SIMALAKAMA

1506 Words
Karin memarkir mobil CR-V putih di pelataran salon. Dila tampak menunggu di sana, duduk sambil memainkan ponsel. Wajahnya seperti sedang gelisah. Gadis ini melewati paving dengan rumput dan bunga mawar di sampingnya. Ada aneka bunga di halaman. Dia memang menyukai tanaman, sebab itulah gadis cantik ini mendesain sendiri halaman salonnya seasri mungkin, agar tampak sejuk dan indah. Tak lupa dia meletakkan papan sedang bertuliskan Karin's Salon n Spa di ujung depan. "Udah lama, Dil?" sapa Karin sambil memasukkan kunci ke tas. Dila berdiri. "Lumayan. Mbak kok lama banget, sih? Ini pelanggan udah pada nelfonin, nanya-nanya serum dan lain-lain. Aku lupa, masih ada apa enggak, soalnya dia minta dikirim sekarang." Tutur kata Dila terdengar cemas. Dia memang tidak suka membiarkan pelanggan menunggu, kasihan katanya. Karin membuka pintu salon. "Kemarin nggak kamu cek?" tanyanya. Dua gadis itu beriringan masuk. Dila langsung menuju etalase penyimpanan krim wajah, sedangkan Karin menyalakan AC. "Aku lupa, Mbak. Kemarin belum sempat mengecek, banyak pelanggan ke sini sebelum Mbak datang." Dila begitu terampil. Tangannya cekatan membalas dan menyiapkan keinginan customer. Karin meletakkan tas jinjing coklat s**u di meja kasir, merapikan pasmina yang tadi asal saja dia pakai. Dering ponsel mengalihkan perhatian, tertera nama Naila di sana. Karin mencebik dengan napas mengiringi. "Wa ‘alaikumsalam, Nai. Ada apa?" Di seberang sana, Naila mengucapkan salam lebih dulu. Sebenarnya, Karin malas bicara dengan Naila, itu sama saja mengingatkan dengan luka dalam hatinya. Ingat Haris. "Aku mau ke rumah. Kamu lagi nggak sibuk, 'kan?" Nada bicaranya begitu ceria. Iyalah, pengantin baru. "Maaf, Nai, aku sibuk banget di salon," jawab Karin datar. "Kalau kamu udah pulang aja nggak pa-pa, kok." "Nggak bisa. Aku lembur soalnya." "Oh, gitu. Ya, udah, aku aja yang ke salon, ya. Sekalian mau facial. Kemarin pas nikah aku belum sempat facial, tau. Kamu, sih, sibuk banget di salon sampai nggak bisa gitu datang ke rumah. Bahkan, waktu pesta pun kamu nggak hadir. Nyebelin!" Karin bisa membayangkan ekspresi Naila saat ini. Mereka terbiasa bersama sejak kecil, Naila begitu menyayangi Karin. Begitu juga sebaliknya. Namun, kali ini Karin merasa ada yang berbeda. Gadis itu ingin sekali menjauhi Naila, tidak berhubungan dengannya, atau bahkan tidak usah saling bertemu saja. Naila memang tidak bersalah, dan tidak juga mengerti luka yang mendera Karin saat ini. Tapi, mengingat bahwa dia adalah istri Haris, itu sangat memilukan untuk Karin. "Rin! Karin!" Naila membuat Karin terkejut. "Ma-maaf, Nai. Kenapa?" Mendadak Karin jadi gugup. "Ish! Kamu ini kenapa, sih? Aku ngomong panjang lebar tapi nggak ditanggepin. Kamu ada masalah, ya?" Suara Naila terdengar penuh empati. "Oh, enggak." "Eh, Rin. Tante Sri bilang, kamu mau ta'arufan sama seseorang, ya? Ciye ...." Karin yakin, Naila berekspresi menyebalkan saat ini. "Ih, sok tau, deh. Bohong itu si Mama. Nggak usah dengerin," jawab Karin beralibi. "Ah, yang bener? Sayangnya, aku lebih percaya sama Tante Sri dibanding kamu." Asli, Naila sangat menyebalkan bagi Karin. Bahkan gadis itu terkikik. Ada sesuatu dalam hati Karin. Dia teringat masa-masa mudanya dulu bersama Naila. Saling ejek, bertengkar, bahkan adu argumen. Karin rindu. "Dulu katanya udah punya calon, tapi kok belum dikenalin ke aku sampai sekarang?" Naila memang gadis polos. Karin sampai ingin berteriak, "Suamimu itulah pacarku!" Tapi sungguh, Karin tidak ada keberanian melakukan hal itu. Hanya dadanya yang berdebar, yang sulit dia kendalikan. Sesak, sesak. Hanya sesak. "Ya, udah. Pokoknya nanti aku ke salon sama suami. Sekalian mau aku kenalin ke kamu. Oke?" Naila bicara penuh semangat, tanpa memedulikan apa yang ingin dikatakan sang sepupu. "Assalamu'alaikum, sampai ketemu nanti." Tidak lupa Naila memberi kecupan jauh dari seberang sana. Karin baru saja mangap mau mengeluarkan kata-kata, tapi telepon sudah terputus. Sangat menyebalkan. "Wa'alaikumsalam," jawab Karin sembari menarik satu sudut bibir ke samping. Tidak bisa terbayang akan jadi seperti apa jika Karin bertemu dengan suami Naila. Sanggupkah? Dan reaksi apa yang akan ditunjukkan oleh Haris pada Karin dan istrinya ketika dia tahu bahwa saat ini Karin adalah sepupunya? Karin yakin Haris akan bersikap sama seperti dirinya. Tapi sungguh, itu sama sekali tidak diinginkan Karin. Mana bisa menahan amarah di depan kedua sepupunya nanti? Pasti emosi gadis itu tidak bisa terkontrol. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Karin meyakinkan diri. Runtuh, hati Karin kembali hancur. "Mbak, ada telepon." Samar-samar kudengar seseorang bicara. "Mbak Karin!" "Astagfirullah alazim!” Karin terkejut, "kamu ini ngagetin aja," tukasnya pada Dila. Saat ini Dila tengah memerhatikan raut wajah Karin, seperti mencari sesuatu di sana. "Mbak ada masalah, atau lagi sakit? Wajah Mbak Karin pucet banget." Gadis di hadapan Dila itu mengembuskan napas perlahan. "Nggak apa-apa. Ada apa?" Karin bertanya balik. "Ini ada telepon dari pabrik." Dila menyodorkan telepon. "Udah, kamu aja yang ngomong. Kamu juga pasti udah nyatet semuanya, kan? Aku ke dalam dulu, ya. Tiba-tiba kepalaku pusing." "Oke ...." Suara Dila melemah. Pintu ruangan khusus di salah satu sudut salon terbuka. Ruangan ini tidak terlalu luas, hanya cukup untuk meja kerja, dan sofa leter L di sudut kanan. Ada kaktus di jendela, dan sepasang bonsai di bawahnya. Daun jendela terbuka, Karin menghirup dalam-dalam aroma pagi yang masih sejuk. Berjajar aglonema koleksi Mama Sri, daunnya berkibar santai saat tersapu angin yang sejenak mampu menggugurkan sedikit beban dalam hati gadis itu. "Ma, maafkan Karin. Karin belum bisa jadi anak baik seperti doa-doa Mama." Gadis ini menunduk. Ponsel di meja kembali berdering. Siapa lagi yang mengganggu ketenangan Karin? Oh, Mama Sri! "Assalamu'alaikum, Ma." Dari seberang sana, suara khas Mama Sri menjawab salam yang diucapkan Karin. "Karin baru sampai salon, Ma. Mama kok udah nelepon Karin?" Karin menyandarkan badannya ke tembok. Ada beberapa kaligrafi islami dan kalimat penyemangat di sana. "Mama cuma mau ngasih tau, nanti jangan lupa jam makan siang pulang, ya. Sebentar aja." "Memangnya ada apa, Ma?" Karin merasa tumben-tumbenan sang mama pulang saat makan siang. "Kamu lupa, kalau ada janji sama Mama sebelum berangkat tadi?" ‘Astaghfirullah, sekarang? Secepat itukah?’ batin Karin mulai gelisah. "I-iya, Ma. Karin nggak lupa, kok." * Seperti kata Mama Sri, jam makan siang Karin harus pulang. Dalam hatinya berpikir, siapa pria yang mau-maunya datang siang bolong menemui calon istrinya? Eh, bukan. Maksudnya, orang yang akan dikenalkannya. Sepanjang sejarah perjodohan yang dilakukan Mama Sri, baru kali ini ada yang minta tengah hari bolong. Ya, bukan apa-apa. Semua itu tak masalah bagi Karin. Hanya saja, biasanya yang dikenalkan Mama Sri itu pria-pria berdasi super sibuk yang hanya punya waktu senggang saat malam. Memang seperti wanita tidak laku, tapi menurut sang mama, itulah yang terbaik agar Karin segera menikah. Gadis itu memutar stang mobil ke kiri. Dari sana sudah tampak rumah dengan teras penuh tanaman gantung. Berbeda dari teras-teras rumah lain, karena sebagian rumah Mama Sri berbahan kayu. Mobil putih milik Karin diparkir di tepi jalan, depan rumah. Berjejer dengan mobil dan motor tetangga. "Assalamu'alaikum," sapa Karin dari ambang pintu. "Wa'alaikumsalam." Mbak Mimin menjawab. Dia yang merawat Mama Sri selama Karin tidak ada di rumah, pun bantu-bantu pekerjaan rumah. Mbak Mimin pulang sore. "Gimana keadaan Mama, Mbak? Sudah minum obat apa belum?" Gadis ini meletakkan tas di meja ruang keluarga. Rumah ini tidak besar, lantai bawah ada dua kamar tidur, ruang tamu, keluarga, dan meja makan. Semua tidak bersekat, kecuali dapur dan kamar. Lantai atas mayoritas kayu, termasuk tangga. Almarhum papa Karin yang mendesain semua. "Alhamdulillah sudah bisa jalan-jalan pagi, Mbak Karin." "Karin udah ngasih tau ke Mbak Mimin kalau ngepelnya sekali aja, 'kan? Cukup setiap pagi," kata Karin setelah meneguk air dari kulkas. "Ibu yang nyuruh, Mbak. Mau ada tamu katanya." Karin hanya mengangguk menanggapi ucapan Mbak Mimin. Perempuan dengan rambut ekor kuda tersebut meninggalkan Karin setelah selesai ngepel. Beberapa masakan juga sudah terhidang dengan manis dan rapi di meja. Bahu Karin mengendik, mulai hafal dengan cara Mama Sri menjamu tamunya. "Mama ..., Mama," gumam Karin sembari mengulum senyum. Seharusnya, Karin bisa mencontoh kebiasaan Mama Sri itu. Tapi entah mengapa, Karin tidak setekun dan seulet Mama Sri kalau mengurus rumah. "Kamu udah pulang, Rin?" tanya wanita separuh baya, mendekat. Suara yang sangat familier di telinga Karin, suara Mama Sri. "Assalamualaikum, Ma." Karin mencium punggung tangan Mama Sri, menggandeng lengannya menuju kursi ruang keluarga, televisi menyala sejak gadis itu masuk tadi. Karin turut duduk tepat di samping Mama Sri, menggenggam jemarinya. Mereka duduk berhadapan. "Ganti baju, sana! Sebentar lagi calon suamimu akan datang." Mama Sri terlihat semringah sekali. Wajahnya merona. Pipi Karin dielus penuh kasih. "Harus ganti baju, Ma?" protes gadis itu. Apalagi mendengar sang mama menyebut tamu itu calon suaminya, padahal belum tentu juga akan menjadi suami. "Yang rapi. Pakai hijab yang lebar." Karin berdecak sebal, dia terbiasa memakai pakaian casual, dan hampir tidak pernah memakai hijab menjuntai lebar seperti Naila. "Gini aja, Ma. Kalau dia memang mau menerimaku apa adanya, itu lebih baik, 'kan?" Sama sekali tidak ada niat bagi Karin untuk memberi kesan terbaik saat pertemuan pertama. Untuk apa? Gadis itu juga belum tentu tertarik padanya. "Kemarin kamu juga bilang kayak gini ke Mama, dan menolak pinangan mereka. Sekarang kamu juga mau menolak lagi?" Tiba-tiba mimik wajah Mama Sri berubah sendu. Membuat sang anak tidak tega dan menuruti permintaan beliau. Karin berada dalam posisi tersulit saat ini. Menerima pinangan berarti sama dengan bunuh diri, menolak pinangan sama artinya dengan membunuh harapan sang ibunda, juga mematahkan hatinya sekaligus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD