mereka sama-sama menoleh mendapati wajah pucat Jehan yang terkejut melihat perkelahian mereka dan juga s*****a-s*****a mengerikan yang dibawa oleh anggota dari dua geng itu. "Kakak?" Andi yang tadi memasang kuda-kuda untuk menyerang Aldo kembali ke posisi defensifnya. Dia kaget dan khawatir melihat Jehan ada di sana. "Jehan?" Aldo berdiri tegak, menatap Jehan dengan sorot pandangan meminta maaf. "Apa-apaan ini?" tanya Jehan, matanya terfokus pada Andi, perlahan dia melangkah-berjalan menghampiri dua petarung yang berdiri di tengah barisan lingkaran para serdadu. "Aku bisa jelasin ini asal kakak pulang dulu dan tunggu aku di rumah," kata Andi, matanya hilang fokus. Dia menolak untuk menatap Jehan.   Jehan mengabaikan perintah Andi. Dia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Aldo. Sorot mata gelapnya terluka dan menuduh. "Kamu bilang kamu nggak bakal ngelukain adik aku. TAPI KENAPA KAMU MALAH BERKELAHI SAMA DIA?!" "Maaf Je. Dia yang nyerang aku duluan," sahut Aldo. Suaranya melembut. "Apa?" "Dia pikir aku dan teman-temanku nyakitin kamu. Tapi dia salah aku nggak bakalan bisa nyakitin kamu." Tubuh Aldo mundur beberapa langkah karena dorongan kasar Andi. "Apa maksud perkataanmu itu? Hmmm!" tanyanya gusar sorot matanya dipenuhi amarah. "Andi!" Jehan memegang erat lengan Andi, takut adiknya itu hilang kontrol. Aldo menatap Andi tepat di matanya. Dan dengan tenang dia berkata, "Aku nggak bisa nyakitin Jehan. Aku ... Aku sayang sama dia," lanjutnya. Tubuh Andi dan Jehan sama-sama menegang. Dan sepersekian nano detik kemudian, Jehan tidak sanggup lagi memegangi Andi. Dia menyerang Aldo, memukuli wajahnya bertubi-tubi. Jehan histeris. "ANDI! ALDO!" Seseorang teman Andi langsung memegangi pegelangan tangan Jehan. "ANDI! ALDO! Tolong hentikan!" Dia menangis, "ANDI BERHENTI!" Aldo membalas serangan Andi. Mereka saling memukul, menendang, dan menjatuhkan. Dan suara teriakan marah yang datang dari arah utara menghentikan perkelahian mereka. Edo, dan beberapa anak buahnya berdiri di jarak seratus meter dari tempat Andi dan Aldo berkelahi. Dia melotot garang pada Andi dan teman-teman gengnya. Andi menyeringai. Dengan senyum menghina dia menarik kerah baju Aldo yang sudah semaput lalu mendorongnya kasar ke arah sang Kakak. Edo menggeram marah. "Ajarin adikmu berkelahi gih. Masa kalah sama anak kecil?" cemoohnya. "Kamu ..." geram Edo hendak maju dan mencincang Andi dengan goloknya, namun Andi dengan cepat memberi isyarat pada temannya yang memegang s*****a rakitan untuk mengarahkan pistol rakitan laras panjang itu ke arah kepala Edo. "Bang!" Aldo dan teman-temannya berseru khawatir. "Aku penasaran, mana yang lebih cepat, peluru pistol? Atau golok yang diayunkan?" kata Andi skeptis. Jehan tertegun. Baru kali ini dia melihat Andi yang begitu menakutkan dan kejam. "Andi ..." Mendengar kakaknya memanggil, Andi menoleh, melihat Jehan melalui bahu kanannya. Dia lalu menoleh untuk menatap tajam pada Aldo yang sudah babak belur karena ulahnya. "Jangan coba-coba dekati kakakku lagi, atau kepalamu akan kupecahkan," ancamnya kemudian berbalik memberi isyarat pada anggota gengnya yang lain untuk pergi. "Kak. Ayo kita pulang," dia meraih tangan Jehan dan menuntunnya pergi dari sana. Sementara Jehan hanya bisa diam dan menurut, tubuhnya gemetar karena shock. Jehan menoleh ke belakang, dan hatinya terluka saat melihat Aldo yang menatapnya dengan ekspresi sedih. Kisah cinta yang sudah lama kuimpikan kenapa malah jadi mengerikan seperti ini? Pikirnya muram.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD