Bukan Sembarang Nama

1379 Words
Awalnya Khumaira pikir ia adalah gadis yang buruk karena tak sengaja menangkap pembicaraan dua pria itu, tetapi saat ada namanya muncul, Khumaira jadi tersulut. Apalagi ada nama Bintang Abimayu yang ikut direndahkan bersama Latifa Bakrie. Kekesalan Khumaira tak bisa dihindari. Makin ia diam, telinganya makin jelas mendengar percakapan merendahkan mereka tentang keluarganya. Khumaira menghampiri dua pria itu dengan gerakan anggunnya yang terlatih dari Latifa Bakrie, sang ibunda. Kemudian, saat empat pasang mata pria itu menatapnya heran, Khumaira menampar keduanya. Satu dengan tangan kanan, satunya dengan tangan kiri yang berhasil dihindari. "Apa yang kau lakukan, Ninja?!" Tanya pria yang berhasil menghindar itu. Dia sedikit bersembunyi pada pria yang berhasil Khumaira beri pelajaran berharga. "Kalian harusnya berbicara yang baik! Bukan tentang pakaiannya, tetapi pemakainya." "Wanita juga biasanya begitu! Yang salah satu pria, semua pria disamaratakan," sahutnya berani. "Itu hak istimewa wanita!" Khumaira menatap keduanya dengan mata marah menyala kemudian pergi meninggalkan mereka. Sementara itu Khalid tertegun merasakan betapa kuatnya tamparan itu terasa perih di pipinya. Setelah kepergian gadis bercadar itu Khalid baru mengusap pipinya. "Kau bisa menebak betapa gilanya dia, bukan?" Keluh Arthur berbalik melihat kepergian sepupunya. "Dia bisa menggunakan kedua tangannya," komentar Khalid takjub. "Yah, bisa dipahami. Kau tahu, dia bisa melakukan apa pun yang laki-laki bisa lakukan! Meskipun begitu, dia tetap ditolak sebagai pewaris Abinaya. Syukurlah! Entah jadi apa perusahaan permata ini kalau dia yang jadi pemimpinnya." Khalid tak bisa berkomentar. Satu dari kesan pertama yang ia miliki terhadap gadis itu bahwa dia pemberani, tangguh dan matanya benar-benar indah sekali. *** Setelah kesalnya terlampiaskan, Khumaira turun membeli minuman untuk menyegarkan kepalanya yang serasa dididihkan. Hidupnya sudah sempurna, tetapi ada saja penghalang yang membuatnya tersendat dari bahagia. Khumaira yakin ia perlu menemui ayahnya demi menenangkan diri. Jika dibiarkan begini, sakitnya akan kambuh lagi dan orang-orang makin mundur menjadikannya pewaris takhta Abinaya. Khumaira mengunjungi ruangan ayahnya dengan dua gelas minuman berisi cairan cokelat pekat dan cokelat kemerahan. "Abati...!" Panggilnya saat melihat pria itu keluar dari ruangan. "Ya, Saleha?" Khumaira mendekat dengan senyum yang langsung saja mengembang di balik kain cadarnya. "Mengapa kau di sini?" tanya Bintang heran. Khumaira menyerahkan es teh kepada Bintang. "Karena sudah saatnya Khumaira bekerja." Bintang menerima lalu menatap putrinya, "Abati lebih suka kau menikah dulu." Khumaira tak merengut, hanya diam. Kondisi hatinya benar-benar tengah berantakan. Jika Bintang Abimayu saja gagal mengembalikan kondisi baik hatinya, maka tak ada lagi yang bisa melakukannya di dunia ini. "Hei, Abati asal bicara saja," tambah Bintang mengusap pucuk kepala putrinya dengan senyuman lebar. Khumaira punya urusan. Ia harus menyampaikan apa yang kemarin diminta seorang kepadanya. "Abati akan ke mana?" "Oh, tunggu sebentar. Abati tadinya ingin mengambil dokumen." "Khumaira tunggu di dalam saja," putusnya hendak menerobos masuk ruangan kerja sang ayah. Bintang menghalau pintu lebih dulu. "Tunggu!" Khumaira menelengkan kepala, "Abati sedang punya tamu?" "Ya, dan dia pria muda yang sangat menawan," jawab Bintang menampilkan senyuman lepas yang bisa Khumaira artikan sesuatu. "Tolonglah, Abati. Khumaira pikir Abati akan membuat rumor kalau Khumaira tak diinginkan itu menjadi kenyataan." "Siapa bilang kau tidak diinginkan? Kau hanya belum menemukan seseorang yang bisa menaklukkanmu, Saleha. Itu saja." "Abati pikir Khumaira juga binatang buas, ya?" tanyanya berpura merajuk. "Kau bintangnya Bintang Abimayu," balas Bintang menjauhi putrinya. Kali ini Khumaira bersedekap selagi menunggu Bintang Abimayu kembali lagi. Ia menatapi punggung ayahnya yang menuju meja sekretaris, juga memperhatikannya. Sangat jelas betapa gagahnya pria itu terlihat. Sejujurnya, jika datang seorang pria sejelas Bintang Abimayu, mana bisa Khumaira menolaknya. Satu hal lagi, Khumaira punya seseorang, Rahman. Namun, pria itu menikah kemarin. Tepatnya memang kemarin, setahun yang lalu. Tepatnya lagi kemarin, istri Rahman menemui Khumaira dan meminta menjadi madunya. Ia akui, tak salah juga jika Arthur, sepupunya itu mengatai Khumaira kegagalan Abinaya. Ia memang gagal. Gagal semua segala sisi hidup Khumaira. Cintanya kandas. Warisannya terlepas. Syukurlah ayah dan ibunya memberikan keluarga panutan sempurna yang harmonis dan bahagia. Sehingga sebesar apa pun badai di luar sana, Khumaira bisa kembali ke keluarganya dan berlindung dengan aman serta nyaman di sisi mereka. "Kau ingin masuk, Saleha?" Khumaira menimbang kecanggungan yang mungkin harus ia alami sesaat, tapi efek baiknya, setelah tamu itu pergi ia bisa berbicara leluasa dengan ayahnya tentang lamaran dari istri pertama Rahman. "Khumaira akan menunggu di kamar Abati," jawabnya memaksudkan satu ruangan pribadi, bagian dari kantor ayahnya. "Dia pria yang masih lajang. Kalau Abati kenalkan dengan dia, kau bersedia?" "Abati...!" Keluh Khumaira lelah. "Abati memintamu berkenalan, bukan menikah. Kau jadi rendah diri akhir-akhir ini. Harusnya kau belajar dari Ummi." Bintang tersenyum mengusapkan dokumen ke kepala putrinya, "Bisa tolong bukakan pintunya, Saleha? Minuman ini membuat tanganku sibuk." Khumaira membuka pintu lalu mempersilakan ayahnya masuk dengan gaya ala pelayan rumah mereka, "Silakan, Tuan Bintang Abimayu!" Suara tawa Bintang membuat tamu dalam ruangannya jadi memperhatikan mereka. Sedetik kemudian Khumaira menjadi beku di tempat. "Jangan katakan kalau kalian sudah bertemu?" tanya Bintang siaga karena dua insan di sekitarnya tampak tak asing satu sama lainnya. Khalid bangkit dari duduknya. Secara sopan ia hanya menganggukkan kepala, tersenyum kepada Bintang. "Reaksimu berbeda dari biasanya, Saleha," komentar Bintang kepada putrinya. "Khumaira tunggu di dalam." Tak menanti aba-aba Khumaira melesat masuk tanpa sedikit pun memandang atau berbalik pada tamu ayahnya lagi. Sementara itu Khalid berusaha menatap pada mata Bintang Abimayu yang menelisik dirinya. Jelas sekali jika pria itu akan menganggap Khalid tidak sopan jika membuntuti pandangan pada putrinya. Pria terhormat, secara fisik menawan, secara kedudukan luar biasa serta secara etika sopan santun sempurna. Mungkin cobaan hidupnya memang hanya terletak pada putrinya saja. "Tugas ayahmu sudah selesai?" "Ya. Rencananya Abi akan kembali sore ini." "Kalau begitu datanglah malam ini ke kediaman Bakrie. Sofie, keponakan istriku akan menikah malam ini. Pestanya diadakan di rumah Nenek mereka." "Terima kasih undangannya," Khalid menerima kertas khas yang indah itu beserta dokumen yang diberikan Bintang. "Kau punya kekasih?" Khalid jadi memikirkan perkataan Arthur tentang Bintang Abimayu yang mengenaskan, tetapi ia hanya menampilkan senyuman kepada teman ayahnya itu. "Sepertinya Anda akan sibuk dengan tamu di ruangan Anda. Saya permisi." Bintang mengangguk. "Aku sering mengusir pria muda dengan bertanya seperti itu. Sebagian mereka cepat-cepat pamit." "Sebagiannya lagi?" "Mereka akan duduk dan mengatakan bahwa mereka tidak punya kekasih, lalu bertanya tentang putriku." Khalid tetap berdiri. Pesan ayahnya tak boleh diabaikan. "Saya tetap akan pamit. Sayang sekali Anda mendahului bertanya tentang hal itu." Bintang tersenyum. "Kau harus memaksa ayahmu untuk datang malam ini. Dia adalah bukti pertemuan pertama antara aku dan istriku. Jangan sampai dia mengatakan kalau kau cocok dengan putriku. Bisa jadi kau benar-benar akan menjadi menantuku." Khalid menggeleng sambil tersenyum ramah. Justru sebaliknya, Bagas Wandawarma mewanti-wanti agar Khalid sama sekali tidak bersinggungan dengan putri sahabatnya ini. "Saya tak asing dengan kisah Abi tentang Anda, Tuan." "Dia salah satu sahabat terbaikku." Khalid mengulurkan tangan, segera dijabat Bintang Abimayu. "Anda juga sahabat terbaik beliau." Setelah tamunya pamit, Bintang menikmati sesaat teh yang dibawa Khumaira lalu mengetuk pintu kamar pribadi di ruangannya. Ia menunggu sampai putrinya mempersilakan masuk. "Masuklah Abati." Bintang membuka pintu, "Bagaimana tamuku?" Khumaira tak peduli pria itu. Urusannya adalah lamaran kemarin. "Tamu Abati sudah pergi?" "Tentu saja sudah." Bintang menyandarkan punggung di kusen pintu. "Saat hari kelahiran Khairan, kau mengatakan padaku untuk menemukan Khalid." Khumaira bangkit dari duduk. "Abati, itu hanya candaan." "Itu kenyataan, Abati tahu kau menolak beberapa pria yang cukup baik karena namanya bukan Khalid." Khumaira mencebik lalu melipat tangan di depan d**a. "Berapa pria yang sudah kau tolak?" Khumaira tak menghitung, tapi Latifa Bakrie mengatakan setidaknya sudah lima belas. "Ummi bilang lima belas. Dan, tiga Khalid lainnya. Abati sampai disebut-sebut membayar pria bernama Khalid agar mau menikahimu. Gosip, murahan sekali." Menemukan ekspresi jengah Bintang, Khumaira jadi tak enak hati. "Maaf, Abati." "Kau berbeda dengan Ummi. Kau tidak sepolos Latifa Bakrie, Saleha." Khumaira tak menyangkal. Latifa Bakrie bukan pewaris, dia penyendiri dan demi Tuhan, kadang Khumaira bingung sendiri bagaimana bisa ayah dan ibunya masih saling mencintai meski keduanya berbeda bagai langit dan bumi. "Khumaira sedang kesal karena kemarin ditolak lagi!" Bintang rasa ingin mengingatkan Khumaira tentang penolakannya terhadap lamaran para pria itu mirip dengan perasaannya ditolak meneruskan takhta, sama-sama membuat kesal dan merendahkan. "Bagaimana kalau memikirkan matang-matang pernikahan?" "Abati!" Sekali ini nada rengek putrinya Bintang diamkan. Ia menelisik putrinya yang dalam pembicaraan ini melepas kain penutup wajah. Dengan terbuka seperti itu, Bintang bisa menangkap apa saja yang disembunyikan Khumaira. "Ada yang ingin kau bicarakan dengan Abati, Saleha?” Khumaira menegakkan tubuhnya. "Abati, bolehkah Khumaira menikah, tetapi menjadi istri kedua?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD