TERBAIK UNTUKMU
Miiya .k
o TERBAIK UNTUKMU
Miiya K. (c) 2014
"Jangan coba-coba memikirkan itu!" Andi memperingatkan kakak perempuannya yang sejak tadi asik memperhatikan salah satu cowok yang sedang nongkrong bersama teman-temannya di seberang jalan besar di depan rumah mereka.
"Memikirkan apa?" tanya Jehan tak mengerti.
"Aldo. Dari tadi kakak ngeliatin dia kan?" tuduh Andi menyipitkan mata ke arah sang kakak.
"A-apaan sih?" Mendapat tebakan yang tepat dari Andi, Jehan langsung salah tingkah, dia kemudian berpura-pura menyapu teras lagi.
Andi mendengus melihat kelakuan kakaknya. "Sudahlah jangan pura-pura nyapu seperti itu, bohongnya jadi makin kelihatan."
Jehan merengut, dia menoleh dan memelototi Andi yang kemudian asik duduk bersila di teras sambil memperbaiki senar gitarnya yang putus.
"Dia bukan cowok yang baik kak. Aku pikir kakak sudah tahu tentang hal itu, dia kan teman SMA kakak."
Jehan mendesah, mengembalikan sapu ke tempatnya, dia lalu ikut duduk bersila di lantai, memperhatikan Andi yang sibuk dengan gitarnya.
"Iya Aldo teman SMA-ku, tapi dia baik kok, sopan, dan nggak pernah kurang ajar." Setidaknya sama aku, Jehan menambahkan dalam hati.
Andi memutar mata mendengar pembelaan kakaknya. "Tapi kakak tahu sendirikan di desa ini dia dikenal sebagai apa? Berandalan tukang buat onar, sering berkelahi, suka mabuk-mabukan, dan sering bolak-balik kantor polisi."
"Iya sih, tapi ..." Jehan menoleh untuk menatap fitur Aldo yang sedang tertawa-bercanda bersama teman-teman sesama berandalannya. Aldo termasuk ganteng, dia memiliki tinggi sekitar seratus enam puluh tujuh centimeter, postur tubuh yang bagus, kulit hitam manis, hidung mancung, dan mata gelap yang tajam. Dia mempunyai wajah yang enak dipandang. Namun sayangnya desas-desus tentang Aldo yang beredar selama ini sangat buruk. Reputasinya jelek. Seperti yang dikatakan Andi tadi, semua orang mengenalnya sebagai seorang pembuat onar yang suka mabuk-mabukan. Tapi ... Entah kenapa perasaan Jehan mengisyaratkan bahwa Aldo adalah laki-laki yang baik.
Mendengar kakaknya berhenti bicara, Andi mendongak dan dia mencibir saat melihat Jehan sibuk memandangi Aldo. Dia tahu kakaknya naksir berat pada cowok yang dikenal sebagai berandalan kampung itu, dan tentu saja Andi tidak menyetujuinya.
"Sudah kubilang jangan coba-coba memikirkan Aldo. Aku tahu kakak naksir sama dia."
Jehan tersentak mendengar teguran Andi. Wajahnya memanas karena malu. "Andi!" Protesnya sambil memelototi Andi.
"Papa nggak akan senang lho kalau dapat calon menantu seperti itu."
"Kamu ..." Geram Jehan sebal sembari menggetok kepala Andi menggunakan bogemnya, lalu bangun, menghentakan kaki kesal, kemudian masuk ke dalam rumah.
"Dasar!" Andi meringis mengusap kepalanya yang digetok Jehan. Walaupun umurnya tiga tahun lebih muda dari Jehan, tapi dia selalu bisa berpikir jernih, dan memberikan beberapa nasihat berguna untuk kakak perempuan satu-satunya yang kekanakan itu.
Merasa ada seseorang yang memperhatikan, Andi mengangkat kepalanya, dan tatapannya bersirobok dengan mata gelap Aldo yang berdiri di seberang jalanan besar bersama teman-temannya. Andi melengkungkan alis. Apa dari tadi Aldo memperhatikan pertengkarannya dengan Jehan?
***
Pulang kuliah adalah saat-saat yang paling menyebalkan bagi Jehan. Dia harus berdiri tegak di depan gerbang kampus untuk menunggu kendaraan yang lewat, seperti angkot atau ojek. Tapi sayang sepertinya hari ini kendaraan yang liwat di depan kampusnya sepi.
Jam telah menunjukan pukul tiga sore, Jehan sudah mencoba menelpon Andi untuk menjemputnya, tapi Andi bilang dia sedang sibuk berada di rumah sang calon mertua. Hal itu membuat Jehan kesal. Dia menggerutu panjang pendek tentang belajar mengendarai motor, dan dia juga mengatakan akan menusuk ban motor Andi menggunakan pisau dapur setelah sampai rumah nanti. Sepertinya akan terjadi pertengkaran saudara yang seru.
Jehan terus menggerutu sendiri, mengabaikan tatapan aneh beberapa mahasiswa yang keluar masuk di kampusnya. Dan dia juga tidak menyadari ketika sebuah motor sport berwarna hitam berhenti tepat di depannya.
"Aku nggak tahu kalau kamu cerewet banget."
Jehan mendongak dan matanya melebar saat melihat bahwa orang yang menegurnya adalah Aldo. Dia masih duduk di atas motor tampak rapi dengan celana jins biru, kemeja putih, jaket hitam, dan tas yang tersampir di punggung. Aldo juga mengenakan helm yang berwarna senada dengan motornya. Kelihatannya dia juga baru pulang kuliah. Aldo dan Jehan kuliah di kampus yang berbeda. Jehan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan, sementara Aldo kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum.
"A-Aldo?" Jehan akhirnya mendapatkan suaranya kembali.
