CHAPTER 2

1046 Words
Biar kuceritakan sedikit sejarah tentangku dan bunga-bunga. Dulu, saat aku masih sebelas tahun, kami punya sepetak tanah di samping rumah. Aku melabelinya sebagai kebun pribadiku. Awalnya aku tidak tahu harus menanam apa di kebun kecil itu, hingga aku menemukan sekaleng jagung pakan ayam di lemari dapur. Mungkin papaku yang menyimpannya karena dia memelihara dua ekor ayam bekisar bersuara berisik di halaman depan rumah. Aku ingat pada ucapan guruku di sekolah bahwa jagung-jagung pipilan itu adalah biji yang bisa tumbuh menjadi pohon jagung. Maka, aku mengambil segenggam dan kutanam di kebun pribadiku. Dua minggu kemudian, pohon-pohon jagung tumbuh tinggi di sana. Kata papaku, itu jagung yang kutanam. Kini, setelah aku dewasa, aku tahu bahwa papaku bohong. Jagung pakan ayam, yang pastinya sudah dikeringkan dan mati, mana bisa tumbuh! Paling-paling, papaku yang menanam jagung itu supaya dikiranya aku ini berbakat berkebun. Bah. Tetapi, aku tidak suka pohon jagung. Tidak ada bunganya! Hanya batang mirip gabus setinggi dua meter dengan dedaunan melengkung mirip lidah monster. Setelah pepohonan jagung itu mati, aku memikirkan benih lain yang pantas ditanam di sana. Saat aku memperoleh benih bunga anyelir dari majalah anak-anak populer kala itu, aku menanamnya di kebun. Kukira, mudah menumbuhkan anyelir seperti menumbuhkan jagung. Nyatanya, setelah dua minggu lebih berlalu, hanya tunas anyelirnya saja yang tumbuh dan akhirnya mati kering. Papaku bilang, jika ingin mendapatkan sesuatu yang indah, kita harus bisa sabar sesabar mungkin sampai p****t kita melebar melebihi batas. Ya, aku tahu itu kedengaran gila, makanya aku tidak mau sabar-sabar karena pantatku ini sudah selebar stadion. Sejak kegagalanku menanam bunga anyelir sialan itu, aku memutuskan untuk membeli saja. Kebiasanku ini dimulai sejak SMA. Aku sering membawa pulang pot berisi bunga, lalu meletakkannya di sekitaran rumah dan membiarkannya begitu saja. Tidak kusiram, tidak kuapa-apakan. Oke, aku memang munafik soal merawat sesuatu yang kusayang. Banyaknya pot bunga yang kukoleksi akhirnya menyesakki rumah. Cain yang waktu itu masih SD dan menyukai kucing selalu membawa kucing liar ke rumah. Kuberitahu, kucing dan tanaman bukan kombinasi yang tepat. Kucing menyukai lambaian pucuk tanaman atau dedaunannya yang menggelayut, lalu mereka akan mencakar dan menggigit hingga tanaman itu rusak berat. Karena waktu itu ada sangat banyak tanaman dan sangat banyak kucing garong, alhasil seluruh tanaman koleksiku hancur lebur. Parahnya lagi, sisa-sisa kehancuran itu harus kubersihkan hingga tuntas. Sejak saat itu, aku tidak pernah membawa pot apa pun lagi. Namun, aku tetap suka bunga. Untuk memuaskan hasratku, aku beralih pada bunga potong yang bisa didapatkan dengan mudah dari toko-toko di kota. Aku juga membeli vas-vas keramik dan plastik untuk memperindah kamarku yang membosankan. Bunga-bunga potong itu tak sulit dirawat. Hanya perlu mengganti airnya setiap dua hari sekali. Ketika bunga akhirnya sudah layu total, aku membuangnya dan menggantinya dengan bunga baru. Ketika bunga-bunga potong yang kubeli sudah terlalu banyak sampai orangtuaku menyebutku terobsesi pada bunga, aku merangkainya menjadi buket-buket. Buket-buketku hancur total, jelek tak keruan, dan konyol semua. Saking kacaunya, aku ingin menjejalkan buket-buket itu kardus, membebatnya dengan lakban hitam, lalu melemparnya ke laut. Lantas, karena pemikiran itu tololnya minta ampun, aku mempelajari cara merangkai bunga dari internet. Lambat laun, rangkaian yang menyeramkan berubah menjadi menjanjikan. Aku menjual rangkaian-rangkaian itu ke teman-teman di sekolah dan kampus untuk menambah uang saku. “Claire?” Dari ekor mata, aku melihat Mama membuka pintu kamarku dan melangkah masuk. Dia tampak lesu. Bahkan tatapannya seolah menggambarkan keletihan bukan main. Agak aneh, sebab mamaku ini pensiunan dan kerjaannya tiap hari cuma nongkrong di mal dan ngerumpi bersama teman-temannya—tipikal emak-emak gaul yang punya segudang follower di medsos dan hobi ber-t****k-ria lengkap dengan filter-filter aduhai. “Kenapa, Ma?” tanyaku tanpa beralih dari kesibukan merangkai bunga di meja. “Mama bukannya gimana sama keputusan kamu,” Mama tiba-tiba berkata seperti itu selagi langkahnya terdengar mendekat. “Mama cuma khawatir saja.” Aku berpaling dari rangkaian mawar merah, krisan kuning, serta beberapa baby’s breath putih sebagai pengisi kekosongan ruang di antara mawar dan krisan. “Iya, aku tahu. Tapi aku udah putuskan ini, Ma.” Mama memandangi buket di tanganku. “Kamu balik ke kantor saja, Claire. Lebih terjamin daripada merangkai bunga.” “Memangnya aku bisa jadi apa di sana?” balasku ketus. “Jadi kacung seumur hidup itu nggak ada dalam daftar kegiatan menyenangkan yang mau kujalani.” “Kerja di kantoran bukan berarti jadi kacung, Claire!” Sesuatu dalam dadaku menggerobok. Mendadak saja, aku menyelesaikan kesibukan merangkai buket ini, dan menoleh Mama. “Aku nggak suka diperintah-perintah, Ma,” kataku, berjuang keras menahan amarah yang nyaris meledak dari d**a dan kepala. Wajah Mama memerah, bibirnya melengkung ke bawah. Dia membuang wajah, dan menghela napas panjang serta berisik sampai kukira ada badai lokal di kamarku. “Kamu ini, dari dulu selalu saja begitu. Memutuskan sesuatu sendiri lah, begini sendiri lah.” Mama mengusap rambutnya dengan gelisah. “Kamu masuk ke kantor yang sekarang ini juga, kan, keinginanmu sendiri.” “Yeah, karena aku butuh pekerjaan dan uang.” Aku memutuskan untuk kembali merangkai buket, ketimbang larut dalam ucapan Mama yang jelas membuatku ingin menghambur pergi dari kamar. Mama sebenarnya baik—jelas, semua orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya. Mama juga demikian. Namun, tetap saja, aku merasa kalau ini sudah saatnya aku menentukan jalan hidupku sendiri. Aku sudah dewasa. Aku bisa menentukan pilihan sendiri. Mungkin memang akan gagal, tapi tidak ada salahnya mencoba. Pengalaman memang mahal, tapi karena itulah pengalaman jadi berharga. Paling tidak, dengan adalanya pengalaman di tangan, di percobaan berikutnya, aku tidak akan merugi atau terbodohi. “Claire,” kata Mama tegas. “Mama cuma mau yang terbaik buat kamu.” Benar, kan? Aku tidak membalas. Tanganku mulai kembali sibuk dengan selotip putih bening yang kuikatkan ke tangkai bunga. Lalu, aku mengambil gunting seng besar untuk memotong ujung-ujung tangkai. Potongan tangkai berjatuhan ke lantai kamar. “Kamu tahu, kan, orangtua itu selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Begitu pula Mama,” lanjut Mama. Kurasakan satu tangannya menempel di bahuku. “Kalau Mama memang mau yang terbaik buatku, izinkan aku jalan di pilihanku sendiri,” putusku cepat. Tangkai buket di tanganku telah rapi terpotong, dan kini aku membebatkan tisu basah di pangkal tangkainya lalu memasukkan tangkai-tangkai itu ke dalam plastik kecil. Mama terdiam selama beberapa detik penuh. “Ya sudah. Mama cuma berharap yang terbaik buatmu, Claire.” Kemudian, setelah mengatakannya, Mama meninggalkanku sendiri di kamar. Jujur, ada sedikit perasaan aneh menyergap hatiku setelah mendengar ucapan Mama. Aku tahu, Mama masih sungkan setengah mati membiarkanku menjalani pilihanku. Aku tahu, Mama tidak rela membiarkanku lepas dari pengawasan dan setirannya. Tapi, Ma, ini sudah saatnya aku tumbuh dewasa dan menentukan jalan hidupku sendiri. Bye.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD