CHAPTER 3

1015 Words
Dari sebegitu banyak orang di kantor, satu-satunya yang paling bisa kuanggap teman sungguhan adalah Yolanda. “Lo tuh gimana, sih, Claire? Lo tetiba mutusin buat resign, terus lo mau buka usaha sendiri? Gitu?” tanyanya saat kami dalam perjalanan ke kantin yang letaknya di belakang gedung kantor. “Lo, kan, udah setahun kerja di sini. Masa lo mau keluar setelah kadung nyaman di sini? Apa nggak kasihan sama teman-teman, orangtua, terus adik lo juga? Lagi pula, mulai usaha baru itu nggak gampang kalau lo nggak punya koneksi dekat sama investor handal. Yah, itu kalau lo mau kerjasama dengan investor. Kalau nggak, lo bisa mulai cari investor sendiri. Atau….” Yolanda ini cerewetnya minta ampun. Dia bisa bicara sampai dua ribu kata dalam satu tarikan napas. Aku sudah kebal dengan seluruh ocehannya sampai telingaku menebal. Namun, Yolanda adalah tipe teman setia yang akan mendampingimu sampai ujung dunia sekalipun. Buktinya, aku dan Yolanda sudah berteman sejak SMP bahkan setelah seluruh baik dan burukku dia ketahui. “Ya ampun, Yol,” selaku. “Lo ngomong apaan, sih? Gagal paham gue sama inti omongan lo yang bejibun panjangnya itu.” Yolanda mengeluarkan cermin kecil dari saku rok pendeknya dan mengarahkan benda itu ke wajahnya. Dia menoleh ke kanan-kiri seperti sedang memeriksa tatanan rambutnya—yang dia sebut crown braid, yang bentuknya kepang dililit di kepala. “Maksud gue—astaga! Claire yang payah mau buka usaha seorang diri! Kemungkinan besar dia habis kejedot pintu atau aspal, jadi jalan pikirnya guncang! Hellooo! Ada dokter di sini?” Aku semakin tidak paham. “Gue benar-benar nggak paham, Yol. Kayaknya yang butuh dokter ini lo, deh, bukan gue.” Kami memasuki kantin yang sudah ramai. Meja-meja yang menyesaki kantin membuat suasana mendadak terasa gerah. Kami berentetan melewati gang-gang sempit di antara kursi-kursi, dengan aku di posisi depan dan Yolanda mengintil masih sambil mencerocos dan bercermin. Entah bagaimana dia melakukan tiga hal sekaligus begitu. “Yang jelas,” susulku setelah kami duduk di kursi yang lengang di sudut kantin, “lo dukung aja gue. Entah nanti bakal rugi atau nggak, yang jelas, gue udah berusaha dan udah dapat dukungan.” “Oke, gue dukung lo.” Dia terdiam sejenak untuk menyimpan cermin kembali ke saku, lalu beralih memandangi menu di meja. “Mama lo gimana?” Mataku terkunci pada vas berisi bunga hidup yang ada di tengah meja. Kombinasi jenis bunganya menarik—sekuntum mawar merah yang diselipkan di pangkal anggrek bulan ungu. Ada daun paku jenis ming yang menjadi semacam latar belakang bunga-bunga itu. “Mama … entahlah,” kataku. “Mama mungkin nggak setuju, tapi itu masalahnya. Gue nggak mau ambil pusing soal Mama.” “Nggak bisa gitu lah, Claire,” sergah Yolanda dengan gemas seraya menuding ujung hidungku dengan telunjuknya. “Restu mama adalah doa terbaik.” “Yeah,” sahutku malas sembari memelintir ujung kucir rambutku. “Sekarang lo kedengaran kayak tulisan yang ada di bak truk-truk.” “Ngawur! Lo, sih, sukanya serba santai sama nyepelein semuanya,” dia mencerocos lagi. “Kalau gue jadi lo, gue bakal pikirin matang-matang pilihan gue.” “Jelas gue udah pikirin ini matang-matang, Yol. Aneh dah lo.” “Gue masih ingat pas pertama kali ngirim surat lamaran ke perusahaan ini, terus nunggu panggilan yang kelewat lama datangnya. Waktu itu gue lagi….” Dia mengabaikanku dan terus mencerocos. Aku tidak mendengarkan sisa omongannya, karena, sumpah demi apa pun yang bisa disumpahi, omelan Yolanda akan berlanjut bahkan sampai jam makan siang berakhir. Aku tidak punya waktu untuk itu. Jam makan siang ini harus kumanfaatkan untuk makan dan mengisi ulang tenaga yang tadi sempat terkuras setelah berkutat dengan pekerjaan. “…terus, Mark pernah bilang, sebelum dia ngelamar di kantornya sekarang, dia ngelamar di sebelas kantor lain!” Suara Yolanda terdengar samar-samar di antara riuh celoteh pengunjung kantin. “Eh! Es krim di menu ini rasa alpukat? Siapa, sih, yang kepikiran ngubah alpukat jadi es krim? Iyuh! Jijik! Kayak lo, Claire, jangan sampai bikin kombinasi ala kadarnya.” “Yol, gue nggak tahu lo ngomong apaan, tapi intinya, gue ogah dengerin.” Yolanda masih tetap membicarakan apa saja yang ada dalam kepalanya—kutebak demikian, sebab kata-kata terus mengalir dari mulutnya dengan lihai. Kusangka, dia ini sudah merancang dan merencakan segala yang ingin dia ucapkan dalam sebuah skrip dialog tak terlihat dalam kepala yang terproyeksi ke mata dan disalurkan ke lidah. Lucu sekali kalau ada orang lain yang punya kinerja tubuh serupa dengannya. Kujamin, kantor ini pasti akan seramai pasar malam plus alun-alun dijadikan satu. Sementara Yolanda masih mengoceh, aku kembali memperhatikan berkas-berkas di meja. Rasanya, sesuatu yang panas dan berat memenuhi d**a hanya dengan melihat berkas-berkas itu. Maksudku, kenapa aku harus terjebak dalam kubikel kecil ini dan memandangi komputer selama berabad-abad sedangkan sebenarnya aku punya passion di bidang lain yang lebih kusukai. Lalu, semua itu beralih pada keputusanku melamar di kantor ini dan kenapa aku mau-mau saja menjabat tangan bos ketika pernyataan bahwa aku lolos seleksi sebagai karyawan di sini. Rasanya sangat memalukan sampai aku ingin menghilang saja. “Claire, lu dengerin gue, nggak, sih?” Yolanda protes. “Percuma kali gue udah ngomong panjang kali lebar kali volume, kalo lo nggak dengerin sama sekali!” Aku diam. “Denger, ya! Gue ini ngomong dari hati nurani langsung!” sergah Yolanda dengan emosi—apalah aku tidak peduli—menggebu-gebu. Wajahnya memerah seperti tomat. Ditambah riasannya yang kelewat tebal nyaris mirip pondasi jembatan zaman Belanda, dia kelihatan semakin merah mirip habis ketumpahan cat tembok. “Sebagai sahabat lo, gue cuma mau yang terbaik buat lo! Kalo lo mau sukses, lo harus bergerak! Nggak ada, tuh, orang sukses yang nggak bergerak sama sekali! Ada, ding! Menang judi online! Tapi habis itu kalah telak dan duitnya dibawa kabur padahal udah pasang taruhan segede-gedenya ego manusia! Mampus, nggak, tuh?” “Apaan, sih?” sergahku sambil mengacak kucir rambutku. “Gue ngomong apa, lo balesnya apa. Nggak jelas bener!” “Pokoknya, kalo lo butuh support atau apa pun, lo nggak usah cari jauh-jauh.” Dia menepuk dadanya pelan. “Ada gue yang bakal selalu ada buat lo! Gue udah belajar ke mana-mana soal mendukung sahabat supaya sukses. Efeknya nggak cuma ke lo, tapi bakal ke gue juga! Menurut buku yang gue baca—eh, bukan buku ding. Menurut info yang gue sadur dari Instagram....” Demi Tuhan, aku benci diceramahi seperti ini! Rasanya seperti sedang terjebak di mimpi buruk sepanjang hayat! Ceramah Yolanda bahkan semakin lama semakin tidak sinkron dengan curhatanku tadi. Mungkin sebaiknya aku tidak memberitahu Yolanda soal ketidaksetujuan Mama. Oh, siapa pun, bangunkan aku dari mimpi buruk ini!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD