Balik pulang

1041 Words
''Baju dokter,'' ucapku sambil mengangkat baju yang tergantung di antara baju suamiku. Iya ini benar baju dokter dan ukurannya kecil seperti baju cewe. Iya kan ini baju baju/jas dokter, aku tidak salah lagi. Bau parfum ini, sepertinya aku tidak asing dengan parfum ini. Tapi milik siapa? Aku tidak menemukan apapun lagi selain baju dokter ini. Apa mantan Maxcel dokter, atau selingkuhan nya dia. Saat akan menyimpan baju itu tiba-tiba ponselku berdering. Siapa yang telah menelpon larut malam begini? Saat ku ambil ponsel yang kusimpan di nakas, mata ini terbelalak tak percaya. Ada angin apa Maxcel menelpon saya. Apa jangan-jangan, dia tau kalau saya masuk ke dalam kamarnya. Dengan hati deg-degan ku angkat telpon nya.. ''Iya hallo, ada apa?'' ''Kenapa masuk kamar tidak keluar-keluar, apa kamu tidur di dalam?'' Ucapan pelan namun mampu membuat jagung ku hampir melompat. Bodohnya aku, pasti di apartemen ini ada cctv-nya. Kenapa sebelum bertindak tidak mikir dulu. Pasti waktu itu saya juga ketahuan telah mengobrak-abrik semua. ''Kan sudah saya peringatkan untuk tidak ikut campur urusan pribadiku,'" ujarnya kembali karena aku belum menjawab pertanyaan. ''Maaf kalau saya terlalu ingin tahu, saya hanya memastikan kalau laki-laki yang saya nikahi tidak ga-y.'' ucapku dengan emosi. Sudah kesal dengan semua privasi, dikit-dikit privasi. Kalau memang tidak doyan perempuan bilang saja, nggak usah dikit-dikit privasi. Aku langsung saja mematikan telepon sebelum ia mencari pembelaan. Apa gunanya berdebat, aku juga sudah ketahuan memasuki kamarnya. Mau saya menjelaskan apapun aku juga akan tetap salah. Biarpun aku telah menjadi istrinya, namun aku tidak di ijinkan untuk apapun tentangnya. Aku hanya orang asing yang kebetulan tinggal satu rumah dengannya. Tak lama saat tubuh lelah ini ingin membaringkan tubuhnya ada pesan masuk di ponsel yang sudah ku simpan di sampingku. [Maaf, bukan maksud saya melarang mu untuk memasuki kamarku. Hanya saya melihat mu selama tinggal di sana tidak tidur di kamarku.] Ku tutup kembali ponselku tanpa menjawab pesannya. Masa bodoh dengan semua, mau dia marah, curiga, sudah tidak saya pikirkan. Saat mata ingin memejam tiba-tiba ponsel kembali berdering, kali ini bukan pesan melainkan panggilan. Kenapa sih ini orang malam-malam tidak tidur, malah menganggu orang. ''Ya, apalagi!'' jawabku malas. ''Maaf kalau saya salah, aku hanya tidak ingin kamu mengetahui sesuatu dan itu akan membuatmu sakit hati.'' ''Bukankah itu semua tidak penting bagimu, sakit hatiku tidak ada urusannya denganmu. Bukankah selama ini sudah rasa sakit yang selalu kau berikan mas,'' ucapku tak terasa air mata ini jatuh begitu saja. ''Aku minta maaf Mai, kalau selama ini aku tidak pernah baik denganmu. Aku akan belajar mencoba menerima semua ini.'' ''Baju dokter siapa yang ... Tut ... Tut ... '' Tuh kah dia mematikan telponnya, berati pemilik baju itu begitu penting buatmu mas. Aku pun memejamkan mata dan melepaskan semua beban ini. Aku ingin tenang dalam tidurku, agar besok hal positif yang akan kudapat. *** Raya pagi-pagi sudah bangun dan sudah menyiapkan semua makanan di meja. Selama disini kami tidak pernah membeli makanan, karena makanan yang di berikan Maxcel sampai lebih-lebih. ''Ray, maaf ya bangun telat,'' ucapku sambil membantu mengangkat udang saos tiram ke meja. ''Udah tenang aja, nggak usah merasa tidak enak. Aku malah seneng disini Mai, makan enak terus, fasilitas mewah, rasanya aku nggak mau balik lagi,'' ucapnya sambil ketawa menyuapkan sepotong dimsum ke mulut nya. ''Ya udah nanti aku pulang sendiri ya,'' godaku. ''Ih, kenapa ya cepet banget. Udah mau pulang aja, padahal enak sekali disini. Pasti kamu kangen ya sama suamimu,'' goda Raya padaku, namun aku juga tidak bisa membohongi hati ini. Walau aku bagai patung berjalan, setidaknya aku bisa melihatnya. Ya Allah, cinta apa ini, sudah tau tidak di anggap tapi masih saja berharap. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, sedangkan penerbangan kami jam 5 sore nanti. Tapi aku dan Raya sudah siap semua, tinggal menunggu Raffelin dan Ardham yang akan menjemput kami. Sebenarnya saya merasa iri melihat kebahagiaan orang, termasuk Ardham dan Raffelin yang terlihat begitu romantis. Kenapa aku tidak seberuntung mereka-reka yang di cintai oleh pasangan atau setidaknya saling mencintai. Langkah ini berat untuk melangkah keluar dari gedung apartemen ini. Sebelumnya aku memang ingin segera pulang, namun hari ini entah kenapa hati ini berat untuk pulang. Seperti ada yang belum usai di kota Jakarta ini. Saat aku keluar dari gedung pencakar langit ini, sudah di sambut senyum Raffelin cantik dan manis. ''Iihh... Cepat sekali baliknya, padahal aku pengen lama-lama.'' ''Ayolah main kesana Ra, nanti kita jalan-jalan kan di Bali.'' ''Iya, nunggu mas Ardham nggak padat jadwalnya,'' ucap Raffelin yang menuntunku untuk masuk mobilnya. Saat semua sudah masuk, tinggal aku yang masih menyimpan koper di bagasi tidak sengaja aku melihat dokter Vanilla. Sepertinya ia sedang buru-buru, dari raut wajahnya seperti orang ketakutan. ''Dokter Vanilla,'' seruku sambil melambaikan tangan padanya. Dokter Vanilla yang mendengar teriakkan ku langsung berlari ke arahku. Aku bisa melihat kegugupannya dan juga wajah ketakutannya. ''Dokter mau kemana?'' tanyaku yang pura-pura lugu. ''Kamu mau kemana Mai, boleh aku ikut?'' Aku melongo mendengar ucapan dokter Vanilla, pasalnya aku mau pulang ke Bali. ''Dok, saya mau balik ke Bali.'' ''Boleh aku ikut?'' ''Pesawatnya sebentar lagi dok, ini mau ke Bandara.'' Saat aku asyik ngobrol dengan dokter Vanilla, tiba-tiba Ardham dan Raffelin keluar. Vanilla yang melihat Ardham dan juga Raffelin seperti kaget, sehingga ia sedikit melongo beberapa saat. ''Ardham,'' lirih dokter Vanilla yang masih ku dengar. ''Van, maaf ya! Maira harus buru-buru, soalnya takut ketinggalan pesawat nanti,'' tutur Ardham yang berdiri di samping pintu kemudi mobil. Sedangkan Raffelin mendekat ke arah Vanilla. Namun saat Raffelin mengajak Vanilla masuk dalam mobil tiba-tiba ada mobil yang waktu itu ku lihat di rumah sakit. Orang dalam mobil itu keluar, dan lelaki itu sama yang ku lihat saat waktu di rumah sakit. ''Sayang, ayo kita pulang!'' ucapan itu mampu membuat dokter Vanilla seperti ketakutan. Sedangkan Ardham mendekat ke arah laki-laki tersebut, entah apa yang di omongkan namun laki-laki yang manjadi suami dokter Vanilla nampak mengangguk. Sedangkan Ardham memberi anggukan pada Raffelin, akhirnya Raffelin menuntun Vanilla untuk mendekat ke arah suaminya. ''Sampai ketemu nanti ya Van,'' ucap Raffelin sambil cipika-cipiki. ''Eh pak Satria tolong jangan terlalu mengekang Vanilla, dia juga butuh main,'" ujar Raffelin kembali yang menatap ke arah suami dokter Vanilla. Aku disini hanya jadi penonton, aku tidak pernah tahu kalau Ardham juga mengenal dokter Vanilla. Pikiranku saat ini tertuju pada baju dokter yang ada di lemari suamiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD