Akhirnya aku kembali lagi di sini, akan kujalani lagi hari-hari yang menyebalkan bagiku. Saat mengantri bagasi bersama Raya aku seperti tidak asing melihat seorang pria berseragam sedang bercerita dengan seseorang. Ya, tidak salah lagi itu adalah Maxcel, di berdiri bersama beberapa bawahannya di dekat pintu keluar. Untuk apa juga dia disini, baru saja sampai sudah harus melihat muka dinginnya menyebalkan.
Saat aku dan Raya akan keluar laki-laki muda yang tadi mengobrol sama Maxcel langsung mengambil koper dan barang bawaan ku bersama Raya sambil membawa troli. Sedangkan Maxcel menghampiriku dan Raya, Raya yang sedari tadi di sampingku menyenggol lenganku terus menerus.
''Maaf, tadi malam hpnya lowbat,'' ujarnya tiba-tiba.
Aku hanya tersenyum kaku dan mengangguk, Raya pun nampak canggung karena tahu hubunganku dengan Maxcel gimana.
''Ya udah ayo pulang,'' ujarnya kembali.
''Tapi nunggu Raya dulu ma ... ''
''Ya udah sekalian kita antar,'' ucapnya yang memotong ucapanku.
Aku pun menatap Raya sambil mengangguk, dan kami mengikuti Maxcel serta laki-laki muda yang tadi membawa barang kami.
''Mai, aku naik taksi aja deh. Aku tegang kalau satu mobil sama kamu dan Maxcel,'' bisiknya di telingaku.
''Usah gak papa, bikin santai saja kenapa sih.''
''Santai gimana Mai, kamu bukan Ardham dan Raffelin.''
Aku melotot ke arah Raya, siapa sih yang nggak mau di ratukan sama suami sendiri.
Saat aku akan duduk di belakang bersama Raya, Maxcel sudah melotot matanya ke arahku.
''Aku bukan sopir,'' ucapnya sambil membukakan pintu mobil yang di samping kemudi.
Mau tak mau aku pun duduk di sebelahnya, ia pun segera berlari kecil untuk masuk dalam mobil. Karena mobil di belakang kami sudah banyak yang mengklakson.
Selama perjalanan kami bertiga hanya diam, sedangkan Raya sibuk memainkan ponselnya. Ini memang sangat berbeda saat tadi di dalam mobil Raffelin.
''Ray, kamu nggak cari makan dulu?'' tanyaku pada Raya, karena ini sudah malam takutnya ia tidak berani keluar membeli makan.
''Nggak usah Mai, dirumah ada Indomie kok. Nanti kalau lapar tinggal seduh aja.''
''Beneran nih gak papa makan mie malam-malam.''
''It's okay beb!''
Ting ... Satu pesan masuk dalam ponselku ...
[Sebenarnya laper Mai, tapi di samping Lo dingin banget.]
Melihat pesan Raya aku hampir menyembur ketawa, ini anak biasanya sama siapapun dia gas saja. Tapi kenapa sama Maxcel dia jadi melempem gini.
Belum sempat aku bicara, Maxcel sudah menghentikan mobilnya di depan rumah makan nasi Padang.
Ia memandang kami bergantian, ''kalian nggak cari makan? Beneran mau makan Indomie?'' tanya Maxcel pada kami yang masih membeku.
''Eh, mau ... Mau ... Tapi nggak papa nih kapten menunggu kami turun beli makanan,'' ucap Raya yang terdengar geli di telingaku.
Maxcel hanya mengangguk, Raya pun segera turun setelah mendapatkan persetujuan.
Maxcel beralih menatapku, namun aku membuang mukaku melihat Raya memasuki rumah makan tersebut.
Entah kenapa saat ia menatapku seperti ini aku tak bisa mengontrol detak jantungku. Tak pernah ia menatapku selama ini, ini pertama kalinya ia melihatku secara dalam.
''Mau diam saja tidak cari makan juga,'' ucapnya kemudian.
''Mas mau makan apa?'' ucapku sambil menatap manik matanya yang indah.
''Samain aja sama kamu,'' ucapnya masih dengan eyes kontak denganku.
Aku segera keluar dari mobil ini, aku tidak tahan jika terus di dalam. Bisa-bisa jantung ini melompat keluar karena tatapan mata Maxcel.
Kenapa dia memukau sekali malam ini, dengan segala kelembutannya. Habis ruqyah dimana itu orang, sehingga jin jahat yang bersarang di tubuhnya bisa keluar juga.
Akhirnya setelah mengantarkan Raya kami juga sampai rumah. Makanan masih kami simpan di atas meja makan. Kami akan membersihkan badan dulu baru makan.
