Tiga puluh menit setelah salat Isya, Khumaira tetap merasakan adanya perbedaan di meja makan mereka malam ini. Satu orang yang biasanya duduk di kepala meja belum juga bergabung dengan mereka. “Tak biasanya Abati terlambat sekali makan malam. Beliau sakit?” “Beliau kedatangan tamu,” jawab Khairan. “Mengapa wajahmu masam begitu?” “Wajahku tampan.” Khumaira tersenyum lebar karena punya hal lain untuk dinikmati. “Kau membaca kisah dengan akhir tragis?” “Jangan menggangguku, Khumaira. Aku mau makan bukan bertengkar.” “Rupanya Pak tua cerewet sedang buruk suasana hatinya,” komentar Khumaira riang. “Saleha, makanlah,” tegur Ifa lembut. Itu kalimat pertama ibunya sepanjang malam ini. “Siapa tamu Abati?” tanya Khumaira lagi, sekedar basa-basi mengusir sepi dan bosannya berada di meja

