“Kau telah menolakku. Biar kulihat secantik apa kau di balik kain ini!”
Khumaira berontak, “Lep--- Rizal? Kau Rizal ... Seroseja, bukan?” Kalimatnya terbata karena tak menyangka.
“Rindu?”
Khumaira merinding. Ia menepis dan mundur sambil merapikan cadarnya. Itulah alasan lain mengapa Khumaira menolak mereka. Sebagian besar hanya ingin mengetahui wajahnya seperti apa bukan untuk sungguh-sungguh memerankan diri sebagai mempelai pria dalam pernikahan.
“Kau buruk rupa, ya? Kau juga tak diinginkan siapa-siapa, makanya kau mengenakan pakaian tertutup begini.”
“Jaga bicaramu!” tegur Khumaira tegas. Tujuannya mengenakan pakaian tertutup hanya demi kebaikan diri sendiri. Khumaira nyaman dan aman dalam pakaian takwanya.
“Kalau begitu buktikan,” remehnya menyeringai. “Meragukan juga kalau kau masih perawan!”
Khumaira tak ingin berlama-lama. Ia akan membuat skandal jika tertangkap basah sedang bersama pria tak bermoral tersebut. Demi Tuhan, jangan sampai Bintang Abimayu atau keluarga Abinaya melihatnya. Ia tak ingin kehilangan takhta pewaris selamanya, apalagi jika harus terpaksa menikah dengan pria tak tahu malu begitu.
Pria itu mendekati Khumaira dengan kemarahan hendak memeluknya, tapi Khumaira terus berontak. Parahnya lagi Rizal Seroseja tampaknya bersemangat sekali ingin menciumi Khumaira. Tak ada pilihan lain, saat genting itu Khumaira mengeluarkan jurus yang ia pelajari dari ilmu bela diri. Selanjutnya, Khumaira terkejut atas kedatangan seorang yang terjun dari balkon atas ke depannya, mirip pahlawan yang datang sedetik terlambat dari seharusnya. Sementara Rizal Seroseja tergeletak pingsan dengan sedikit darah segar keluar dari bibirnya, pahlawan kesiangan Khumaira malah tersenyum lalu bertepuk tangan pelan.
***
Khalid tak ingin datang sebenarnya, tetapi Bagas Wandawarma tak punya pendamping lagi sejak ibunya meninggal dunia. Jadilah Khalid terdampar di pesta mewah yang memuakkan. Ia pun izin ke kamar kecil selagi pesta dansa menyita perhatian orang-orang. Sekedar pengalihan dari bosan, Khalid mengitari rumah megah keluarga Bakrie. Kemudian ia tak sengaja melewati seorang pria muda yang sedang khusyuk membaca buku di tangannya sambil berdiri bersandar pada dinding. Sosoknya menarik perhatian Khalid.
“Boleh aku bertanya letak kamar kecil?”
Telunjuknya tertuju pada sebuah lorong, “Belok kiri. Ada pelayan di sana.”
Khalid tersenyum atas jawaban bocah itu, yang tak sedetik pun mengangkat kepala untuknya. Sejujurnya Khalid tak sedang butuh sekali dengan bilik pribadi. “Apa yang sedang kau baca?”
Pria kecil yang Khalid ganggu akhirnya mengangkat kepala. Rambutnya hitam legam, matanya hitam pula, mengingatkan Khalid akan mata indah gadis bercadar siang tadi. “Saya tidak suka diganggu saat sedang membaca. Anda ingin buku? Silakan,” katanya mendorong pintu di belakang hingga terkuak lebar.
Khalid memang mengganggu, ia sadar. Namun, ia tidak sedang ingin membaca. “Buku tak bisa membalas kalimatmu.”
“Buku bisa berbicara kepada saya,” balasnya sarkas.
Khalid mengangguk, “Kalau kau sungguh membacanya.”
Diremehkan begitu teman bicaranya menutup buku lalu memandang Khalid dengan sorot serius. “Ikrimah bin Abu jahal melarikan diri saat pembebasan kota mekah. Istrinya, Ummu Hakim meminta penangguhan atas suaminya kepada Rasulullah. Jika Ikrimah masuk Islam, maka ia akan dibebaskan dari hukum bunuh di tempat. Cinta bisa merubah banyak hal, Tuan. Anda tahu, Abu Jahal itu Fir’aunnya zaman Rasulullah, sementara Ikrimah, putranya beriman dan teguh di atas keimanannya hingga akhir.”
Khalid jadi makin tertarik. “Kau menyukai kisah romansa?”
“Jika Anda dibesarkan dengan seringnya melihat dan mengalami manisnya hubungan cinta itu, maka Anda tidak akan meremehkan kekuatannya.”
Khalid membuang wajah, kalah oleh tatapan lawan bicaranya. Dia cerdas, pujinya dalam diam. “Berapa usiamu, Tuan?”
“Anda menilai orang dari usianya? Harusnya Anda lebih paham, kalau melukai harga diri seorang pria itu bukan suatu kebajikan.”
Khalid mengulum senyuman. Ia suka sekali teman bicaranya. Rasa-rasanya Khalid ingin menyimpannya dalam saku lalu membawa pulang sebagai teman tukar pikiran. Khalid mengulurkan tangan, “Baiklah, kau pasti lebih muda daripada aku. Aku Khalid Wandawarma, 27 tahun.”
Anak itu membalas jabat tangannya. “Khairan Abinaya, sepuluh tahun.”
Khalid tergugu, genggam tangan bocah di depannya sekuat jabat tangan Bintang Abimayu. Pantas saja rasanya tak sangat asing kesan pembawaannya yang istimewa.
“Inilah mengapa nama dan usia tak seharusnya jadi patokan,” keluh Khairan tak suka.
“Kau adik Khumaira,” simpul Khalid yakin.
Khairan mendekap buku dalam dadanya, lalu bersandar pada dinding kembali. “Khumaira mungkin saja akan cocok dengan Anda.”
Demi Tuhan, jangan lagi. Khalid mengangkat kedua tangan ke udara. “Aku suka kita bicara sebelum menyebutkan nama. Permisi.”
“Anda berharap Khumaira jadi Ummu Hakim? Dia bukan. Dia lebih mirip Aisyah-nya Rasulullah.”
Khalid tak paham, tak mau memikirkan ataupun menghentikan langkahnya. Khalid menuju lorong untuk bertemu pelayan saja daripada lebih lama bersama Khairan. Berat pembicaraan dengan bocah jenius itu. Dia cocok sebagai pewaris takhta Abinaya, dan itulah masa depannya.
Setelah selesai hajat, Khalid masuk ke ruang perpustakaan yang kini tak ada lagi Khairan di sana. Lampu ruangan tak menyala, tetapi ada sinar bulan masuk dari ujung ruangan. Khalid terus masuk hingga ujungnya, lalu menemukan sebuah pintu dan keluar ke balkon terbuka di sana. Ia memandangi langit malam berbintang dengan bulan purnama terang benderang. Dari kejauhan itu semak bergemeresik mengusik kedamaian. Tak hanya Khalid, ada sesosok lain yang juga penasaran dengan gangguan itu. Khalid memperhatikan pakaian gelap wanita itu yang lengkap dari ujung kepala hingga kakinya. Ia menghela napas saja karena lagi-lagi harus bersinggungan dengan darah-darah Abinaya. Khalid harus memaklumi dirinya, ia tengah berada di kediaman keluarga Bakrie, dalam pesta meriah pernikahan keponakan anggota keluarga inti Abinaya.
Khalid melihat wanita itu berjalan menjauh cepat-cepat setelah menemukan sepasang m***m di semak sana. Kemudian, tak terduganya seorang pria menyekap Khumaira. Khalid siaga di tempat. Ia tak kenal pria itu, tapi tahu maksudnya jelas tak baik untuk reputasi Khumaira. Dampaknya akan mengenai seluruh Abinaya jika mereka dibiarkan dan terlihat orang lain. Dengan inisiatif menolong sahabat ayahnya, Khalid meloncati beranda untuk menggagalkan penistaan yang mungkin saja akan menimpa Khumaira. Namun, mengejutkan sekali, saat Khalid mendaratkan kaki, pria malang itu juga mendaratkan wajahnya ke tanah oleh pukulan Khumaira. Takjub, Khalid memberikan tepuk tangan pada wanita bercadar di sisinya.
“Harusnya aku melihat saja,” kata Khalid menyesali keputusannya untuk melerai mereka.
“Anda berniat membantu, bukan? Jika perlu saksi, saya akan bersaksi bahwa Anda yang memukulnya,” balas Khumaira masih tersisa kesal kepada perilaku Rizal Seroseja.
Suara tawa rendah menakjubkan keluar dari Khalid Wandawarma. Khumaira sesaat terkesima. Ternyata ada tawa pria lain seindah milik Abati dan adiknya.
“Baiklah. Aku akan jadi kambing hitammu.” Khalid berjongkok untuk melihat seberapa parah hasil yang Khumaira buat. Selembar sapu tangan terulur kepada Khalid dari Khumaira. “Padahal kau sendiri yang memukulnya.”
Khumaira meletakkan tangan di depan perut, sikap anggun Latifa Bakrie saat kadang ibunya gugup atau menunjukkan kesan keras kepalanya. Sementara itu Khalid menyeka bekas darah pria malang korban Khumaira dengan sapu tangan gadis tersebut. “Mereka tidak akan percaya kalau saya katakan hal itu. Kasihan juga dengan pria ini akan ditertawakan orang-orang karena ditumbangkan oleh pukulan seorang gadis.”
Khalid mengangguk senang. Khairan telah mengajarinya tentang harga diri seorang pria. Sepertinya Khumaira juga paham hal itu. “Apa selanjutnya?”
Khumaira tak memikirkan apa-apa. “Saya hanya membela diri.”
“Ayahmu mengajari bela diri?” tanya Khalid memeriksa bekas pukulan Khumaira yang sepertinya telak pada sasaran.
“Abati tidak bisa bela diri,” jawab Khumaira spontan.
Khalid bangkit dengan rasa kekaguman yang belum usai. “Kau pasti tidak bermaksud membuatnya pingsan.”
Sejujurnya Khumaira bahkan jijik jika harus menyentuh pria semacam Rizal Seroseja. Namun, bukan berarti ia ingin terlibat skandal dengan dua pria sekaligus di remang-remang taman Neneknya, apalagi pada pesta pernikahan sepupunya tercinta. Khumaira mundur saat rasanya tak nyaman terlalu dekat dengan Khalid. “Anda berniat membantu, bukan? Nah, saya serahkan kepada Anda beberapa pahala tambahan untuk menyelesaikan sisanya. Terima kasih. Permisi.” Khumaira kemudian pergi dengan langkah anggun menuju rumah megah keluarga Bakrie.
“Mai!”
“Khumaira!” Koreksinya pelan, sebal, merengut tanpa berbalik.
“Mau menikah denganku?” tanya Khalid mengudara lagi.
Khumaira sama sekali tak terkejut atas canda tak bermakna pria itu. Tanpa berbalik ia membuat lambang silang di atas kepalanya dengan kedua lengan. Ia tak mau menikah sebelum takhtanya didapatkan. Apalagi setelah pria yang melamarnya untuk jadi istri kedua, Rahman. Khumaira butuh waktu untuk mempercayai cinta sejati dan pria mana saja.
Sementara itu Khalid di belakang Khumaira masih bertekan pinggang dengan satu tangannya menggenggam sapu tangan Khumaira. Khalid memandang kepergian gadis itu. Sejak pertemuan pertama, tak peduli seperti apa kata orang tentang gadis itu, Khalid tertarik kepadanya. Dia berani, dia anggun, tapi emosional juga.