2. Teman Si Ular Beraksi

1757 Words
Victoria terbangun dari tidurnya dan melihat Luke yang masih terpejam sembari memeluknya dari belakang. Meski begitu, Victoria tahu kalau kekasihnya itu telah bangun sejak tadi. Luke hanya tidak ingin membiarkan dirinya bangun seorang diri di pagi hari. “Bukankah kau harus pergi bekerja?” tanya Victoria menoleh ke belakang. “Menunggumu,” ucap Luke dengan suara berat dan seraknya yang terdengar begitu seksi walau matanya masih terpejam. “Bagaimana kalau aku bangun di sore hari?” tanya Victoria. “Kita hanya tidak perlu keluar kamar. Lagi pula, memelukmu seharian lebih baik dari apa pun,” jawab Luke kemudian mengecup bahu telanjang Victoria. Sontak jawaban Luke membuat Victoria tertawa malu. Ucapan Luke benar-benar selalu membuatnya berdebar. “Apa kau masih lelah?” tanya Luke lalu menghirup aroma Victoria di leher wanita itu. Mendengar pertanyaan itu, sontak wajah Victoria merona. Pria itu selalu menanyakan pertanyaan yang sama setiap kali mereka melakukannya. Jawaban Victoria pun juga selalu sama, yaitu gelengan kepala. Dan yang terjadi selanjutnya adalah .... “Kalau begitu aku akan memandikanmu,” ucap Luke sembari menggendong Victoria menuju kamar mandi. *** “Selamat pagi, Jane,” sapa Victoria ketika melihat Jane meletakkan dua buah piring sarapan di atas meja. “Selamat pagi, Nona,” balas Jane seraya tersenyum terlebih ketika melihat Luke yang mengekor di belakang. Dan itu adalah pemandangan indah yang selalu Jane lihat setiap pagi, kecuali saat Luke sedang melakukan perjalanan ke luar negeri. Victoria dan Luke duduk di kursi makan masing-masing lalu mulai memakan sarapan yang Jane buat. Keduanya makan sambil mengobrol ringan. Tak ayal Jane ikut ke dalam obrolan tersebut saat Victoria menyebut namanya. “Ayo, aku akan mengantarmu,” ajak Luke yang diangguki Victoria. Keduanya pun keluar villa lalu masuk ke dalam mobil. Tak membuang waktu, Thomas langsung mengemudikan mobil menuju gedung grup musik Victoria. Lagi, kemunculan Bentley hitam itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang keluar masuk di gedung. Beberapa orang bahkan mencoba hal yang sia-sia dengan mengintip ke dalam mobil. Karena, kaca mobil berwarna hitam pekat jadi tidak ada yang terlihat dari luar. Dan Victoria yang telah terbiasa dengan semua perhatian itu, kini lebih mudah mengabaikannya. “Aku masuk dulu,” pamit Victoria kemudian mengecup pipi Luke. Setelah itu, ia keluar dari mobil lalu masuk ke dalam gedung dengan berbagai tatapan yang tertuju padanya. Saat hendak masuk ke dalam lift, Victoria langsung berbalik ketika mendengar namanya dipanggil. Senyumnya pun langsung mengembang saat melihat seorang wanita berjalan menghampirinya. “Chloe,” sapa Victoria. “Seperti biasa, wajahmu terlihat ceria pagi ini,” balas wanita bernama lengkap Chloe D’Arc Walken tersebut. Chloe merupakan salah satu teman Luke ketika kuliah. “Apa kau ada waktu? Aku ingin bicara denganmu sebentar,” ucap Chloe. “Tentu,” ujar Victoria. Keduanya pun berjalan menuju cafe yang ada di gedung tersebut lalu duduk di meja kosong yang terletak di sudut ruangan. “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Victoria tanpa basa-basi. Chloe tersenyum. “Bulan depan perusahaan kami akan mengadakan festival tahunan dan aku ingin kau ikut berpartisipasi di festival itu. Apa kau bisa?” “Tentu saja. Aku tidak bisa menolak permintaanmu,” jawab Victoria tanpa pikir panjang. “Terima kasih,” ucap Chloe. “Kalau begitu, aku akan memberitahu gurumu tentang hal ini.” “Tidak perlu. Aku bisa membuat keputusan sendiri untuk masalah ini,” tolak Victoria. “Baiklah,” ucap Chloe yang bertepatan dengan 2 orang wanita menghampiri mereka. “Lama tidak bertemu Chloe,” sapa wanita berambut panjang, Benetta Carlise Theodore. “Bagaimana kabarmu?” sahut wanita lainnya, Patricia Jill Darlene. “Ya, begitulah,” balas Chloe tidak acuh. Terlihat jelas bahwa ia tak senang dengan kedua wanita tersebut, begitu pula dengan Victoria. Bukan tanpa alasan, pasalnya kedua orang tersebut adalah teman dekat Kakak Victoria yang tentunya tidak berhubungan baik dengan Victoria. Mereka berdua berada di tim A, tim yang sama dengan Kakak-nya. Sementara Victoria berada di tim B. “Aku ingat saat kau bernyanyi di festival sekolah dulu dan semua orang bersorak meriah untukmu,” ujar Patricia. “Itu sudah lama sekali,” ucap Chloe. “Tapi, penampilanmu malam itu masih yang terbaik hingga sekarang,” sahut Benetta. “Benar. Aku juga ingat saat Isabelle bermain piano dan Luke selalu menjadi penonton terdepan. Luke bahkan selalu menemani Isabelle latihan piano. Itu sungguh masa-masa yang indah,” sambung Patricia seraya tersenyum miring. “Kalian berdua harus berhenti bicara,” tukas Chloe dengan perasaan tak enak. Ia lantas melirik Victoria yang hanya memasang ekspresi datar. “Kenapa? Kami hanya ingin mengenang masa-masa sekolah dulu dan itu semua memang fakta,” ujar Patricia tersenyum licik menatap Victoria. Saat Chloe hendak membalas, semua perhatian tertuju pada mobil Bentley hitam yang berhenti di depan gedung. Seketika wajah Patricia dan Benetta yang tadinya tersenyum licik berubah kecut. “Aku pergi dulu, Chloe. Aku akan menghubungimu nanti,” pamit Victoria kemudian bergegas pergi menghampiri Bentley hitam itu lalu masuk ke dalam. Begitu Victoria duduk, lengan Luke langsung merangkul pinggang Victoria kemudian meletakkan kepala di pundaknya. Tak cukup dengan itu, Luke juga menarik sebelah tangan Victoria lalu mengecupnya. “Ada apa? Kenapa kau kembali?” tanya Victoria. “Kau melupakan ponselmu,” jawab Luke kemudian memberikan ponsel milik Victoria. “Ya, ampun. Aku tidak sadar telah meninggalkannya,” ujar Victoria. “Tapi, bagaimana kau akan memberikannya padaku jika kau tidak bisa menghubungiku kalau kau ada di sini?” “Aku akan menunggumu.” “Bagaimana kalau aku tidak keluar sampai pulang?” “Nyatanya kau di sini sekarang.” “Itu karena kebetulan aku masih berada di lantai bawah.” “Kalau begitu aku akan menunggu sampai kau datang.” “Dan kau tidak akan bekerja?” “Tidak ada pilihan lain.” “Kau bisa menyuruh Thomas memberikannya padaku.” “Thomas sangat pemalu, jadi dia tidak akan mau masuk ke dalam sana.” Sontak Victoria melirik Thomas melalui kaca spion tengah dan melihat pria paruh baya itu yang hanya memasang wajah datar seolah tak mendengar apa pun. “Ehem! Kalau begitu, ayo pergi. Aku akan pulang,” tukas Victoria. “Kau tidak kembali ke dalam?” tanya Luke. “Tidak. Hari ini aku akan berlatih di villa,” jawab Victoria. “Kenapa?” tanya Luke. “Hari ini ruang latihan terlalu ramai,” jawab Victoria. Nyatanya, ia telah kehilangan mood untuk berlatih di sana setelah mendengar ucapan Patricia dan Benetta. Walau ini bukan pertama kalinya Victoria mendengar cerita masa lalu yang menyangkut Luke dan Kakak-nya. Victoria hanya selalu menutup telinga dan berusaha tidak memikirkannya. Meski Victoria tak bisa berbohong kalau hal itu sangat mengganggunya. Karena, ia tak tahu apa yang telah terjadi di masa lalu antara Luke dan Kakak-nya. “Baiklah,” ucap Luke kemudian meminta Thomas untuk mengemudi. *** Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat dan 5 hari lagi Victoria akan tampil di festival tahunan perusahaan Chloe. Victoria pun telah berlatih dengan keras untuk festival tersebut. Namun, Victoria yang tadinya semangat kini menjadi murung. Pasalnya Luke akan pergi ke Paris untuk melakukan perjalanan bisnis dan entah kapan pria itu akan pulang. “Kapan kau akan pulang?” tanya Victoria sembari menatap Luke yang tengah mengenakan dasi. “Apa ini tentang festival?” tanya Luke balik yang dibalas anggukan oleh Victoria. “Apa kau bisa menghadirinya? Aku ingin kau hadir dan melihatku,” ucap Victoria penuh harap. “Aku akan berusaha kembali tepat waktu,” ujar Luke yang membuat Victoria semakin cemberut. Seusai mengenakan jas, Luke menghampiri Victoria di tempat tidur lalu mengelus rambut sang kekasih. “Berlatihlah dengan baik. Aku pasti akan datang tepat waktu,” ucap Luke. Setelah cukup lama, akhirnya Victoria dapat memasang senyumnya seusai mendengar kalimat itu. “Baiklah. Aku akan berlatih dengan baik,” seru Victoria semangat kemudian memeluk Luke. “Aku harus pergi sekarang. Segera hubungi aku kalau terjadi sesuatu. Thomas akan mengantarmu selama aku tidak ada,” ucap Luke. “Aku mengerti,” ujar Victoria seraya tersenyum. Sebelum pergi, Luke mencium bibir Victoria cukup lama. Setelah merasa cukup, Luke beranjak meninggalkan Victoria yang masih terduduk di tempat tidur. *** “Kau yakin akan membawakan musik itu di festival besok?” tanya Alice ragu. “Ya. Memangnya kenapa?” tanya Victoria balik. “Bukan apa-apa. Hanya saja, bukankah musik itu ....” Alice sengaja menggantung kalimatnya karena merasa tak enak pada Victoria. Meski begitu, Victoria tahu jelas apa maksud Alice. “Aku tidak peduli tentang itu. Lagi pula, bukan hanya dia satu-satunya yang pernah membawakan musik itu. Jadi, kau tidak perlu khawatir,” ujar Victoria. “Dan lagi, aku sudah berlatih dengan musik itu selama 1 bulan. Tidak mungkin aku harus mengganti dengan musik baru hanya karena takut dengan respons orang-orang,” sambungnya. “Tapi, kenapa kau membawakan musik itu?” tanya Alice. “Karena aku suka,” jawab Victoria kemudian terkekeh. Alice memutar bola mata melihat sahabatnya yang suka asal-asalan itu. “Sudahlah. Tidak usah bahas itu. Lebih baik dengar aku latihan.” “Memang apa yang kulakukan sejak tadi?” dengus Alice yang kembali mengundang kekehan Victoria. “Tapi, aku masih khawatir. Saat mereka melihatmu memainkan musik itu, pasti mereka akan berkomentar negatif lagi dan itu sangat menyebalkan. Rasanya aku ingin menjahit mulut mereka satu per satu,” ocehnya kesal. “Bagaimana kalau kau ganti musik yang lain saja? Permainan pianomu sangat bagus. Latihan sehari pun hasilnya pasti akan sangat bagus,” bujuk wanita dengan rambut dicepol itu. “Tidak mau,” tolak Victoria dengan tegas kemudian berdiri seraya berkacak pinggang. “Sampai sekarang aku masih tidak mengerti kenapa orang-orang selalu membandingkan kami. Padahal kami adalah dua orang yang berbeda, tapi mereka selalu mengambil kesempatan untuk membandingkan kami. Bukankah itu sangat konyol?” celotehnya sembari berjalan mondar-mandir. “Dan lagi, itu adalah musik yang umum dan cukup terkenal. Tidak mungkin aku tidak memainkannya hanya karena satu alasan tidak masuk akal. Memang kenapa kalau aku memainkan musik itu? Apa langit akan runtuh? Apa bumi akan terbelah? Apa lautan akan mengering? Tidak, ‘kan?” “Karena itu, aku akan tetap memainkan lagu itu di festival besok. Dan, kau! Tugasmu adalah selalu mendukung dan menyemangatiku!” seru Victoria sambil menunjuk Alice dengan penuh semangat membara dan tatapan tegas. “Baiklah! Kalau kau sudah memutuskan seperti itu, aku akan menjadi pendukung nomor satu untukmu! Semangat!” seru Alice mengepalkan kedua tangan penuh semangat. “Tidak, bukan begitu. Luke adalah nomor satu, sedangkan kau nomor dua,” koreksi Victoria. “Ck! Padahal aku yang ada di sini, tapi tetap pria itu yang nomor satu,” cibir Alice. “Sudahlah. Sana latihan sebelum aku kesal dan meninggalkanmu sendirian.” Victoria terkekeh kemudian mengecup pipi Alice dan segera berlari menuju pianonya. *** To be continued.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD