bc

Pesona Cinta Mas Penghulu

book_age16+
123
FOLLOW
1K
READ
love after marriage
powerful
independent
drama
twisted
sweet
city
small town
enimies to lovers
wife
like
intro-logo
Blurb

Karina Salsabila. Gadis yang mandiri, pemilik salon, cantik, dan ceria. Namun, di balik keceriannya itu tersimpan luka menganga yang cukup dalam. Bagaimana tidak? Kekasih yang dia cintai justru menikah dengan sepupunya sendiri.

Ramadhan Hanif. Seorang penghulu berusia 32 tahun yang telah menikahkan ratusan pasangan. Namun, bagaimana jika dia sendiri belum merasakan asam manisnya berumahtangga?

Haris Wijaya. Pemuda tampan yang harus rela dijodohkan oleh kedua orang tuanya karena sebuah perjanjian antarsahabat. Haris meninggalkan kekasihnya begitu saja, lalu menikah dengan seorang gadis kalem, anak pemilik pesantren.

Naila Rohima. Seorang gadis penurut, riang, santun, dan manis ini langsung mengiakan ketika dia dijodohkan dengan pilihan abahnya. Siapa sangka, lelaki itu adalah mantan kekasih sahabatnya?

Inilah kisah mereka berempat, berbeda tetapi saling berkaitan. Lalu, pada siapakah takdir akan memihak?

*

Haiii, ini karyaku yang ke sekian. Semoga kalian suka juga ya. Dukungan kalian sangat berarti untukku.

Love you,

Buperi

chap-preview
Free preview
Memori Luka
"Usia kamu udah matang untuk menikah, Rin. Kenapa kamu selalu menolak lamaran yang datang?" Raut wajah wanita berusia 65 tahun ini selalu sendu jika menanyai sang anak perihal pernikahan. Ada kecemasan luar biasa di matanya, belum lagi jika mendengar pertanyaan-pertanyaan tetangga yang bahkan cenderung mencibir. Memang terhitung sudah tiga lamaran pria yang tolak oleh perempuan bernama Karina Salsabila ini. Semua penolakan tersebut bukan tanpa sebab. Ada sesuatu dalam hati gadis itu yang sulit dia ceritakan kepada sang ibunda. "Karin belum ingin menikah, Ma. Apalagi sekarang Karin sangat sibuk dengan salon baru." Senyumnya merekah, agar sang mama tidak khawatir. "Mama juga tau kalau Karin sangat memimpikan punya usaha sendiri, 'kan?” Memang jika dilihat-lihat, Karin sudah sewajarnya punya imam, membina rumah tangga, dan bahkan memiliki bayi-bayi mungil dalam rumah. Namun, hati itu belum sepenuhnya bisa menerima pinangan seorang pria. Karin masih dihantui bayang-bayang rasa di masa lalu, meski sudah dipendam dalam, rasa itu enggan enyah baginya. "Mama jangan khawatir, ya. Rezeki, jodoh, dan maut itu sudah diatur Allah. Mungkin saat ini Allah ingin Karin merawat Mama sebaik mungkin." Gadis ini menyuapkan sesendok bubur pada sang mama. Wanita seperempat abad lewat itu tengah kurang enak badan akhir-akhir ini. Biasa, penyakit bawaan usia. Karin baru menyadari bahwa usia sang mama tak lagi muda. Patutlah dia sangat mencemaskan anaknya. "Mama udah tua. Ingin rasanya melihat kamu bahagia dengan suami dan anak-anakmu," ucap sang mama setelah menelan bubur, "lihat itu sepupumu, dia aja udah menikah," lanjutnya. Karin kembali menyuapi sang mama. Ada sesak yang tertahan dalam hatinya, tapi dia berusaha untuk tak menampakkan hal itu di depan sang mama. "Iya, Ma. Nanti Karin juga akan bahagia seperti Naila." Dagu sang mama yang tidak sengaja kena bubur, diusap Karin dengan tisu. Setelah itu, dia kembali menyuapi sang mama, tapi wanita itu menolak. "Kamu kenapa kemarin nggak datang ke pesta pernikahannya Naila, Rin?" tanya sang mama kemudian. Mangkuk dalam tangan Karin belum benar-benar menempel meja, tetapi pertanyaan sang mama membuatnya terkejut, sehingga benda terbuat dari keramik itu bersentuhan dengan meja cukup keras. Karin sampai kaget. "Mama kata siapa?" Gadis ini malah bertanya balik. "Naila yang cerita ke Mama." "Kapan Naila ke sini?" Dahi Karin mengernyit. "Kamu ini ditanyain malah balik nanya." Karin tersenyum, menyembunyikan sederet luka yang tidak pernah sang mama ketahui. Sejujurnya, saat itu Karin datang. Namun, mendadak langkahnya berat. Berat sekali. Hingga bulir-bulir bening berubah menjadi tetesan deras. Foto pengantin yang dipajang di depan pintu masuk itu, Karin sangat mengenalnya. Jantungnya berdebar hebat, tangan gemetar, dan pipinya juga memanas. Karin balik badan, berharap saat berbalik nanti foto itu bukan orang yang selama ini dia nantikan. Namun, sepertinya gadis itu memang tidak salah lihat. Dia benar-benar melihat Haris—pria yang mampu membangun kukuh istana dalam hati, memberi harapan cinta luar biasa, tapi dia pula yang memorak-porandakan. Kejam kamu, Haris! Kejam! Karin kembali dalam kewarasannya. Hampir saja dia lupa bahwa di depannya ada sang mama. Untung saja air mata itu tidak tumpah. Ah! Air mata Karin sudah habis rasanya. "Karin datang kok, Ma. Tapi waktu itu belum sempat masuk. Terus Karin dapat telepon dari salon, ada masalah di sana yang mau tidak mau Karin harus turun tangan," jawab Karin sambil membetulkan selimut sang mama. "Kenapa nggak masuk dulu? Paling enggak, kamu ngasih selamat buat Naila. Kamu itu saudaranya, lho. Masa lebih mentingin kerjaan daripada keluarga, sih?" Mama Sri memang sangat menjunjung tinggi rasa persaudaraan, itu sebabnya dia sangat disegani oleh sanak keluarga. "Mama nunggu kamu juga, tapi telepon kamu nggak aktif," imbuh Mama Sri. "Maaf, ya, Ma. Tapi, Karin udah ngasih ucapan kok ke Naila. Karin juga udah minta maaf." Mana mungkin Karin bertatap muka atau menyalami orang yang sudah tega mencampakkan perasaannya begitu saja? Bagaimana bisa Karin menerima kepergiannya tanpa alasan itu? Hidup ini memang tentang pertemuan dan perpisahan. Namun, bukankah bertemu dengan baik, berpisah pun juga harus baik? Oh, sepertinya itu tidak berlaku untuk Karin. Bukan, bukan. Bukan untuk Karin semata, tetapi juga bagi Haris. “Aku akan melamar kamu kalau nanti sudah punya kerjaan tetap, Rin. Doakan aku, ya. Ini aku ngelamar kerja di salah satu perusahaan bonafide," kata Haris saat itu. Wajahnya penuh semangat. "In Syaa Allah, Mas. Aku selalu mendoakan kamu." Kata-kata manis yang selalu diimpikan Karin, juga hari-hari yang selalu dia nanti. Sayangnya, semua itu bualan belaka. Lama tidak bisa dihubungi dan tidak ada kabar, ternyata Haris menikah dengan sepupunya sendiri, Naila. Bahkan Karin tidak pernah tahu jika mereka dekat. Sejak kapan? Itu selalu menjadi pertanyaan yang menghantui pikiran gadis ini. Karin membenarkan juntaian pasmina yang jatuh. "Karin bawa sisa buburnya ke dapur dulu ya, Ma," pamitnya seraya bangkit. Dia ingin sekali segera bisa keluar kamar, menumpahkan kesal tertahan dalam dadanya. "Mama menunggu calon suamimu sebelum Mama meninggal, Rin." Ucapan sang mama membuat langkah Karin terhenti. Dia memasang wajah sebaik-baik mungkin, kemudian balik badan. "Mama kok ngomongnya gitu?" Karin menekuk wajah. "Pamali tauk." Gadis itu kembali mendekati wanita yang terus menatap penuh harap. "Mama kayak nggak percaya sama Allah aja. Jangan pernah putus mendoakan Karin agar cepet-cepet dapat jodoh, ya, Ma. Doa Mama itu restu buat Karin." Karin mengecup kening sang mama dengan lembut. Dia membenarkan hijab putih favoritnya. "Habisnya kamu selalu mengecewakan Mama." Karin tertegun. Wanita yang paling dia sayangi tersebut, baru kali ini berbicara seperti itu. Tatapan Karin penuh tanya. "Kali ini kamu nggak boleh kecewain Mama lagi." Wajah sang mama yang sedari tadi sendu, kini tingkatannya kian bertambah. "Ma.” Karin duduk di tepian kasur, dengan mangkuk yang masih di tangan, "Karin sayang banget sama Mama. Pasti Karin nggak akan kecewain Mama." "Itu berarti kamu mau menemui calon yang udah Mama pilih, 'kan?" ‘Ya Allah, apa lagi ini?’ batin Karin meratap. Dengan alasan apa agar dia bisa menolak permintaan sang mama tanpa melukai perasaannya? Karin mengatur napas yang sedari tadi seperti menyumbat dalam d**a perlahan-lahan, agar sang mama tidak curiga. "Karin ke salon dulu, ya, Ma," pamit gadis itu. "Jawab dulu pertanyaan Mama, baru Mama izinkan kamu pergi." Sepertinya, Karin tidak bisa menolak kali ini. Dengan penuh terpaksa dia mengiakan permintaan sang mama, semata-mata demi hormat dan rasa patuh terhadap wanita itu. Sebab, dialah satu-satunya yang dimiliki Karin saat ini. "Makasih, ya, Sayang." Sang mama tersenyum, dia mengusap pipi Karin dengan lembut. "Karin pamit, ya, Ma. Assalamu'alaikum." Karin mencium pipi berikut tangan sang mama. Dia juga memeluknya sebentar sebelum meninggalkan kamar. Gemuruh dalam d**a Karin hampir membuatnya tidak bisa mengontrol diri. Setiap membahas pernikahan atau perjodohan, yang teringat pertama kali ialah wajah Haris serta pengkhianatannya. Selama ini, Karin memang selalu mencoba membuang semua perasaan bodoh yang dia idamkan, tapi lagi-lagi gagal. Jujur saja, Haris adalah pria pertama yang berhasil mengetuk pintu hati, pun pertama kali juga yang mematahkannya. Hal terhebat yang pernah Karin dapatkan. Meski demikian, tak bisa dimungkiri bahwa sesering apa pun Karin berusaha, tetap saja hanya Haris yang singgah. Hal itu membuat Karin menahan sesak dan perih. "Mama, maafin Karin yang belum bisa jujur ke Mama." Gadis ini menyeka genangan di kelopak mata yang belum tumpah, menghirup napas dalam, melepasnya pelan. Dia merasa sedikit nyaman. Setelah itu, dia ke dapur, mencuci mangkuk yang masih ada sisa sesendok bubur. Selesai, dia menuju kamar, membasuh wajah agar tampak lebih segar dibanding tadi. Berharap semua lukanya luruh bersama aliran air. Terpaksa dia berganti pasmina sebelum ke salon. Karin merasa risi ketika pakaian atau hijab yang dia kenakan basah, meski sedikit. Sejak tadi Dila—pegawai salonnya—menelepon terus. Karin juga lupa jika kemarin yang pulang terakhir itu dirinya sendiri. Pantas saja Dila mengomel saat teleponnya diterima. Ternyata, gadis itu bilang sudah menunggu sejak tadi di salon. Kasihan dia, pasti sudah lama menunggu kehadiran Karin. Dalam perjalanan menuju salon, seorang pengendara motor tiba-tiba menyalip dengan kecepatan tinggi. Karin terkejut dengan aksi pria bermotor besar itu. “Jalanan nenek moyangnya sendiri kali, ya? Heran sama orang zaman sekarang. Balapan di jalan raya.” Karin mendumal tak jelas. Pria bermotor besar, berjaket kulit hitam, dengan helm full face itu diduga Karin adalah seorang anak motor badung yang suka berkeliaran di jalan sepertu tempo hari.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
102.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook