Pengkhianatan

1185 Words
Bintang panas di telinga. Jika Latifa Bakrie berhasil ditemukan pria karena Nyonya Naraya yang menghubungi para pelamarnya, lain hal dengan Khumaira, mereka datang sendiri tanpa diminta ataupun diundang siapa-siapa. Orang-orang tahu keberadaannya, bukan seperti Latifa Bakrie dulu yang tersembunyi. Sebagai pewaris kontroversi, Khumaira membuat para pria penasaran. Ingatan Bintang masih segar tentang seorang tamu yang menjumpai kemarin sore sebelum ia pulang. Rahman Kalukalima. Belasan tahun yang lalu seorang anak laki-laki mengirimkan surat kepada Khumaira, saat usianya sembilan tahun. Bintang kira pria kecil itu tak akan berbekas kecuali hanya pada masa lalu putrinya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. "Kau akan membuat Abati serangan jantung kalau begitu, Saleha," ujar Bintang bernada canda menanggapi tanya putrinya tentang menjadi istri kedua. "Khumaira serius, Abati,” tuturnya yakin. Ini kesempatan untuknya menebus kesalahan lalu. Bintang memasukkan satu tangan ke saku celananya. "Dia alasanmu menolak mereka?" Khumaira tak menjawab. Namun, ia yakin sekali Bintang Abimayu tahu apa yang sebenarnya Khumaira rasakan. Mereka berdua sama-sama memiliki darah pewaris takhta Abinaya. Semua pendahulu mereka adalah orang-orang hebat dan setia. Lambang perusahaan mereka pun burung merpati, maskot kesetiaan, satu cinta. Dulu Khumaira dekat sekali dengan neneknya, setiap malam menemani beliau tidur dan salat malam, mendengar kisahnya tentang siapa itu Tuan Abimayu dan cinta mereka yang murni. Khumaira ingin memiliki kisah menawan itu, yang dialami dirinya sendiri bukan sekedar kisah para leluhurnya saja. "Masih tentang dia?" Khumaira masih diam. Menunduk pada tautan jemarinya yang gelisah oleh interogasi sang ayah. Bintang menghela napas. Pikirnya pernikahan Rahman setahun lalu yang mereka hadiri bersama sudah keputusan takdir bahwa kisah mereka hanya akan ditinggalkan pada masa lampau. Nyatanya, putrinya yang amat berharga malah menginginkan pria itu, bahkan jika hanya menjadi istri kedua. "Abati, jika Abati mengizinkan, Khumaira rela melepas takhta ---" Khumaira memotong kalimatnya karena khawatir reaksi sang ayah. Bintang mengusap tangan ke wajahnya. Perasaannya sungguh hancur berantakan. Bintang ingin Khumaira bahagia, tapi bukan dengan merusak kebahagiaan orang lain. Putrinya lebih baik daripada itu. Tak kurang apa pun Khumaira untuk pantas mendapatkan cinta utuh yang lebih indah daripada berbagi dengan wanita lainnya. "Abati," panggil Khumaira lagi. "Istrinya langsung yang meminta Khumaira." "Apa alasannya?" tanya Bintang tetap tenang. "Karena suaminya mencintai Khumaira." Dan Khumaira juga mencintainya, tambahnya dalam hati. Bintang sungguh ingin mengumpat, padahal seumur hidup ia belum pernah melakukannya. Ditinggal Hanifa, dipaksa menikahi Latifa. Bintang sanggup mengatasi semuanya, tapi ini tentang putrinya yang berharga, yang satu-satunya Bintang punya. "Kau sudah memberitahu Ummi?" Khumaira menggeleng pelan. Ia malu bercerita tentang hal ini kepada Latifa Bakrie. Rasanya Khumaira belum pernah melihat sosok ibunya marah, dan ia takut sekali jika harus melihatnya langsung. Namun, Bintang Abimayu adalah ayahnya, cinta pertama yang Khumaira punya. Tak pernah ada jarak antara hatinya dengan pria itu, dan selalu pula Khumaira aman dari amarahnya. "Saleha, tidak haram menjadi istri kedua, tapi Abati tidak akan pernah mengizinkan kau untuk mengalami kehidupan semacam itu!” tegas Bintang sungguh-sungguh. Nada tenang yang beliau ucapkan membuat Khumaira makin dalam menunduk kepalanya. Ia sudah memikirkan kemungkinan itu, hanya saja, sungguh, Rahman itu cinta lain satu-satunya yang ia pernah miliki. Pewaris Abinaya selalu hanya mencintai sekali dan meletakkan hati pada satu orang, selamanya. Bintang ingat kasusnya dulu dengan Hanifa, kini ia tahu mengapa Tuan Abimayu lebih memilih dibenci oleh Bintang daripada menikahkan mereka. Tidak ada alasan lain selain cinta, cinta ayah kepada anaknya yang berharga. Bintang bukan saja memikirkan bagaimana Khumaira setelah menjadi istri kedua, tetapi garis keturunan mereka, dan semua tudingan orang yang harus Khumaira terima. "Tidak. Kau lebih baik tidak menikah sama sekali daripada menjadi istri kedua." "Tapi, Abati ...!" Bintang terusik oleh nada tinggi dan bantah putrinya sekali ini. Putrinya membangkang hanya demi seorang pria tak tahu malu begitu?! Bintang tak ingin menunjukkan murka menyala di dalam dadanya pada Khumaira. Ia menarik napas sesaat. "Saleha, Rahman datang, bukan cinta alasan utamanya." "Lalu?" Ketidaksabaran Khumaira menandakan bahwa apa yang akan Bintang ucapkan pasti melukainya. Namun, bagaimana lagi, lebih baik terluka saja daripada terluka dan terhina juga. "Istrinya mandul." Kaki Khumaira bergeser dari pijakannya. Entah mengapa ia jadi oleng oleh ucapan tenang yang ayahnya katakan. Bukan sedang diagungkan, Rahman seperti membuatnya jatuh, ditimpa tangga lalu diinjak pula. Lima belas tahun mengenal Rahman Kalukalima, begitu cinta sejati yang ia perjuangkan? Bintang mendekati putrinya lalu memeluknya. "Dia bukan cinta sejatimu, Saleha. Cinta tidak memanfaatkan, malah cinta itu mengorbankan." Dalam peluk hangat dan menenangkan itu Khumaira menumpahkan air matanya. Pada usia dua puluh tahun Khumaira, tepatnya empat tahun yang lalu, Rahman datang melamarnya. Saat itu Khumaira menolak, meminta Rahman menunggu sampai ia berhasil meraih takhtanya, nyatanya Rahman malah berpaling hati, membawa pulang calon istri tanpa pernah mengatakan pada Khumaira bahwa masa depan di antara mereka tidak ada. Khumaira pikir kemarin adalah momentumnya kembali ke titik awal, memperbaiki keretakan mereka, lalu merajut cinta sekalipun sebagai yang kedua. Nyatanya bukan keindahan yang pasangan itu tawarkan. Sumpah dalam dadanya terucap, ia tak akan mau dinikahi hanya untuk menghasilkan keturunan. Setelah dirasanya Khumaira tenang, Bintang melerai pelukan. Mengusap wajah basah putrinya dengan ibu jari, lalu menarik sudut pipinya agar tersenyum kembali. "Abati tidak akan menyerahkanmu begitu saja kepada sembarangan pria, Saleha." "Bisakah aku menikahimu saja?" ujar Khumaira bernada canda. Bintang membusungkan d**a dengan bangga, "Sayangnya ada pria yang lebih baik untukmu selain aku." "Pria itu pasti buta arah, Abati. Sudah dua puluh empat tahun, belum juga bertemu Khumaira," komentarnya masam. "Dia tersesat di mana?" Bintang tertawa. Tak akan banyak pria yang mampu menjadi pendamping Khumaira. Empat hal yang disebutkan Rasulullah tentang memilih istri ; kecantikan, harta, garis keturunan dan akhlak baik, semuanya dimiliki Khumaira. Pria yang memiliki putrinya tak boleh sembarangan. Bintang perlu pria cerdas, yang juga rupawan serta berwibawa sebagai pendamping putrinya. Tiba-tiba Bintang teringat pada tamunya sebelum percakapan mereka ini. "Kapan dan di mana kalian bertemu?" Khumaira mencebik sebentar, "Kemarin, setelah makan siang dia menemui Khumaira." Bintang bingung. Ia bermaksud menanyakan pertemuan Khumaira dengan Khalid Wandawarma. Bayangan putrinya makan siang berdua dengan pria itu serasa meninju perutnya. "Dia menemuimu langsung?" "Yah, dia juga menangis,” balas Khumaira sebal. Drama mereka memuakkan untuk dikenang. Kini Bintang makin yakin kalau pembicaraan mereka bukan ke arah yang sama. "Siapa yang menangis?" "Istri Rahman." Khumaira akhirnya mengerjap beberapa kali. "Abati bertanya tentang siapa?" Bintang mengangguk lalu tersenyum. "Kau tahu pria muda yang tadi di ruanganku?" "Abati!" Khumaira menggeleng dan menyilangkan tangannya. "Biar jodoh Khumaira datang sendiri." "Pria buta arah itu?" Khumaira geli mendengar canda ayahnya. "Abati ---" "Atau Khalid maksudmu?" Wajah Khumaira seketika datar. Demi Tuhan, sebagian ucapan ada yang menjadi doa, lalu ada yang dikabulkan juga. Ia bukan ingin berjodoh dengan sembarangan orang, tapi untuk saat ini saja, mungkin Khumaira tak apa-apa memakai nama panglima perang itu lagi sebagai dalih pembebasan dari percakapan keji ini. "Mungkin saja namanya Khalid, yang jelas bukan Rahman!" Bintang menelisik putrinya sekali lagi. "Kau tahu nama pria yang tadi jadi tamuku?" "Yang jelas dia bukan Rahman," balas Khumaira malas. Ia harus sering menyebut nama itu dengan nada jijik, sambil membayangkan betapa rendah caranya memaknai cinta. "Khumaira tak peduli dia siapa, Abati." "Dia Khalid," ucap Bintang tenang. Khumaira tersedak udara. Ekspresi siaganya menjawab satu hal. "Khalid Wandawarma," kekeh Bintang senang. "Sepertinya kalian belum resmi berkenalan. Dia putra sahabat Abati, Paman Bagas yang membuatmu memutuskan mengenakan cadar."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD