Athena tersentak kaget. Meremas selimutnya tatkala matanya menemukan sesosok dokter cantik tengah mengecek selang dan botol infus yang tergantung di ujung tiang. Senyumnya menghangat ketika mata mereka bertemu.
"Aku belum mengganti pakaianmu saat kau datang. Karena fokusku adalah menyelamatkanmu." Dokter itu menoleh, memberikan instruksi pada perawat yang datang bersamanya untuk kembali lebih dulu.
"Tidak perlu. Aku akan langsung kembali."
Dokter cantik itu menggeleng. Dia memegang kedua pundak rapuh Athena, sedikit mencengkramnya lebih erat. "Peraturan pertama; patuhi semua yang dikatakan doktermu, Nona Jenderal."
Alis Athena menekuk. Dia menatap Dokter Sara lekat-lekat seolah mereka pernah bertemu. Dan kepalanya menggeleng pelan. Sara tahu apa yang dipikirkan gadis itu, dan dia memecah lamunannya dengan suntikan kecil di lengan Athena. "Akan terasa sakit sebentar lagi, tapi itu berguna untuk mengurangi sakit di kepalamu karena benturan."
"Siapa kau?"
Athena merintih pelan. Telapak tangannya berkeringat dingin. Menarik selimut sebagai objek pelampiasan rasa dingin yang menusuk di dalam tulangnya. Athena merasakan kepalanya seperti sedang menahan beban yang berat. Efek suntikan itu mulai bekerja di dalam aliran darahnya.
"Namaku Sara. Dokter Sara." Suaranya mengalun lembut mengalun di telinga Athena.
Sejenak dia lupa akan rasa sakitnya dan beralih memandang dokter cantik yang menanganinya. Dokter Sara menatap Athena cemas. Dia menyiapkan bantal dan selimut untuk gadis itu berbaring lebih nyaman.
"Jangan banyak bicara dan bergerak. Obatnya belum sempurna masuk ke dalam tubuhmu."
Athena mendesis ringan. Dia menghela napas pelan, membaringkan diri karena dia tahu tidak bisa lakukan apa pun untuk pergi dan kembali.
"Ingin melarikan diri?"
Athena terhenyak mendengar suara itu. Dokter Sara melemparkan senyum ramah padanya. Dia bergerak, membungkus tubuh Athena dengan selimut. "Di sini sangat ketat. Karena rumah sakit ini ada di dalam Benteng Dallas. Dan itu artinya, kau tidak bisa melarikan diri atau peluru militer akan bersarang di dalam kepalamu. Hii, itu mengerikan, kan?"
Dokter Sara tertawa ringan. Seolah dia dan Athena kenal cukup lama dan mereka akrab. Atau pembawaan sang dokter yang luar biasa menyenangkan membuat Athena sedikit lebih nyaman?
"Mungkin, aku terkesan tidak sopan karena bicara informal padamu. Tapi terus terang, kau ada di bawah usiaku. Kau lebih muda. Tetapi kastamu jauh lebih tinggi dari aku." Dokter Sara mengulum senyum. Dia berkacak pinggang manis di depan Athena. "Aku belum mengucapkan selamat untuk pernikahanmu."
"Tidak perlu," tolak Athena halus.
Dokter Sara tidak perlu repot-repot bertanya ada apa gerangan dan mengapa Athena tersiksa oleh pernikahan ini. Tekanan akan menjadi ibu negara jauh lebih menakutkan dan mengerikan. Gadis serapuh ini mungkin tidak akan sanggup.
Atau ada unsur pemaksaan di dalam pernikahan suci yang menjadi aturan ketat di Dalla?
"Jenderal Levant memang terlewat kejam terkadang."
"Kau bicara seolah kau mengenalnya dengan baik?"
Dokter Sara tersenyum samar. "Aku bekerja untuk rumah sakit ini selama lima tahun. Tidak perlu dekat dengannya untuk tahu siapa pemimpin yang menjadi panutan rakyat di Dalla."
Pintu kamar terbuka sedikit. Athena mengintip dari balik bahu Dokter Sara yang merosot kala Sang Jenderal masuk ke dalam ruangan, masih dengan berseragam militer Dallas lengkap dengan deretan bintang di bahu dan dadanya. Jelas membuktikan siapa pangkat dan kekuasaannya.
Dokter Sara mengedip padanya. Athena tidak bisa menebak apa maksud ekspresi tersembunyi pada wajah Dokter Sara untuknya. Dia mengikuti punggung sang dokter sampai sosoknya menghilang, tergantikan dengan sosok lain yang berdiri menjulang menatapnya bagai mesin pemindai yang begitu intens. "Kau lebih baik?"
"Ya." Athena jujur kali ini.
Sang Jenderal duduk setelah menarik kursi. Athena mulai merasakan perasaan tidak nyaman karena mereka berdua terjebak dalam ruangan bernama kamar rumah sakit. Seumur hidupnya, dia tidak pernah menginjak lantai Rumah Sakit Umum yang ada di daerah mereka sebagai pasien. Karena Athena datang untuk mengobati anak-anak yang sakit atau demam tinggi dan ketika dokter umum tidak dapat memenuhi panggilan darurat ke panti mereka.
Setiap bulan dokter-dokter hebat dari Departemen Kesehatan dikirim ke rumah-rumah penduduk Dalla untuk pengecekan rutin kesehatan mereka. Efek yang maha dahsyat pasca perang dunia kelima meninggalkan cairan kimia yang sangat berbahaya bagi manusia di masa depan. Melumpuhkan anggota tubuh yang penting dari dalam dengan jangka waktu panjang. Yang paling menakutkan adalah ketidakbisaan memiliki keturunan karena cairan kimia itu.
Manusia-manusia yang selamat beraneka macam. Ada yang bertahan karena kekebalan tubuh mereka baik, dan berakhir mengenaskan karena terlalu menanggung efek cairan kimia yang hampir melenyapkan seluruh isi bumi.
Dalla mengembangkan obat penawar guna mengurangi dampak cairan kimia itu selama bertahun-tahun dan melakukan uji coba tanpa mengenal kata lelah. Meneliti satu-persatu obat yang mereka keluarkan demi kelangsungan hidup orang banyak. Begitu pula pengorbanan orang di dalam Benteng Dallas untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia murni sebagai penguasa bumi seutuhnya.
Percobaan penanaman pohon di tanah yang tandus. Di masa kepemimpinan Jenderal Akram muda, pohon adalah salah satu hal utama dalam pembangunan Dalla yang hancur total karena perang dunia kelima. Mereka mencoba menghidupkan pohon. Melemparkan bibit-bibit unggul agar tanah mereka kembali hidup dan menghasilkan. Awalnya, tidak berjalan sesuai rencana. Namun, seiring berjalannya waktu, semua membuahkan hasil. Bahkan lebih cepat dari perkiraan Sang Jenderal kala itu.
Jenderal menipiskan bibir. Dia menatap istrinya yang tengah berpaling. Alih-alih ingin bicara dengannya, dia malah mengabaikannya. Seolah keberadaan dirinya memang tidak dibutuhkan di dalam kamar ini. Sang Jenderal tidak punya waktu untuk duduk dan menunggu.
"Kau tidak akan bisa pulang untuk sementara waktu."
Athena menoleh padanya. Alisnya menekuk tajam. "Karena rumahmu hancur?" Dia tersenyum samar. "Aku rasa tidur di kamar rumah sakit ini lebih baik."
"Jangan bercanda." Sang Jenderal mengecilkan suaranya. Dia menatap Athena seakan dia bisa meremukkan gadis itu dalam sekali tatap. "Rumah sakit bukan tempat yang baik untuk orang sehat macam diriku."
"Kau memang sehat, tapi aku yang terluka. Aku yang sakit." Athena menunjuk dadanya dengan getir. "Aku tidak akan kembali."
"Kau akan kembali. Nanti. Setelah semua membaik."
Manik senada warna daun di musim semi itu menatapnya sebentar. Sang Jenderal memakukan tatapan mereka. Berharap sang istri tahu bagaimana berkuasanya dia di Dalla dan bisa lakukan apa pun untuk membuatnya bertekuk lutut. Sayangnya, dia menemukan kilatan aneh yang tidak dia mengerti dan itu membuatnya mendesah pelan.
"Terserah. Memang apa yang bisa kulakukan untuk melarikan diri?" Athena mengendik pada jendela yang belum tertutup tirai. Ada tralis baja yang dilindungi kaca anti peluru tebal. Sang Jenderal menatapnya sebentar, mendengus pelan.
"Aku tidak perlu bersusah payah mencegahmu melarikan diri."
Perawat yang tengah memegang laporan di dadanya itu berlari. Napasnya memburu saat dia tidak kunjung menemukan sosok yang tengah dia cari di sepanjang rumah sakit.
"Dokter Sara."
Dokter Sara berlari mendengar panggilan gusar itu, kakinya membelah koridor yang temaram dan menghampiri perawat berwajah pucat dan tengah kebingungan. Catatan salah satu riwayat pasien ada di pelukannya. "Bagaimana dengan penawar?"
"Minta seseorang pergi ke laboratorium dan mencari penawar dalam laci nomor dua belas. Mungkin, itu bisa membantu."
Perawat itu segera menganggukkan kepala. Dia menatap Dokter Sara dengan senyum tipis dan beralih kembali berlari untuk meminta seseorang mengambilkan penawar bagi pasien yang keracunan.
Dokter Sara berjalan santai. Menatap punggung perawat muda yang tengah berlarian membelah koridor yang sepi, terlalu sepi dengan langkah sepatu yang bergema.
"Penawar yang belum disempurnakan. Bukankah itu terlalu beresiko?" Letnan Edsel memecah kesunyian di antara mereka berdua saat tubuh menjulang Dokter Sara melewatinya dalam diam.
"Ah, kurasa tidak. Dalla selalu melakukan prosedur terbaik guna mencari kelinci percobaan, kan? Penawar itu sudah sembilan puluh persen. Kalau tidak berhasil, kemungkinan kehilangan nyawa bisa dicegah dengan bantuan penawar lain." Sara mengintip Letnan Edsel dari sudut matanya. Lalu, tersenyum miring.
Letnan Edsel menyipit tajam. Menelusuri ekspresi Dokter Sara yang terlalu pandai menyimpan kebohongan atau kebenaran. Militer Dallas pandai menilai wajah seseorang. Hanya saja, terkadang mereka terkecoh dengan tipu daya manis yang dibuat-buat macam Dokter Sara.
"Kau yang terbaik di kelasmu, Sara. Jangan bertindak apa pun di luar kehendakmu," Letnan Edsel memperingati dengan ancaman tajam.
"Aku terbekati dengan otak yang pintar." Dokter Sara menengadah, tersenyum manis.
Letnan Edsel mundur satu langkah. Dia duduk di kursi tunggu menunggu Sang Jenderal keluar setelah melihat sendiri kondisi istrinya. Tidak peduli sejauh mana Letnan Edsel memberikan laporan tentang Felice Athena melalui kamera CCTV yang terpasang di dalam ruangan. Nyatanya, kekeraskepalaan Jenderal Levant melihat istrinya jauh lebih besar. Tidak terbantahkan bahwasanya Jenderal ingin mengecek langsung kondisinya tanpa memantau dari CCTV yang menyala aktif.
"Letnan Edsel yang dihormati. Kau benar-benar mengabdi pada Sang Jenderal terhormat. Kalau kau hidup sebelum perang dunia kelima terjadi, manusia sering menyebutmu sebagai kasim, atau kacung?" Dokter Sara mendengus menahan tawa. "Karena sekarang era modernisasi yang terlalu maju, tangan kanan atau asisten Jenderal terdengar jauh lebih baik dan terhormat."
"Kau tidak seharusnya bicara itu di sini." Letnan Edsel mendesis, mencengkram kerah kemeja Dokter Sara yang menatapnya datar dan tak kenal mundur. Tatapan matanya tak kenal takut, membakar sesuatu dalam diri Letnan Edsel untuk segera melenyapkan gadis itu tanpa sepengetahuan Sang Jenderal.
"Kau harus ingat sesuatu. Kalau aku ada di sini, masih bertahan di sini karena Jenderal Levant. Sekuat apa pun kau coba menghabisiku, kau tidak akan mampu." Dokter Sara menepis tangan itu dari kerah kemejanya. Mendesis dingin pada mata biru laut Letnan Edsel yang menyala-nyala penuh hasrat membunuh.
Dokter Sara maju, dua langkah ke depan saat dia bersiap pergi meninggalkan Letnan Edsel yang memilih berteman dengan kesepian. "Ah, siapa gadis itu? Dia terlihat kikuk dan rapuh. Jenderal pasti membawanya dengan paksaan."
Dokter Sara menolehkan kepala. Menatap Letnan Edsel yang menunduk menatap lantai. "Karena setahuku, Sang Jenderal tidak bisa merasakan cinta di hidupnya. Dia tidak bisa mencintai siapa pun. Terlebih wanita. Bangunkan gadis itu dari mimpi indah."
"Jangan sentuh dia."
Dokter Sara mengangkat alis tajam.
"Jangan sentuh dia."
"Letnan Edsel." Sara mendesah panjang. Memasang topeng lelah. "Aku bicara bukan sebagai mantan teman tidur Sang Jenderal. Aku lebih mencemaskan kondisinya yang rapuh. Dia terlihat benar-benar tidak berdaya dan lemah. Gadis macam dirinya tidak akan bisa bertahan lama berada di sisi Jenderal.” Dokter Sara berbicara sinis, penuh meremehkan saat dia tanpa sadar mengutarakan seluruh isi hatinya sejak melihat kedatangan Athena di sini.
"Tidak ada yang perlu kau cemaskan, Sara."
Dokter Sara terkejut. Sontak keduanya matanya melebar kikuk. Dia menatap Letnan Edsel yang menarik sudut bibirnya sinis dan pada Sang Jenderal yang baru saja menutup pintu kamar dimana istrinya terbaring di dalam. "Athena adalah istriku. Kau tidak bisa menghakiminya karena aku tidak memiliki perasaan apa pun padanya," tatapan segelap malam itu menelitinya dingin. "Kau tidak tahu apa pun dan bertindaklah secukupnya. Bukankah aku sudah memberikanmu kebebasan di rumah sakit ini sebagai rasa terima kasihku?"
"Ya, Jenderal." Dokter Sara memilih untuk mengalah dan diam kali ini.
Jenderal Levant memakai jaket militernya. Dia berjalan meninggalkan Dokter Sara yang mematung dan Letnan Edsel yang menghela napas panjang. "Mau tak mau, kau harus akui kalau keberadaanmu mengkhawatirkan sekarang."
***
Kening Athena terlipat. Dia membuka kaus kakinya karena dirasa sesuatu mengganjal dan dia baru sadar sejak tadi setelah terlalu banyak melamun. Dia membuka kaus kakinya satu-persatu, melihat ada kertas kecil terselip di sela jemari kakinya yang pucat.
Aku mencintaimu.
Jelas ini bukan dari Jenderal, suaminya. Ini tulisan tangan Immanuel Gildan.
Beban rindu yang tak kuasa ditampung Athena berubah menjadi lelehan air mata yang tak mampu terbendung lebih lama lagi. Dia meremas kertas itu, terlalu erat. Membuatnya kusut dan mungkin sebentar lagi akan terbelah menjadi dua. Dia tidak peduli. Selama Immanuel Gildan masih ada bersamanya, dia akan baik-baik saja.
Dunianya dan Gildan memang berbeda. Athena tidak pernah ingin Gildan menceburkan diri ke dalam lahar panas hanya karena ide kebebasan konyolnya. Menurut Athena, yang Jenderal lakukan demi rakyatnya sudah cukup memuaskan. Jenderal Dalla tidak pernah mementingkan egonya sendiri. Dia selalu memikirkan rakyatnya. Kepentingan rakyat paling utama. Semua kebutuhan rakyat Dalla menjadi prioritas Jenderal selama masa kepemimpinannya.
Sudah banyak bukti yang mereka lakukan bertahun-tahun silam. Dalam kepemimpinan Jenderal Akram yang keras, Dalla menjadi satu-satunya negara berteknologi mutakhir yang memiliki segalanya untuk mengurangi populasi kemusnahan yang terjadi para era manusia global.
Setelah kematian Jenderal Akram, kekuasaan jatuh pada penerusnya. Amante Levant. Jenderal kelas satu yang kemampuannya membuat Athena ngeri. Menurut buku yang pernah dia baca, Jenderal Akram sempat angkat tangan dengan kemampuan bertarung tingkat tinggi putranya. Tidak dijelaskan secara jelas, namun di buku dikatakan kemampuan Jenderal Levant saat muda benar-benar mengerikan. Dia terlatih keras sejak kecil dalam militer hitam. Sudah dididik menjadi seorang Jenderal saat usianya masihlah belum matang. Dan hal itu yang membuatnya tumbuh menjadi sosok bertangan dingin. Yang bisa menghancurkan lawannya dengan mudah jika mereka menantangnya hidup-hidup tanpa perhitungan yang matang.
Athena sendiri tidak tahu apakah Sang Jenderal memiliki saudara kandung atau tidak karena semasa kepemimpinannya, Sang Jenderal selalu seorang diri. Hanya Jenderal Akram yang menemaninya. Sebelum akhirnya Jenderal terbaik itu menutup usia untuk selama-lamanya karena masalah kesehatan. Yang membuat kepergiannya diiringi duka mendalam dari rakyat Dalla yang mencintainya dan menjadikannya panutan.
Bagaimana dengan Immanuel Gildan?
Kalau Athena bertindak di luar logikanya, dia sama saja mengumpankan Gildan untuk menjadi santapan tangan dingin tak berbelas kasihan milik Jenderal Levant. Dia tidak mungkin membiarkan orang yang dicintainya terluka. Atau pun mati sia-sia.
Immanuel Gildan adalah pria berprinsip teguh sejak mereka bertemu. Sekuat apa pun Athena mencoba menggoyahkannya, tekad sekuat baja itu tak gentar oleh rengekan lemahnya. Athena hanya mampu melindunginya, bukan mengikuti kemauannya. Immanuel Gildan dan dirinya selalu berada di jalan yang berbeda. Meskipun hati mereka saling terikat satu sama lain.
Seperti Organisasi Partai Merah yang sempat punah era Jenderal Akram, di kepemimpinan Jenderal Levant, organisasi ini kembali hidup dan lebih menyala terang. Ditopang anggota-anggota muda yang berbakat dan kemampuan mereka setara dengan militer Dallas yang latihan fisik keras selama bertahun-tahun.
Athena terlalu lelah memikirkan nasib Gildan hingga dia jatuh tertidur, sebelum sempat membuang kertas rindu itu dari tangannya.
***
Panglima Sai mengernyit samar. Dia melirik Letnan Edsel yang memasang ekspresi kaku, seolah dia tidak lagi terkejut dengan apa yang dikatakan Sang Jenderal baru saja.
"Beritahu seluruh direktur departemen, mereka harus mentaati apa yang Athena katakan. Dia akan mengatur urusan departemen mulai sekarang."
Letnan Edsel hanya mengangguk. "Baik, Jenderal."
"Kalian berdua harus mengawasinya." Jenderal duduk di kursinya, menatap tajam pada kedua tangan kanan terbaiknya. Tatapan matanya berpaling pada Sang Panglima setelah dia menggeleng samar. "Tidak, Panglima Sai. Kau lebih baik mengawasi anak-anak yang kau kurung bersama gadis tertua di sana. Biarkan ini menjadi tugas Letnan Edsel."
"Baik, Jenderal."
Sang Jenderal menarik sudut bibirnya. "Aku tidak akan cuci tangan melepas apa yang kupegang. Karena dengan Athena memegang departemen di Dalla, Immanuel Gildan akan muncul ke permukaan. Kita lebih mudah memborbardir mereka dan memusnahkan seluruh Organisasi Partai Merah tanpa ampun."
