PART 2

1042 Words
"Aaaaaaaa..." Teriakan spontan itu membuat Zahra terkejut bukan main. Sedangkan jarum suntik nya sudah terlempar entah kemana, karena tangan pasien pria itu menyentak tangan Zahra yang memegang jarum suntik. Alhasil suntikkan itu terlempar jauh. "Apa yang Anda lakukan." bentak pria itu. Tak ayal membuat Zahra terkejut. "Saya hanya menyuntikkan obat penenang. Supaya Anda gak kejang lagi." jawab Zahra. Zahra sendiri menatap nyalang pasien pria itu. "Gila saja. Kenapa saya harus disuntik obat penenang?" tanya Zen murka. Karena wanita didepannya sudah mengganggu tidurnya. Ya, dia Zen. Pria yang beberapa jam lalu berdebat dengan kedua orang tuanya. Zen merasa ini bagaikan kesialan untuk yang kedua kalinya. Setelah masuk rumah sakit dan harus rawat inap, sekarang dirinya disuntik obat penenang agar tidak kejang? "Sahabat saya adalah dokter yang bertugas memeriksa Anda, meminta saya untuk menggantikannya dan dia bilang, jika Anda sering kejang, dan untuk menenangkannya saya disuruh menyuntikkan obat penenang. Dan sekarang apa, Anda menyentak tangan saya dan itu membuat suntikan nya terlempar." kesal Zahra. Meskipun dia perempuan lemah lembut, tapi jika ada orang menyebalkan, itu pasti membuat Zahra emosi sendiri. "Apanya yang kejang. Saya disini karena drop, kelelahan bekerja dan telat makan. Bukan kejang, Anda pikir saya akan mati apa sampai kejang-kejang segala." sewot Zen. Ia berusaha bangun dari tidurannya. Sedangkan Zahra hanya terdiam dengan alis yang mengkerut. Ia tidak paham ini, apa pasien ini gila? Kenapa pasien ini tidak mau mengakui bahwa dia sering kejang-kejang? Apa-apaan ini, kenapa bisa Salwa mendapat pasien seperti ini. Menjengkelkan. "Maaf pak, kata dokter Salwa Anda sering kejang-kejang. Dan untuk hal ini, saya hanya ditugaskan untuk menyuntikkan obat penenang pada Anda. Karena saya hanya membantu dokter Salwa, yang saat ini gak bisa memeriksa Anda." jelas Zahra lagi, mencoba bersabar. Ia tidak mungkin juga balas membentak ataupun berteriak. Itu bisa merusak image seorang dokter dihadapan pasiennya. "Saya gak pernah kejang-kejang. Asal Anda tau itu. Camkan sekali lagi, saya gak pernah kejang-kejang." ucap Zen dengan penuh penekanan di akhir kalimat. "Dokter siapa yang menyuruh Anda?" tanya Zen mencoba tenang. Pria itu sudah geram sendiri saat tidurnya diganggu seperti ini. "Dokter Salwa. Karena dokter Salwa adalah dokter yang menangani Anda bukan." jelas Zahra yang membuat pria didepannya menyengritkan kening. "Dokter Salwa? Perasaan dokter yang menangani saya bukan dokter Salwa, melainkan dokter yang bernama Hilda." ucap Zen dengan penuh penekanan disetiap katanya. "Dokter Hilda? Itu gak mungkin, kalau benar dokter yang menangani Anda dokter Hilda. Jadi siapa pasien yang ditangani dokter Salwa?" Zahra bingung dengan ini semua. Tak mau bertambah bingung, Zahra langsung mengambil ponselnya berniat menelfon Salwa. "Ya saya gak tau." "Sebentar, saya akan telepon dokter Salwa." ucap Zahra. "Ya, silahkan Anda hubungi dia." sahut Zen malas. Tangannya yang satu sibuk mengelus lengannya yang terkena suntikan. "Assalamualaikum Salwa." sapa Zahra ketika panggilannya dijawab. "Waalaikumsallam ada apa ya? Oh iya Zahra, aku baru saja ingat kalau pasien ku ada di kamar inap nomer 57 bukan 67. Maaf ya, kamu belum kasih suntikan kan?" tanya dan jelas Salwa dari sebrang telepon. Sedangkan Zahra yang mendengarnya menjadi diam, mematung ditempat. Bagaimana bisa sahabatnya ini salah memberi informasi. Berarti dugaannya benar jika Salwa salah memberi tahu kamar pasien. "Ya Allah Salwa. Aku udah suntik dia, astaghfirullah kamu buat aku dalam masalah besar." lirih Zahra. Perempuan itu masih belum berani menatap Zen, yang saat ini tengah menatapnya dengan tajam. "Maaf Zahra. Sumpah demi Allah aku gak tau Zar. Maaf sekali lagi ya." pinta Salwa, ia merasa bersalah dengan Zahra. "Ya udah deh, gapapa." sahut Zahra dengan nada lemas. "Besok aku yang minta maaf, janji deh. Aku tutup dulu ya telepon nya?" Zahra langsung mematikan telepon nya dan menatap takut pria yang kini ada dihadapannya. "Saya minta maaf." "Benar bukan kata saya. Saya gak pernah kejang." "Iya Anda benar. Ternyata dokter Salwa salah memberi tahu nomer kamar pasiennya." jelas Zahra takut-takut. Ia sangat merasa tidak enak saat ini. Zen terdiam cukup lama. Ia menatap dokter yang menunduk itu, "Ya, saya memaafkan Anda. Lagi pula dokter Salwa kan yang salah." ucap Zen, ia tidak mau memperpanjang masalah. Zahra langsung mengangkat wajahnya, yang semula menunduk kini terangkat menatap pria didepannya dengan senyum yang mengembang. "Terima kasih." ujar Zahra sangat tulus. "Sama-sama." jawab Zen. "Lain kali jangan ulangi lagi, itu bisa merugikan pasien. Bisa-bisa Anda dituntut karena kesalahan seperti ini." "Bisakah Anda keluar dari kamar inap saya? Saya ingin beristirahat lagi." lanjut Zen. "Tentu. Permisi." Zen hanya menganggukkan kepalanya dan terus menatap dokter perempuan tersebut, sampai pintunya tertutup. "Huh, mengganggu tidur aja. Untung baik hati, kalau enggak udah aku tuntut itu." Zen langsung kembali merebahkan tubuhnya dan menutup seluruh tubuh dengan selimut rumah skait. Ia berharap rasa sakit suntikan ini, besok pagi akan menghilang. "Suntikan yang mengerikan." gumam Zen sebelum menutup matanya ****** Setelah menutup kamar nomer 67, Zahra langsung berlari menuju ruangannya. Ia sungguh malu dengan pasien pria itu, benar-benar malu. Zahra semakin menambah kecepatan larinya, agar segera sampai di ruangannya. Tanpa memperdulikan tatapan para perawat, dokter ataupun orang-orang yang berada disana. Zahra tetap berlari seperti orang yang baru saja melihat hantu. "Huft lelah sekali." gumam Zahra ketika sudah masuk ke dalam ruangannya. "Ini semua salah Salwa. Untung aja dimaafin, kalau enggak gimana itu nasibku. Ah pastinya aku bakal kena masalah yang lebih besar." "Zahra bodoh. Ini memalukan." maki Zahra pada dirinya sendiri. "Gimana kalau aku ketemu dia lagi? Ya Allah ditaruh mana muka ku, asli malu banget. Semoga dan semoga, besok gak ketemu dia lagi, aamiin." harap Zahra. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan, jika ia bertemu kembali dengan pria tadi. "Ini pertama kalinya bagiku. Pertemuan pertama yang memalukan dengan pasien." Zahra langsung menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangan, mulutnya masih komat-kamit tidak jelas. Ingin memarahi Salwa, tapi dia juga yang salah. Seharusnya kalau tahu Salwa masih ragu, dia harus menunggu Salwa konfirmasi lagi. Atau kalau tidak, dia yang kembali menghubungi Salwa. Bodoh, dan juga memalukan. "Semoga cairan yang masuk tadi gak berefek samping apapun. Meskipun dikit, sumpah bikin aku takut." "Ah Zahra, coba aja kamu lebih--" Zahra sudah merengek tidak karuan, bukan masalah apa-apa. Dia hanya takut kalau masalah ini sampai menyebar, atau yang lebih parah suntikan tadi berefek samping. Ya meskipun hanya sedikit cairan yang masuk, siapa tahu kan? ^•^•^•^•^ Bacaan apapun, yang lebih utama adalah Al-Qur'an Follow ** : alivinad
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD