Banyak yang mengatakan Khumaira ambisius. Khalid yakin maksudnya adalah keinginan Khumaira akan takhta. Itu hak Khumaira, jadi itu masih wajar juga untuk diraih gadis itu. Pun gadis itu punya potensi memimpin seperti halnya pria. Apa pun itu, Khalid rasa ia tak apa-apa dengan semua yang ada pada gadis itu. Itu Khumaira, selengkapnya dia dengan semua titel buruk yang orang-orang tempelkan padanya, dia tetap sempurna di mata Khalid.
Bagas dulu juga begitu. Menikahi janda anak satu yang hidupnya terlunta dan terlantar disia-siakan mantan suami. Ditentang keluarga, tapi hati punya ketenangan sendiri akan pilihannya. Bagas tak perlu diberitahu apa itu cinta. Yang perlu ia lakukan hanyalah mengutamakan kebahagiaan Khalid di masa depan. Sekalipun itu menentang wasiat istrinya tercinta, Khalid benar juga, Nasila itu sudah meninggal dunia. “Kapan kau ingin mengunjungi Bintang?”
Setelah menunggu detik-detik menegangkan itu, angin segar Khalid rasakan. “Abi akan mendampingiku?”
Bagas mengangguk pelan. “Aku harus ada di setiap jejak besar hidupmu. Kau putraku.”
Khalid tersenyum lebar. Haru dan bahagia ia memeluk tubuh Bagas Wandawarma. “Terima kasih, Abi.”
“Aku akan menghubungi Bintang. Kita mungkin saja berangkat setelah Isya dan makan malam bersama mereka.”
Rona bahagia Khalid tak bisa ditutupinya. Ia ingin segera kembali bertemu Khumaira. Mudah sekali menemukan cinta, sejak bertemu Khumaira.
***
Khumaira sedang berada di ruangannya sendiri. Membaca Al-Qur’an dengan volume suara yang biasa ia gunakan di rumah. Tak sangat kencang mengganggu, cukup membuat khusyuk telinganya kepada ayat-ayat itu. Sayangnya, ada sosok Khalid yang bergentayangan melamarnya. Khumaira takut dia akan datang dan memenangkan perhatian Bintang Abimayu. Khumaira tak nyaman sendiri. Padahal pernikahan adalah syarat mutlak yang disetujui para anggota keluarga Abinaya untuk Khumaira menduduki takhtanya. Namun, Khumaira belum mengatakan apa pun kepada ayahnya itu tentang lamaran Khalid.
Khumaira berniat pulang, menunggu lift terbuka. Namun, berbalik lagi Khumaira, takut ada Khalid di dalamnya. Ia menuruni puluhan anak tangga, padahal ia tahu jika Khalid itu bukan salah satu pegawai di perusahaan Abinaya. Khumaira lalu menaiki mobil dan kembali ke rumah.
Khumaira menemukan Latifa Bakrie sedang bersama Khairan, menggelar tikar di bawah pohon rindang berbunga halaman depan Kastil Abinaya. Mereka berdua sama-sama memangku sebuah buku dan asyik dengan bacaan masing-masing. Khumaira tak akan terkejut jika nanti ia akan mendapati iparnya berkacamata minus tebal. Mungkin juga wanita itu tak akan secantik gadis kebanyakan.
Khumaira mendekati mereka lalu berbaring di antara keduanya. Membuka cadar, Khumaira lalu berkata, “Ummi melihat Khalid Wandawarma malam itu?”
“Ya.”
Intinya, Khumaira tak mengingat Khalid, atau apa-apa yang terjadi di antara mereka, tetapi ... pria itu terus membahas pernikahan tiap mereka bertemu. Lagi pula dia masuk kategori pria sempurna dan Khumaira perlu punya alasan jika ingin menolaknya juga. “Bisakah dia jadi suami Khumaira?”
Khairan melepas bukunya, mimiknya tak suka, “Bisa kau tidak menggangguku?”
“Kau juga bertemu dia. Katakan pendapatmu,” ujar Khumaira kepada adiknya.
“Aku rasa dia ... mengerikan,” ujar Ifa akhirnya.
“Maksud Ummi, dia tidak tepat untukku?”
“Semua orang tepat untukmu,” jawab Ifa tenang, kembali ke bukunya.
Khairan menarik napas, “Maksud Ummi adalah kau bisa saja menghadapi kehidupan sulit bersamanya. Kau tahu, pria pemimpin, apalagi dalam rumah tangga. Kau memilih pria keras ... berpendirian kuat yang akan sulit sekali untuk ditentang keinginannya. Ummi pikir kau tidak bisa jadi dirimu sendiri jika menikah dengannya.”
Khumaira tak sangat heran dengan koneksi batin ibu dan adiknya. Sepertinya valid jika para penyendiri itu saling memahami. Khumaira yakin apa yang dikatakan Khairan selaras pemikiran Latifa Bakrie, karena ibu mereka melebarkan senyuman atas penjelasan Khairan.
Ifa mengusap rambut putranya dengan penuh kasih, “Kau memahamiku lebih daripada Abati.”
Khairan tampak senang sekali dengan perlakuan ibu mereka, padahal jika orang lain yang melakukan itu dia bisa murka dengan tatapan tajam yang membuat merinding korbannya. “Kami kenal kau, Khumaira. Sejujurnya Rahman itu salah satu pilihan terbaik, tetapi dia didiskualifikasi karena sudah menikah.”
“Setiap pernikahan ada ceritanya masing-masing. Kau tidak akan selalu mengalami masa sulit,” Ifa menambahkan. “Kuharap kau sedikit saja mengalaminya.”
“Kau pikir menikahinya akan membuatmu menduduki takhta?” tanya Khairan.
Khumaira mengangguk, “Rasanya dia cocok disebut pria sempurna.”
“Aku lebih suka kau menikah dengan pria biasa yang lebih cocok untukmu, Saleha,” Ifa berpendapat.
Khumaira menanggapi masam saran ibunya, “Baiklah, Khumaira serahkan pada Ummi untuk menemukannya.”
Latifa Bakrie terkesiap, lalu pelan-pelan menutup wajahnya dengan buku. Khumaira tahu, ibunya bukan wanita yang mudah berdekatan dengan pria, kecuali Bintang Abimayu. Latifa Bakrie akan kikuk atau seringnya kaku jika di dekat pria selain suaminya.
“Menurutku Khalid benar-benar bisa mendampingi Khumaira, Ummi. Saat kami bicara, dia tidak memperpanjang percakapan setelah tahu aku adik Khumaira,” ujar Khairan lagi.
Tak bisa Khumaira tak tertarik akan kalimat rancu adiknya. Khumaira duduk, di tengah-tengah tikar, di antara adik dan ibu mereka. Bagaimana bisa seorang pria dikatakan cocok sebagai suami jika dia tidak mau memperpanjang pembicaraan tentang gadis yang akan jadi istrinya?
Khumaira menelengkan kepalanya. “Bukannya itu berarti dia tidak tertarik kepadaku?”
“Otak pria sering mengetahui isi hatinya. Logikanya tak ingin tertarik, tapi hatinya sudah mencermatimu. Dia takut mendengar tentangmu karena ... artinya dia akan mencintaimu, Khumaira.”
Khumaira menggeleng tak percaya. Rincian yang Khairan katakan menakjubkan. Begitulah kira-kira apa yang bisa dijelaskan atas sikap Khalid. Khalid dilarang tertarik padanya, tetapi pria itu malah tak sengaja melakukan sebaliknya. “Ya Tuhan, Khairan! Kau siapa sebenarnya?!”
“Aku pewaris Abinaya,” balas adiknya tenang, berwibawa.
Khumaira menghela napas. Kalimat Khairan benar untuk diakui, tetapi menyebalkan sekali. Orang-orang terkesima dan tunduk pada Khairan sama seperti tunduknya mereka pada Bintang Abimayu. Saingan Khumaira sebagai pewaris terlalu berat, sekaligus menggemaskan.
“Apa pria itu mengatakan sesuatu?” tanya Ifa menurunkan buku hingga hidungnya.
“Dia akan melamar dan meminta Khumaira menerima.”
“Kuharap lamarannya romantis,” timpal Khairan menerawang.
Sama sekali tidak romantis. Sebaris kalimat saja. Menurut Khumaira pribadi, Khalid seperti memaksanya, tak berkesan dia ragu Khumaira mungkin menolak. Seperti yang Khaira nilai juga, tampaknya Khalid Wandawarma memang pria yang sulit Khumaira tentang.
“Aku tahu kau tidak suka dinasihati, tapi kuharap kau menikah karena jatuh cinta bukan karena takhta. Kau belum tentu bahagia dengan takhta itu, tetapi kau harus bahagia dengan pernikahanmu. Setelah kau menikah, kau tidak bisa melepasnya semudah melepas takhta, Khumaira.”
Khumaira menelan ludah. Ucapan adiknya benar-benar lebih dari nasihat sesepuh ratusan abad. Tak heran jika orang-orang mau memikirkan ulang kalimatnya.
“Kau biasanya berpikiran panjang, Saleha,” tambah Ifa lembut. “Kau tidak akan kehilangan milikmu, takhta maupun cinta. Kau tidak perlu buru-buru.”
Khumaira pusing, ia lebih baik minta pendapat ayahnya daripada dua manusia penyendiri yang sulit sekali Khumaira paham perkataan dan maksud mereka. Ibu dan adiknya sama sekali bukan manusia-manusia penyuka tantangan atau berambisi besar untuk sebuah pencapaian. Mereka lebih suka hal yang selaras, serasi, damai dan tak banyak pergolakan. Lagi pula masa kecil Khumaira memang tak sangat indah bersama ibunya. Ifa, begitu ayahnya memanggil ibunya. Ifa sering menulis, sibuknya selalu menulis. Ifa sering menyendiri dan selalu beraura melankolis. Sejak lahirnya Khairan, semuanya berbeda. Pun adik Khumaira yang berusia sepuluh tahun itu mewarisi sikap pendiam dan tertutup ibu mereka.
“Kau bukan pendiam, Khumaira. Malah kau bisa sekali memberontak dan balas dendam kepada siapa saja yang melukaimu, tapi saranku, kau perlu belajar memaafkan. Pada akhirnya, apa yang tepat untukmu akan datang. Bahagia milik mereka yang sabar, Khumaira.”
Kedekatan ibu dan adiknya serasa mengasingkan Khumaira. Ia punya memori tak menyenangkan, yang sering mendatanginya sebagai mimpi buruk. Di mana ia dikurung dalam kamar mandi gelap oleh ibunya. Ada banyak tangan hitam yang memeluk Khumaira. Khumaira tak yakin itu mimpi buruk atau pernah terjadi, rasanya tak mungkin hal mengerikan itu sungguh terjadi padanya, apalagi dilakukan oleh Latifa Bakrie. Ibu mereka itu pemaaf, anggun, dan bersahaja. Jangankan untuk menindas orang, Latifa Bakrie itu berkata saja dia hati-hati agar tidak melukai. Pihak kalah yang sering jadi korban, bukan penindas. Syukurnya, dia memenangkan Bintang Abimayu dari tangan Hanifa Haris, sehingga Khumaira dan Khairan Abinaya terlahir ke dunia darinya.