Letnan Edsel dan Panglima Sai terdiam.
"Distrik Sopa." Sang Jenderal berdiri. Menatap peta besar yang tertempel di dinding ruangannya. "Sisir pemukiman ini. Sita senjata dan alat apa pun yang mencurigakan. Jangan biarkan satu orang pengkhianat terlewat. Dia harus dihukum seberat-beratnya."
Letnan Edsel dan Panglima Sai membungkuk.
"Kalian boleh pergi."
Keduanya membungkuk sekali lagi, memberi penghormatan terakhir dan berlalu. Sang Jenderal menggeser tempat duduknya, menatap ruangan pribadinya dalam diam.
Pintu dua kali terketuk. Jenderal menolehkan kepala, menatap Dokter Sara yang bergegas masuk dengan laporan di tangan.
"Hasil penelitian terbaru dari laboratorium."
Sang Jenderal membacanya tanpa jeda. Mengamati satu demi satu hurup yang tertulis tanpa terlewat sedikit pun. "Bagaimana dengan percobaannya?"
Dokter Sara mengangguk pelan. "Kita akan menunggu hasilnya besok. Aku mencobanya pada tahanan di penjara bawah tanah Benteng Dallas. Dua orang pemberontak. Jika ramuan ini berhasil, aku akan segera mencari penawarnya."
"Penawar bagus jika salah satu anggota militerku terkena cairan ini. Cukup berbahaya untuk mereka, bukan?"
"Ya, Jenderal."
Sang Jenderal berdiri. Dia melirik Sara dari sudut matanya dan mendapati gadis itu tiba-tiba melamun tanpa sebab. "Bagaimana kondisi istriku?"
"Dia lebih baik. Setelah selesai menyantap makan siang, dia tertidur."
"Wanita memang lebih sering tertidur ketika mereka sakit." Jenderal Levant bergerak bersiap keluar ruangan dan Dokter Sara berjalan lebih dulu untuk keluar. Karena ruangan ini tidak boleh ditempati siapa pun selain tangan kanan kepercayaannya yang menunggu di dalam demi laporan.
Kamar ini temaram. Sang Jenderal melangkah tanpa suara sepatu yang bergema hanya untuk menghindari sang istri bangun dari tidur lelapnya. Dia mendekat, menatap tubuh rapuh dalam balutan selimut tebal. Sang istri tertidur dalam posisi meringkuk mencari kenyamanan dalam tidurnya layaknya bayi dalam keranjang.
Pandangan Sang Jenderal menyapu agak lama sampai dia melihat secarik kertas yang sedikit mengganggu pandangan matanya. Dia meraihnya, membaca cepat dengan napas tertahan.
Aku mencintaimu.
Immanuel Gildan, kau pasti bercanda?
"Cinta?" Sudut bibir Sang Jenderal tertarik dingin. "Apa dunia yang hancur ini mengenal kata cinta? Selain mereka yang berlomba-lomba hanya untuk mendapatkan keturunan demi generasi manusia murni untuk tetap bertahan hidup?”
Tangan kokoh Sang Jenderal menelusuri dari pelipis dan turun mengusap permukaan kulit yang halus nan lembut itu. Berhenti di belakang lehernya yang berdenyut pelan, menandakan sang empunya sedang terlelap tanpa kepura-puraan.
"Kau tidak boleh mati, belum." Sang Jenderal menunduk, berbisik pelan di telinga sang istri yang manakala tidak dia dengar. "Belum saatnya."
"Dan siapa pun yang berniat mengambilmu dariku, dia harus mati."
Jenderal berbisik penuh ancaman. Meniupkan sedikit napasnya di telinga sang istri yang masih terlelap tanpa terganggu bisikan penuh janjinya. Jenderal kembali menegakkan punggungnya. Menatap Athena dengan sorot tajam dan menilai, kemudian berjalan pergi meninggalkan ruangan yang kembali senyap dan sepi.