''Mai,'' panggil Maxcel padaku.
''Iya,'' aku mematung menatapnya.
Tatapan matanya yang tajam bak elang, membuatku selalu jatuh hati setiap hari.
''Ada bunda di kamar tamu, beliau juga baru saja datang. Sekarang mungkin lagi istirahat.''
''Apa? Beneran ada bunda disini?'' seruku yang penuh bahagia, aku pun berlari menuju kesana.
Namun baru akan melangkah, lengan ini sudah di tarik sehingga membuatku jatuh terjengkang kebelakang. Tangan kekar dan d**a bidang itu menopang tubuh ini, padahal mata ini sudah terpejam membayangkan aku akan jatuh ke lantai.
Jarak wajah kami terasa sangat dekat, aku dapat merasakan hembusan nafas itu di pipiku. Jujur kali ini aku takut sekali membuka mata.
''Hey, bangun! Berat tau.''
Saat aku membuka mata, pandangan ini langsung melihat wajah Maxcel yang nyaris sempurna tidak ada cacat sedikitpun di mataku maupun di mata semua perempuan.
''Apa aku gendut?''
''Ehem ...'' dehem bunda mengagetkan kami, sehingga aku melepaskan pelukan Maxcel.
Aku berlari menghambur peluk pada wanita yang menyayangiku dari pada anaknya.
''Bunda, apa bunda terganggu dengan suara kami?'' ucapku sambil memeluk wanita baik hati ini.
''Enggak sayang, bunda memang sudah bangun. Ingin melihat apa kamu sudah datang atau belum.''
''Maaf ya bund,'' lirihku sambil melirik wanita yang sudah seperti ibu kandungku sendiri.
Bunda Dina hanya mengangguk tersenyum mendengar rengekan ku, ia melihat ke arah putranya dan Maxcel nampak salah tingkah.
Bunda kembali masuk ke kamar, ia pamit akan melaksanakan shalat isya terlebih dahulu. Aku pun juga segera masuk dalam kamarku ingin membersihkan badan yang terasa udah lengket sekali.
''Hey, mau kemana?'' hampir saja jantung ini melompat, tiba-tiba ada orang tinggi besar sudah ada di belakangku.
''Mau mandi Mas, kenapa sih? Tumben saja kamu banyak nanya,'' gerutuku kesal.
''Semua baju dan barangmu sudah saya pindah di kamar.''
''Apa?'' aku melotot tak percaya.
''Ada bunda masa kita mau tidur pisah kamar,'' ucapnya lembut tidak seperti biasanya yang dingin.
''Oh,'' ujarku dan langsung pergi meninggalkan sendiri, aku tidak mau terlalu banyak berharap. Mungkin sikap manisnya saat ini karena ada bunda disini.
Aku memasuki kamar suamiku seperti masuk ke kamar laki-laki asing. Astaga, aku memang orang asing disini. Kenapa juga berharap lebih mau di anggap sih.
Saat aku mencari baju ganti dan melepas jilbabku terdengar pintu terbuka dari luar. Manusia satu ini hari ini benar-benar selalu mengagetkan. Datang selalu tanpa permisi, seperti kutub Utara berjalan saja, yang dingin! Tapi sekarang lumayan mencair sih, ya setidaknya sampai bunda pulang.
''Kenapa kembali kau pasang jilbabmu?'' ucapnya tanpa rasa bersalah.
Aku menelan ludah sendiri, jawaban apa yang harus ku jawab.
''Aku belum terbiasa,'' ucapku sambil tersenyum kaku ke arahnya.
''Tidak berdosa kamu lepas jilbab di depan saya,'' ujarnya dengan mendekat ke arahku.
Jangan ditanya saat Maxcel akan menghampiriku, rasanya aku ingin menghilang dari kamar ini. Kenapa mendadak banget gini sih mau sekamar.
''Mas, mau apa? Aku mau mandi.''
''Bunda minta cucu,'' lirihnya di telingaku saat ia sudah berada tepat di depanku, sehingga membuat bulu halus ini semua meremang.
Seolah dunia ku berhenti berputar sejenak, jantung berpacu lebih cepat dari biasanya. Apa malam ini akhir dari segalanya, oh tuhan Maira sadar dulu dan rileks jangan terlalu tegang. Ini hal biasa, kenapa kamu se gugup ini.
Maxcel yang masih berdiri di depanku menatapku dalam, ''gimana? Bisa kita bikin?''
Aku melotot ke arah nya, mulut ini masih diam membisu. Pasmina yang tadi ku kenakan jatuh ke lantai karena tangan ini tak sengaja melepaskannya. Aku mundur beberapa langkah ...