Khumaira lunglai. Hampir saja ia menyeret tubuh selayaknya hewan melata yang berjalan dengan perut mereka. Khumaira kehabisan tenaga. Pembicaraan dengan Bintang Abimayu tentang keputusan bulat anggota keluarga yang menolak dirinya sebagai pewaris takhta, didukung Bintang. Ayahnya beralasan jika Khumaira memang perlu pendamping hidup lebih dulu. Syukurnya Khumaira tak mendengar apa-apa lagi tentang Khalid Wandawarma dari ayahnya selain nama pria itu. Khumaira yakin pria itu pun tak membahas apa-apa tentang tamparan Khumaira pada pertemuan mereka kepada Bintang Abimayu. Entah bagaimana, Khumaira percaya pria itu lebih baik daripada Arthur Bakrie. Menurutnya tak cocok saja pria itu menjadi orang yang banyak bicara di belakang seperti sepupunya.
Khumaira tengah menunggu lift turun untuk kemudian membawanya ke lantai dasar dan kembali ke rumah. Percuma juga dia berdiam diri di ruangan kerja jika tak ada hal yang bisa dilakukan. Saat pintu lift terbuka, tak disangka Khumaira bertemu lagi dengan Khalid yang itu. Pria itu sendirian. Khumaira juga sendirian. Keduanya saling tatap sesaat saja.
“Masuklah kalau ingin turun juga,” ucap Khalid mempersilakan.
Jarang sekali orang langsung mengenalinya di pertemuan kedua. Khumaira pikir pria itu mengenalinya pasti karena pakaian Khumaira yang masih sama. Tak berminat membawa diri beranjak masuk, tanpa kata Khumaira menekan tombol tutup pintu lift. Namun, Khalid membukanya lagi. Khumaira hanya sekilas melirik tak suka pada pria itu.
Khalid lalu melepas tangannya dari tombol buka, “Kau tahu, caramu menghindar sudah menunjukkan kalau kau punya perasaan bersalah terhadapku.”
“Saya menghindar karena tidak ada orang lain di dalam lift selain Anda.”
Khalid refleks mengusap pipinya. “Kau sudah melampiaskan kesalmu seluruhnya kepadaku. Kesan pertemuan pertama kita sama sekali tidak baik, Mai.”
“Khumaira.”
“Mai,” ulang Khalid tenang.
“Khumaira!”
“Sepertinya kesalmu belum selesai.” Khalid menyimpulkan. “Masuklah. Lebih baik daripada turun tangga. Aku kenal ayahmu. Dia hampir saja menawarkanku untuk menikahimu.”
Khumaira tak percaya. Ia yakin Bintang Abimayu tak akan merendahkannya begitu.
Namun, makin menghindar, makin jelas Khumaira merasa bersalah atas tamparan tadi. Ia begitu saja masuk lift dan menekan semua tombol dalam urutan turun. “Sepertinya Anda akan membuat fitnah lain tentang ayah saya.”
“Kau bermaksud berlama-lama denganku?” tanya Khalid heran akan tindakan Khumaira.
Khumaira menjelaskan, “Saya berencana terlihat siapa saja dan menghadirkan saksi atau tamu lain di dalam lift ini.”
“Kita punya CCTV.” Khalid memasukkan tangan ke saku celananya yang di sebelah Khumaira. “Reputasimu buruk sekali sebagai calon pewaris Abinaya. Orang-orang mengatakan kau perlu seorang penjinak.”
Khumaira menatapnya. “Anda pasti sering menjinakkan orang.” Tak peduli betapa tampan dan karismatiknya pria bernama Khalid ini, Khumaira tetap melihatnya dengan kekesalan. “Tapi saya mungkin dianggap binatang liar, bukan orang.”
“Percuma merendahkan diri di depanku. Aku lebih tahu kisah pria-pria patah hati yang kau tolak lamarannya.” Khalid tersenyum kepada pintu yang terbuka, “Alasannya lebih membuatku merasa istimewa. Kau menolak pria-pria itu karena mereka bukan Khalid. Bagaimana kalau aku yang melamarmu?”
Kosong. Pintu lift menutup lagi dan kembali membawa mereka turun.
“Saya juga menolak Khalid,” jawab Khumaira menekankan nama itu. Tiga Khalid berantakan yang tak sesuai dengan nama mereka. “Lagi pula, Anda tidak akan melamar saya,” tambahnya yakin, angkuh, serta bermusuhan.
“Jangan menyimpulkan sesuka hati. Kau sudah menyentuhku dengan sengaja karena kesimpulan sembarangan, padahal kau berpakaian sempurna. Kau mudah naik darah kurasa.” Khalid melirik wanita tertutup di sisinya. “Aku menghormatimu. Pakaian yang kau kenakan tampak seperti mahkota di mataku.”
Nada serius Khalid membuat Khumaira tak enak hati. Harusnya tadi ia tak tersulut begitu saja. Teman bicara pria itu tadi adalah Arthur Bakrie, pria berperilaku paling memalukan yang mengotori nama kakek Khumaira dari pihak ibunya. Pelan-pelan Khumaira menunduk saat tak ada juga orang lain yang berniat turun bersama mereka. “Saya minta maaf.”
Khalid tetap melihat lurus ke pintu, tetapi bahan kotak yang membungkus mereka menampilkan sangat jelas apa saja yang Khumaira tengah lakukan. Khalid melihat kuku-kuku gadis itu bertautan tak nyaman dengan kepala menunduk saat mengatakan kalimat maafnya. Dia menyesal, pikir Khalid prihatin. Padahal pipinya sendiri masih terasa perihnya hingga kini, syukurnya tak sampai meninggalkan bekas.
Khumaira diam saja. Ia salah, tapi minta maaf pun cukup sekali. Jika Khalid tak mendengar kalimatnya, itu kesalahan dia. Khumaira tak akan minta maaf dua kali untuk satu kesalahan. Tak akan.
Pintu lift terbuka lagi, tetap saja tak ada siapa-siapa yang bisa ikut bersama mereka.
“Ayahmu dan ayahku berteman. Kita dua orang yang cukup matang untuk pernikahan. Tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan coba memasangkan kita. Kau perlu menyiapkan alasan lain jika ingin menolakku juga.”
“Anda saja yang menolak,” timpal Khumaira segera.
“Aku tidak tinggi hati begitu,” balas Khalid apa adanya. “Setelah semua pria yang kau tolak, bagaimana nama baik Abinaya jika aku menolakmu?”
Khumaira paham perkataannya, hanya saja yang sulit ia pahami adalah mengapa pria ini rasanya cocok untuk Khumaira?!
“Tawaran pernikahan itu mungkin berasal dari pihak ayahmu. Karena Abiku sudah mengatakan secara jelas bahwa aku tidak boleh tertarik kepadamu.”
“Beliau sepertinya ayah yang sangat perhatian. Anda harus mendengarkan beliau,” komentar Khumaira serupa nasehat.
“Aku khawatir beliau yang akan berubah pikiran,” renung Khalid pelan.
***
“Saleha, Ummi buatkan ini untukmu.”
Khumaira tersentak. Ia melihat senyuman Latifa Bakrie. Sejak lahirnya Khairan, wanita anggun yang mereka panggil Ummi ini lebih sering tampak bahagia. Kebahagiaan yang bertahan sepuluh tahun belakangan.
Khumaira mengambil bros yang diserahkan ibunya. Benda itu berbentuk lumba-lumba. “Terima kasih, Ummi.”
“Sama-sama.” Ifa mengulum senyuman geli yang mencuat di depan putrinya. “Abati mengatakan kau bertemu pria bernama Khalid. Bagaimana kesanmu terhadapnya?”
“Dia seperti Khalid.” Khumaira mengangguk, membenarkan jawabannya sendiri. “Sulit menjelaskannya, tapi memang begitu, Ummi. Dia cocok dengan nama itu.”
“Dan, kau akan menikahinya?”
“Ummi...!” keluh Khumaira merengut.
Latifa Bakrie tersenyum manis sekali. Orang mungkin saja berpikir Khumaira adiknya bukan anak beliau karena kesan muda masih melekat sekali padanya. Entahlah, Khumaira pikir ia lebih cocok disebut tua daripada ayah dan ibunya.
“Sofie menikah,” ujar Ifa singkat.
Sofie, sepupu Khumaira, putri kedua Bibi Ayu. Dia lebih muda dari Khumaira secara usia. Jadi, cucu Nenek Naraya yang belum menikah hanya Khumaira, Arthur dan Khairan, yang belum masuk hitungan. “Kita harus datang kalau begitu.”
Ifa berbalik arah. “Kata Abati, Khalid juga akan datang malam ini.”
Khumaira menatap punggung anggun ibunya. Apa maksud beliau menyampaikan hal itu?!
***
Pesta dansa meriah meramaikan malam pernikahan Sofie dan pasangannya. Saat orang-orang sibuk dengan pengantin dan romansa yang ditunjukkan pasangan berbahagia itu di aula pesta, Khumaira malah melimpir sendirian ke pojok gelap di halaman depan tempat acara. Ia memandangi bintang dan bulan yang berdekatan menghias langit malam. Khumaira meraba bandul kalungnya dari balik jilbab. Ornamen bulan sabit dan bintang, lambang ayah dan ibunya. Cinta sejati mereka yang menyilaukan mata. Khumaira menghela napas. Ia membuang waktu banyak sekali untuk dikecewakan Rahman. Tak Khumaira sangka kalau wanita itu datang sambil menangis merelakan suaminya hanya karena keturunan. Satu tahun terakhir Khumaira pasrah meladeni pria yang ingin melamarnya, pupus harapan setelah Rahman menikah. Kini, Khumaira pikir ia telah gagal menemukan cinta, bahkan dalam hatinya sendiri.
Khumaira hendak beranjak masuk saat musik dansa selesai mengalun. Namun, ia mendengar suara lengkuhan rendah dan bisik-bisik tak jelas dari semak sekitar pekarangan Nenek Naraya. Tanpa takut Khumaira mendekati asal suara dan menemukan cumbuan mesra Arthur dengan pasangannya. Gadis itu gaunnya setengah terbuka bagian atas, bahkan asetnya sudah tersentuh udara dan sedang diciumi sepupu Khumaira.
“Berminat ikut?” sapa Arthur dengan napas tak teratur.
Khumaira melenggang pergi tanpa kata. Ia jijik dan mereka bukan urusannya. Saat hendak menjauh dari remang-remang suasana malam purnama itu, tiba-tiba seseorang menariknya kasar.
Khumaira berontak, “Lep---!”
"Stt!"
Khumaira terbata karena tak menyangka. "K---KAU!"