"Ya."
"Ng. Ngapain kamu di sini?" tanya Jehan salah tingkah.
Aldo tertawa. "Tadi aku sedang dalam perjalanan pulang, trus aku ngeliat kamu yang lagi ngomel nggak jelas kayak bebek jadi aku berhenti, buat mastiin teman sekelas aku waktu SMA masih waras atau udah gila."
Jehan mendelik mendengar ejekan Aldo. Aldo kembali tertawa.
"Nunggu jemputan orang rumah, apa nunggu kendaraan umum?" tanya Aldo lagi.
"Tadinya sih nunggu dua-duanya. Tapi karena jemputan nggak bakal datang," Jehan mengernyit memikirkan bagaimana cara untuk membalas Andi. "Jadilah aku cuma nunggu kendaraan umum buat pulang."
"Oh. Mau pulang bareng?"
"Apa?" Jehan terkejut mendengar tawaran Aldo.
"Mau pulang bareng?" ulang Aldo sembari menyerahkan sebuah helm berwarna putih khusus cewek pada Jehan. Helm itu sejak tadi dia simpan di bagian depan motornya.
"T-tapi ..."
Aldo memiringkan kepala, menatap Jehan tepat pada matanya. "Aku nggak nerima alasan apapun, aku cuma butuh jawaban ; iya? Atau tidak?"
Jehan tediam sejenak untuk berpikir. Jika dia menolak untuk pulang dengan Aldo maka dia harus menunggu kendaraan umum lebih lama lagi, dan bisa-bisa dia pulang menjelang maghrib. Tapi kalau dia menerima tawaran Aldo ... Jehan bergidik membayangkan omelan yang akan dia terima dari Andi dan Papanya. Sejak dulu Papa Jehan yang seorang pensiunan Polisi tidak suka pada Aldo dan teman-temannya.
Baru saja dia berpikir untuk menjawab tidak, tapi mulutnya malah mengatakan "Iya," pada Aldo.
"Kalau begitu ini." Aldo mengacung-ngacungkan helm pada Jehan.
Sial! Jehan mendesah, lalu menerima helm dari Aldo. "Terimakasih" ucapnya kemudian naik ke atas motor dengan dibantu Aldo.
"Motor yang bagus," kata Jehan skeptis saat melihat posisi sadel tempat duduk penumpang yang condong ke arah pengemudi.
"Terimakasih," cengir Aldo.
Jehan pikir pinggangnya akan sakit kalau dia tetap duduk tegak untuk menahan tubuhnya agar tidak condong ke arah Aldo dan bahkan memeluknya.
"Pegangan yang erat."
"Apa?" Jehan melongo, bengong. Pegangan pada Apa? Pikirnya bingung sambil mencari pegangan di motor Aldo. Besi kecil mengkilap yang melengkung pada bagian belakang motor? Tidak mungkin! Pinggang Aldo? Memikirkan hal itu membuat wajah Jehan memerah karena malu.
Melihat kelakuan Jehan melalui bahunya membuat Aldo terkekeh. Dan tanpa peringatan dia mulai menghidupkan dan menjalan motornya dengan kecepatan menengah.
"Aldoooo!" Jehan menjerit ngeri. Refleks dia melingkarkan kedua lengannya di pinggang Aldo.
Aldo hanya tertawa tanpa berniat memelankan laju motornya.
Dalam perjalanan pulang, Jehan merasa seperti seorang penderita penyakit jantung. Tubuhnya menempel erat pada punggung Aldo, harum tubuh Aldo menyeruak masuk ke dalam indera penciumannya hingga Jehan merasa pusing. Kedekatannya dengan Aldo membuat jantungnya berdegup kencang. Jehan berharap Aldo tidak mendengar bunyi detak jantungnya yang menggila.
Wahai jantungku, tenanglah. Pikir Jehan—yang entah kenapa merasa bahagia—sambil memejamkan matanya.
"Sudah sampai."
"Apa?" Jehan mengerjap bingung mendengar suara Aldo.
"Kita sudah sampai Je." Aldo menjelaskan dengan sabar sambil menoleh melihat Jehan dari balik bahu kanannya.
"A-aa." Jehan kelimpungan, dia menatap sekelilingnya bingung, dan dia kemudian menyadari kalau mereka sudah sampai di depan Rumahnya. "U-udah nyampe ya?" tanyanya kelabakan sembari berusaha turun dari motor sport yang ukurannya lumayan tinggi untuk tubuhnya yang mungil itu.
Aldo tersenyum geli melihat Jehan yang berdiri salah tingkah di samping motornya, gadis itu terlihat berusaha melepaskan helm dari kepalanya.
"Kamu ketiduran ya tadi?"
Jehan tersentak. Dia makin salah tingkah karena malu. Jadi tadi Aldo tahu kalau Jehan memejamkan mata sambil membaringkan kepalanya di punggung Aldo? s****n! Maki Jehan dalam hati.
"Iya. Kecapaian gara-gara kuisnya terlalu sulit," dia memberikan alasan yang lumayan tidak masuk akal.
"Owh." Aldo mengangguk, menerima helm yang disodorkan Jehan.
"Terimakasih ya Al."
"Sama-sama." Aldo mengangguk lalu melajukan motornya pergi.
Jehan terus mengamati Aldo sampai motor cowok itu menghilang di sebuah tikungan g**g yang letaknya tak jauh dari rumah Jehan. Setelah Aldo menghilang, gadis itu kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Dia lega karena Papanya tidak melihat kalau dia diantar pulang oleh Aldo.
Sementara itu, Andi yang baru saja pulang dari rumah pacarnya, mengintip melalui tirai jendela ruang tamu. Dia tertegun melihat keakraban kakaknya dengan Aldo. Firasatnya mendadak buruk.