BAB 2 : MAK LAMPIR DAN PASUKAN DAKJAL

1024 Words
Pulang kerja saat sore itu adalah hal yang paling langka untuk Jelita, bisa merebahkan tubuhnya sejenak yang seharian diajak berkerja juga hadiah berharga untuknya sebelum nanti malam ia kembali bekerja shift malamnya, karena tuntutan kebutuhan hidup Jelita membagi-bagi tenaganya, pagi hingga siang ia bekerja di toko roti, siang hingga sore ia bekerja di swalayan sore hingga waktu maghrib menjelang ia bekerja di warung cathering, bila sore itu waktunya masih tersisa untuknya bisa pulang ia akan pulang sejenak untuk mengistirahatkan badannya dan membersihkan diri, sehabis isya Jelta kembali berangkat kerja di kafe dengan shift malam. Jelita harus selalu memastikan waktunya dan mengatur waktunya agar bisa ia bagi-bagi, entah kenapa hari ini badannya benar-benar letih, badannya terasa lemas namun selesai adzan isya berkumadang ia harus segera bersiap untuk kembali kerja hingga pukul sebelas malam, hidup Jelita selalu berputar di pekerjaannya dan menghasilkan banyak uang untuk hidupnya, ayahnya, dan juga memberimakan Mak lampir dan pasukan dakjal siapa lagi kalo bukan Ibu tiri dan saudara tiri Jelita. Gadis cantik itu menggulingkan badannya menatap langit-langit kamarnya yang tak begitu luas itu, angannya melayang, berjalan-jalan tanpa keinginan si pemilik, dan kalimat-kalimat pengandaian mulai tertanam dibenak Jelita. Seandainya Seandainya Seandainya Se an d ai nya... Kelelahan aktivitasnya membuatnya ia ingin menyerah, tapi keadaannya tak mengijinkan Jelita untuk menyerah untuk tetap berjuang. Ia iri dengan teman-temannya bisa berhahahihi kumpul bersama tapi karena keadaan ia berjuang sekuat mungkin. “Capek banget rasanya, pengen nikah aja rasanya—tapi kalo nikah sama siapa? Pacar aja nggak punya boro-boro, kalo di ajak kawin pangeran aku mau deh jadi selirnya juga ngga apa-apa.” gumam  Jelita pada dirinya sendiri “Enak banget keknya ya jadi simpenan sugar deddy, minta uang di transfer, minta rumah di beliin, minta mobil di oke’in, aku bisa makan tiga kali sehari saja sudah untung.” gumam Jelita lagi semakin melantur Sangking asiknya berimajinasi Jelita hampir lupa mandi bila tak ada alarm yang mengingatkannya, akhirnya mau tak mau Jelita bangkit dari tempat tidurnya dan bersiap untuk mandi. ■■■ Jelita hampir saja terlambat, ternyata saat ia bersiap akan mandi sayangnya kamar mandi yang biasanya kosong itu tengah di gunakan saat Jelita menggedor-gedor suara teriakaan dari dalam menyahut dan yang menggunakan ternyata Rasmi—pengikut dakjal—oh bukan adik tiri yang tak ia anggap. “Rasmi bisa cepetan dikit nggak? Mbak udah mau telat ini.” “Bentar nanggung—ganggu aja sih, nggak usah mandi aku masih lama!” balas Rasmi dengan suara lantangnya. “Ya nggak bisa dong, aku harus tetap mandi. Cepetan Rasmi!” teriak Jelita tak kalah keras. Akhirnya yang di tunggu keluar juga, mandi saja adknya itu memerlukan satu jam sebenarnya ia melakukan kegiatan di kamar mandi? Jelita saja hanya cukup membutuhkan waktu lima belas menit untuk mandi. Tak ingin semakin mengulur waktu Jelita lekas masuk ke dalam kamar mandi dan menunaikan niatnya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan dan dia benar-benar akan terlambat, hari yang sial bukan. Dengan cepat Jelta mulai menyiap diri dan juga baju seragam yang akan ia kenakkan nanti, Jelita menyambar baju ganti yang akan ia bawa. Di tengah jalan ia sedang menyiapkan diri untuk segera berangkat kamarnya di ketuk dari arah luar dengan tempo tak sabaran. Helaan nafas Jelitan terasa begitu keras, saat ia di buru waktu ada saja gangguan, akhirnya Jelita membuka pintu kamarnya agar si penggedor berhenti membuat kericuhan. “Ada apa?” “Minta uang, Mbak.” to the point Rasmi. “Buat apaan? Yang aku kasih minggu lalu kemana?” tanya Jelita saat Rasmi meminta uang padanya. “Ya udah abislah ini udah tiga minggu, masa harus utuh mulu!” sembur Rasmi. “Nggak ada uang, mbak belum gajian.” tolak Jelita. “Bohong kan lo?! Sini domper lo Mbak!” paksa Rasmi lagi. “Nggak ada tinggal ongkos pulang pergi gue,” Jelita masih tetap kekeh. Rasmi benar-benar manusia tak memiliki malu, sudah minta, maksa dan sekarang memaksa masuk ke dalam kamar Jelita, Jelita semakin di buat dengan tingkat Rasmi yang tak memiliki sikap sopan santun. Netra jelita terbelalak saat uang sisanya dua minggu ini di ambil semua oleh Rasmi, “Rasmi balikkin!” bentak Jelita saat Rasmi akan keluar kamarnya. “Nggak ini buat gue, gue udah nggak ada uang.” Enteng Rasmi. “Itu uangku, hakku ngapain lo ambil, balikin nggak!” berang Jelita lagi dan hap uang itu jatuh pada tangan sang Ibu tiri tanpa akhlak “Ma, uang buat Rasmi tuh.” “Iya ini Mama selamatin, nih—keluar dulu.” Lalita dengan enteng mengatakan hal demikian. “b*****t!” maki Jelita yang sudah tak lagi memerdulikan Mak lampir dan peranakan dakjal itu “Kamu bilang apa?” “b*****t!” jawab Jelita dengan jelas. “Anak sialan!” Tamparan kencang mendarat tepat di pipi Jelita, Jelita menatap dua orang itu dengan sesama dengan sorot mata kebencian. Ayahnya saja tak pernah memerlakukan Jelita sebegini tega, kenapa Ibu tirinya ini lancang menampar dirinya. “Ambil semua duitku, ambil—semoga enggak berkah!” maki Jelita kemudian menarik tasnya dan keluar ia sudah benar-benar terlambat dan memutuskan untuk seklian saja tak masuk kerja. ■■■ Hingga malam semakin larut Jelita tak juga beranjak dari duduknya, apes sekali ia hari ini, sudah tak memiliki uang, belum makan, apalagi penderitaannya. Sebenarnya Jelita memiliki tabungan tapi ia sengaja tak menggunakan atm karena ia takut akan tergoda mengambil tabungannya sebenarnya tak apa itu hak Jelita, uangnya. Ia tak ingin pulang tapi juga bingung akan tidur dimana, masak ia harus tidur di taman itu, menginap ke rumah temannya juga sungkan. Akhirnya Jelita memilih untuk pergi ke rumah Anjani sahabatnya yang selalu membantunya. Jelita melangkahkan kakinya keluar dari halaman taman, berjalan santai berharap ia tak pngsan di tengah ia berjalan, suasana malam itu benar-benar sepi—benar saja siapa yang masih mau berkeliaran di jam 12 malam. Suara motor lewat membuat Jelita meminggirkan jalannya. “Mbak Jeje!” panggil si pengendara. Jelita melengokkan kepalanya. “Wan, darimana?” “Ngerjain tugas Mbak, Mbak disini ngapain? Nggak kerja?” Jelita menggeleng . “Nggak, Mbak bolos gara-gara ibu sama Mbakmu—bikin Mbak terlambat dan terpaksa bolos.” Jelita menjelaskan sebab ia terpaksa bolos. “Ngapain lagi mereka berdua?” “Ya biasa minta uang, si Rasmi nekat ambil uang Mbak buat dua minggu ini.” aku Jelita pada Arwan—adik tirinya . “Nggak berubah juga dua orang itu—terus mbak mau kemana? Ayo sama Arwan aja.” Arwan menawari. “Nggak, Mbak mau ke kost Anjani aja Ar, nginep didis—“ “Nggak ayo sama Arwan aja, kita keliling.” Ajak Arwan. “Tapi udah malam, Ar besok kamu sekolah.” “Tenang aja, udah ayo ikut Arwan kita cari angkringan terus keliling Jogja, gimana.” Ajak Arwan lagi, “Yah—karena dipaksa ya udah deh ikut aja di traktir ini,” kekeh Jelita yang kemudian naik ke atas motor Arwan Disaat ia bingung harus kemana, ternyata pertolongan Tuhan tak boleh di sia-siakan, biarlah ini untuk menjadi ajang bahwa ia butuh refreshing untuk menghadapi esok, esok, dan esoknya lagi. ■■■
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD