PART 5

1143 Words
06.57 AM Zahra keluar dari ruangannya dengan napas lega. Dia lega karena pekerjaannya sudah selesai, dan akan pulang hari ini juga. Kantuknya sudah tidak bisa ditoleransi lagi, karena tidur Zahra hanya beberapa jam saja sejak jam kerja malam berakhir. Dengan langkah pelan dan juga senyum diwajahnya, senyum yang selalu menyempurnakan wajah cantiknya. Zahra berjalan berniat untuk menuju parkiran. "Ini hari yang sangat melelahkan." "Zahra." teriak seseorang dari belakang. Membuat Zahra membalikkan badannya. "Assalamualaikum dulu." kata Zahra sebelum pria didepannya ini berbicara. "Hm assalamualaikum Zahra." salam pria tersebut sehingga membuat Zahra tersenyum geli. "Waalaikumsallam Dokter Andi. Ada apa ya?" "Cuma mau tanya aja, gimana sama lamaran saya waktu itu. Kamu udah ada jawaban apa belum?" tanya dokter Andi mengutarakan isi hatinya. Memang, sebelumnya dokter Andi sudah menyatakan perasaannya dan melamar Zahra dihadapan kedua orang tua Zahra. Tapi, sampai sekarang Zahra belum memberikan jawaban. Sedangkan Abi dan Umi nya sudah menolak lamaran dokter Andi, jauh sebelum Zahra memberikan jawaban. "Maaf ya, dokter Andi. Saya rasa, saya gak bisa terima lamaran dokter. Maaf sekali lagi dokter." sesal Zahra. Dokter Andi hanya menampakkan wajah lusuh, pertada ia kecewa. Sudah cukup ucapan Zahra menjelaskan semuanya, lagipula dia cukup sadar diri jika kedua orang tua Zahra tidak menyukainya sejak dulu. Mungkin, sejak dirinya mengutarakan perasaan pada anak perempuannya. "Kalau begitu saya pamit pergi dulu Zahra." Zahra mengangguk mengiyakan. Setelah kepergian dokter Andi, dia menghela napas kasar. Sungguh, Zahra merasa tidak enak hati. Dokter Andi adalah orang yang baik, agamanya tidak diragukan, pekerjaannya halal, tampan iya. Tapi, Zahra tidak mau membuat dokter Andi dalam masalah besar jika ia menerima pinangan itu. Selain orang tuanya menolak, Vade juga akan berbuat yang tidak-tidak jika Zahra nekat menerima lamaran itu. Setelah terdiam beberapa menit, Zahra kembali melangkahkan kaki menjauhi ruangannya. Sudah cukup hari ini otaknya berpikir dengan keras. Tidak mau memikirkan apa-apa lagi, Zahra berniat meminta izin untuk pulang ke rumah. Mungkin, tidur di rumah bisa menyegarkan kembali dirinya, dan juga pikirannya. Zahra melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Setelah menemukan mobilnya, ia langsung masuk dan mengemudikannya dengan kecepatan sedang. Hanya butuh waktu satu setengah jam, kini mobil Zahra sudah terparkir manis di halaman rumah. Rumah minimalis berlantai dua, dengan halaman yang cukup luas didepan dan belakang. Apalagi banyak tanaman yang tumbuh indah disekitarnya. Zahra keluar dan langsung memasuki rumahnya, "Assalamualaikum Umi." "Waalaikumsalam nak. Pasti capek ya, mau makan atau langsung tidur?" tanya Umi kepada Zahra. "Tidur Umi, Zahra lelah sekali." "Ya udah kalau gitu. Oh iya, besok Vede mau ngajak kita buat ketemu kedua orang tuanya. Kamu minta cuti sehari, bisa kan?" Zahra terdiam, kenapa hubungannya dengan Vade semakin serius saja. Bahkan Zahra sendiri sudah memutuskan untuk menghentikan pernikahan ini. "Abi dimana Umi?" "Abi lagi beli bibit bunga, bunga dihalaman belakang pada layu semua. Palingan bentar lagi juga balik." jawab Umi--Syida. Zahra mengembuskan napas panjang, menarik lengan Umi untuk mengikutinya ke dalam kamar. Mungkin ada harapan jika Umi nya akan mengerti isi hati dan kemauan Zahra. "Umi, Zahra gak mau minta apa-apa sama Umi. Udah banyak pria yang datang ke rumah buat kamar Zahra kan, termasuk dokter Andi. Mereka agamanya baik, kepribadiannya juga baik. Apa yang buat Umi dan Abi menolak mereka?" tanya Zahra saat keduanya sudah berada dikamar dengan nuansa biru putih. Terlihat Syida--Umi nya menatap kearah lain. "Vade udah jadi tunangan kamu nak. Orang yang udah dilamar, gak boleh nerima lamaran orang lain." "Tapi Zahra belum nerima lamaran Vade. Hanya Abi dan Umi yang bilang iya, bukan Zahra!" "Kamu tau kan seberapa besar bantuan yang diberikan Vade untuk Abi dan Umi. Rasanya gak ada salahnya menerima lamaran dia, lagipula dia pria baik-baik dan penyayang. Sayang kalau pria seperti dia ditolak." Zahra menggenggam kedua tangan Umi nya, memberikan tatapan sayu berharap dan sangat berharap Umi nya itu mengerti apa yang Zahra inginkan. "Kalau Zahra bilang Vade itu bukan pria baik-baik, apa Umi bakalan percaya?" "Apa maksud kamu?" tanya Syida. "Umi, jujur Zahra keberatan dengan ini semua. Entah dari mana Zahra mau cerita ke Umi, intinya Vade itu bukan pria baik-baik. Dia gak sebaik yang Umi lihat, dia hanya pencitraan aja Umi. Nyatanya, Zahra sendiri udah tau gimana sifat seorang Vade." jelas Zahra. "Gak mungkin nak. Vade itu--" "Selalu ini yang Abi dan Umi katakan kalau Zahra bicara yang enggak-enggak tentang dia. Nyatanya semua itu benar Umi, apa Umi akan percaya kalau Zahra katakan, Vade pernah nampar Zahra?" tanya Zahra. Jika sekarang pun Umi nya belum percaya, maka Zahra dan pemikirannya akan pergi saat hari pernikahan itu tiba. Iya, itu harus! °•°•°•°•° "Ma, Zen besok mau pulang, lagian kata dokter kan udah boleh pulang." pinta Zen yang saat ini sedang rebahan diatas ranjang rumah sakit. Zalen yang sedang membaca majalah pun mendongak menatap sang anak, "Dua hari lagi kamu baru boleh pulang. Sekarang kamu harus istirahat, dan jangan memikirkan tentang pekerjaan. Lagipula ada papa kamu yang handle semuanya." Zen memutar bola matanya jengah, sudah dapat ditebak jika mamanya itu pasti tidak mengizinkannya untuk pulang dari rumah sakit. Padahal dokter sendiri tadi sudah mengatakan jika dirinya boleh pulang besok, atau-- "Lusa." lirih Zen. "Udahlah Zen, dua hari lagi kamu pulang, titik. Jangan bantah, itung-itung mama juga bisa ketemu dokter cantik itu lagi. Dokter itu cocok loh Zen jadi menantu mama. Kayaknya mama sreg deh sama dia, manis terus cantik. Kayaknya solehah." ucap Zalen. Sedangkan Zen terkejut bukan main. "Ma, lagipula mama baru ketemu dia sekali. Enak aja minta jadi menantu, emang dokter Zahra nya mau jadi menantu mama. Udah deh ma, mending mama lanjut baca aja." protes Zen. "Ya kan kalau pertemuan pertama emangnya kenapa? Kan gapapa kali." bantah Zalen. Zen--yang bernotabe anak semata wayang itu hanya memutar mata malas. Tak biasanya sang ibu seperti ini. "Ma, perempuan diluaran sana masih banyak. Bahkan lebih cantik dari dia, tapi kenapa mama malah sreg sama dokter itu?" Zalen yang semua sibuk dengan majalah nya. Kini mendongak dan menatap Zen dengan senyum sumringah. Ini pembahasan langkah antara Zen dan Zalen. Karena selama ini mereka paling anti membicarakan topik seperti ini. Dan ini kali pertamanya bagi Zen, mendapati ibunya suka dengan perempuan dipandangan pertamanya. Aneh! "Oh sejak kapan seorang Zen menilai seseorang dari fisiknya? Bukannya kamu pernah bilang, sebagus-bagusnya penilaian, adalah penilaian hati. Dan kenapa mama gak tertarik atau sreg sama perempuan luaran sana? Karena dari tatapan dan pandangan mama, mereka belum memenuhi kategori yang cocok buat mama. Lagian ini masalah hati Zen, kalau mama suka ya mama setuju. Omong-omong, dia pasti mau jadi menantu mama. Kalau kamu mau mama bisa lamar dia buat kamu kok." Hampir saja Zen tersedak air liurnya sendiri. Apa-apaan ini, melamar? Sangat tidak lucu. Bertemu pun baru beberapa kali, itupun karena kesalahpahaman. "Udah-udah ma, lebih baik mama diam dan kembali baca majalah aja. Jangan mikirin dokter itu lagi, oke!" "Tap--" "Gak ada tapi-tapian!" ^•^•^•^•^ Bacaan apapun, yang lebih utama adalah Al-Qur'an Follow i********: : alivinad
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD