BAB 3 : GADIS SEPATU SNEAKER’S

1071 Words
Pagi pukul lima Jelita dan Arwan baru saja sampai di rumah setelah semalaman mereka berkeliling jogja bahkan malam itu Arwan menawari Jelita untuk pergi ke Gunung Kidul namun Jelita menolak karena Jelita tahu nanti adiknya itu masih harus sekolah, maka Jelita memilih untuk berkeliling keseloroh Jogja, bermalam di tengah malam yang entah kenapa udaranya terasa sejuk. Sadana menatap dua anaknya itu dengan gelengan kepala, semalam ia sudah tahu dari cerita Lalita, Jelita pergi begitu saja saat tanpa pamit namun Sadana tak begitu percaya dengan apa kata Lalita melihat kamar putrinya sangat berantakan. “Dari mana saja kalian ini?” tanya Sadana meletakkan sapunya. “Keliling Jogja Pa, seru ternyata.” jawab Arwan. “Masuk sana mandi,” suruh Sadana. “Je, pipimu kenapa kok merah sebelah?” Sadana menyadari bahwa pipi sebelah kiri Jelita terlihat merah dan bengkak. “Anu—Pa—itu loh kemarin Jeje mandi keples—“ “Di tampar istri Papa.” jawab Arwan dengan lantang dan membuat Sadana semakin berang. “Arwan, kamu ini—enggak Pa bohong, Arwan.” “Lalita!” panggil Sadan dengan lantang dan tak memperdulikan kata Jelita. “Apa sih Pa, pagi-pagi udah ribut aja!” jawab Lalita dengan berjalan keluar dari dalam rumah. “Kamu apakan anakku!” berang Sadana dengan menunjuk Jelita. “Apakan apa? Maksud Papa apa sih?” Lalita berlagak bodoh. “Lihat dan perhatikan, Lalita, kamu tidak buta!” Akhirnya Lalita memutar pandangannya dengan memandang Jelita yang menunduk dalam, ia sengaja menyembunyikan pipinya. “Jelita dongakkan wajahmu.” Jelita awalnya masih menolak namun Arwan malah menyenggolkan tangannya pada lengan tangannya “Oh—kamu ngadu ke Papamu, Je. Dasar mulutmu itu perlu Mama oplas ya.” “Lalita!” “Apa sih, Lalita Lalita mulu ,” “Minta maaf sama Jeje cepat!” “Nggak!” tolak Lalita dengan mata berkobar dengan Jelita “Jelita, Arwan kemasi barang kalian ikut Papa cari rumah baru.” tegas Sadana. “Pa—“ Arwan dan Jelita berteriak tak percaya “Ikut Papa kalo kalian masih mendengarkan Papa.” imbuh Sadana lagi dengan menatap Lalita berang. Arwan dan Jelita segera masuk ke dalam rumah, melaksanakan perintah sang Ayah untuk segera mengemas baranngnya. ■■■ “Pa, jangan gini dong kalian mau pergi kemana,” Lalita menahan Sadana untuk tidak pergi. “Buat apa aku masih disini, aku punya istri tapi nggak pernah mau dengar apa kataku.” terang Sadana. “Aku minta maaf Pa, aku nggak akan begitu lagi.” “minta maaf sana sama Jelita yang sudah kamu tampar,” sahut Sadana yang masih tetap memasukkan baju ke dalam tas “Jelita kan yang salah Pa, dia nggak mau kasih uang buat Rasmi, masak sama adiknya aja pelit.” “Kalo Jelita nggak kasih berarti dia juga butuh uang, kamu kira Rasmi saja yang butuh uang, Lalita? Jelita juga butuh uang buat kebutuhannya, dia sudah mau jadi tulang punggung keluarga, membantuku mencari uang, menyekolahkan Arwan dan membantu biaya Rasmi, kurang apalagi Jelita, Lalita!” keluar sudah apa yang selama ini Sadana tahan. “Ya kan itu sudah kewajibannya sebagai anak membantu orangtua,” Lalita tak mau kalah. “Kalo kewajiban membantu orangtua seharusnya kamu juga kasih tahu ke Rasmi buat ikut jejak Jelita yang bekerja paruh waktu, bukan malah memanjakannya saja.” “Ya terus kenapa Rasmi anak-anakku kok,” “Oke, memang sepertinya kita sudah tak lagi untuk cocok tinggal berdua Lalita.” Sadana sudah selesai merapikan bajunya di tas jinjingnya untuk di bawanyanya pergi, menarik tas itu untuk dibawanya dan keluar dari kamar. “Pa, nggak bisa begini dong!” “Bisa, karena aku membela yang benar dan baik.” tegas Sadana “Je, Ar udah kalian muat semua?” kedua anak Sadana—Jelita dan Arwan mengangguk “Kita pergi, sementara kita kontrak juga gapapa.” Ajak Sadana kemudian beranjak dari rumah yang sudah bukan dikatakan rumah itu. “Pa, Papa!!” ■■■ Meski Sadana tak memiliki uang banyak hanya ada beberapa tabungan yang cukup untuk ia gunakan menyewa rumah untuk sementara waktu. Mendapat rumah untuk berteduh pun sudah sangat bersyukur ia. “Sementara disini dulu ya, nanti Arwan tidur sama Papa, biar Mbak Jeje di kamar itu.” “Iya Pa, gapapa kalo aku sih bebas—Papa nggak ajak kami balik kesanakan?” tanya Arwan yang mendapat delikan Jelita. “Nggak, Papa sudah lama mau pergi dari sana akhirnya kita bisa keluar dari rumah itu, Papa ikhlas kasih rumah itu buat Mamamu dan Rasmi.” imbuh Sadana. “Ya sudah, sana pada siap-siap bekerja dan sekolah, Papa juga mau buka bengkel.” Sadana mengingatkan anak-anaknya untuk segera melakukan kegiatan seperti biasa.” “Siap, Papa!” sahut Jelita dan Arwan Setelah adegan pergi dari rumah tadi sama sekali tak mempengaruhi Jelita atau Arwan, bahkan adiknya itu terlihat sangat gembira sepertinya ia terasa terbebas dari Mak Lampir yang setiap kali mengoceh ini itu-tak boleh ini-itu. Langkah Nada terasa ringan juga, bebannya sedikit terangkat ia tak lagi memberikan uang bulanan yang jor-joran, uang kuliah jor-jor’an sekarang ia bisa lebih menghemat pengeluaran, menambah tabungannya dan biaya untuk sekolah Arwan dan tentu uang bantu pengobatan sang Papa. Pagi yang menjelang siang itu Jelita berjalan dengan sedikit cepat namun tak tergesa, hari itu ia mengawali pekerjaannya seperti biasa shift siangnya ia berada di toko kue, kemudian berlanjut ke catringan, meski harinya sibuk seperti hari-hari biasanya tapi langkahnya terasa sudah ringan. “Semoga si Nenek Lampir nggak lagi ngusik kehidupan baruku ini.” Langkah Jelita melambat saat tahu seorang ibu sedang berusaha mempertahankan tasnya dari seseorang asing yang menutupi separuh mukanya itu, jiwa pahlawan Jelita menguar begitu saja, gemas dengan laki-laki asing itu Jelita melarikan kakinya dan menedang tepat di punggung laki-laki itu hitungan detik jambred itu sudah lumpuh dan terguling bahkan tersedak. Berhasil dengan misinya si jambred lari dengan kencang sembari membawa tas sang Ibu karena si Ibu yang lengah gampang saja untuk si Jambred mengambil tasnya. “Jambred—woiiii!!!” teriak Jelita yang ikut berlari mengejar si Jambred Langkah Jelita berhenti menarik sepatu kesayangannya demi menolong orang tadi Jelita merelakan sepatunya untuk memukul kepala si Jambred. Brak.. “Mampus!” erang Jelita senang kembali berlari menghampiri si jambred dan mengambil sepatunya “Bawa Pak, bawa aja ke nereka sekalian jalur VVIP ikhlas saya, udah nyuri melarikan diri lagi, nggak ada akhlak dia!” maki Jelita dengan menggebu-gebu. “Siap Mbak, terima kasih ya sudah membantu.” ucapan si Pak pengamanan. “Sama-sama, Pak!” “Maaf, ini sepatumu?” suara lain mengalihkan Jelita. “Ah—iya Pa—Mas,” gugup Jelita. “Maaf itu tas Mama saya, terima kasih Mbak—sudah membantu.” Jelita memberikan senyumnya yang paling manis versinya. “Ah—ya ya—Mas sama-sama,” Gugup Jelita masih bertahan. Kemudian keduanya sudah saling berpisah dengan berlainan arah, Jelita ke arah kanan, laki-laki tampan tadi ke arah kiri. “Cinderella sepatu sneaker’s—cantiknya alami.” Batin laki-laki tampan itu. “Semoga Tuhan kasih kesempatan saya buat nikung kamu ya, Cinderella.” gumam ia lagi si laki-laki tampan ■■■
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD