Darah yang menggenangi tumpukan salju merembet hingga menyebar luas. Dua manusia yang tergeletak di atas salju terlihat menyedihkan. Satu sosoknya tidak bernyawa, satu lagi tidak sadarkan diri. Atau mungkin sekarat?
Immanuel Gildan meludah di depan mayat pria paruh baya yang berasal dari Distrik Sopa untuk melakukan kudeta secara diam-diam di belakangnya. Mencuri senjata milik anggotanya dengan meracuni mereka, Gildan tidak akan tinggal diam. Mereka menuntut untuk kedudukan tinggi di Dalla. Jelas sekali, prinsip yang mereka pegang berbeda.
Dia menoleh ke belakang. Menemukan anggotanya bersiap menyalakan peledak untuk meruntuhkan kekuasaan Sang Jenderal. Entah apa yang tersembunyi di dalam rumah Sang Jenderal yang menjadi incaran kaum Distrik Sopa, Gildan sama sekali tidak ingin tahu.
Kedua matanya menunduk ke bawah. Menatap Athena yang terbaring menyedihkan dengan darah yang membeku dari belakang kepalanya. Jelas sekali, Athena terkena pecahan batu yang berasal dari bahan bangunan rumah Sang Jenderal, membuat kepalanya terluka. Dan sekarang, Immanuel Gildan berdiri dilemma menatap sosoknya.
Membawa Athena lari adalah kesalahan.
Immanuel Gildan termenung. Dia tidak memiliki banyak waktu selagi anggotanya menahan seluruh militer dengan membuat mereka sekarat. Dengan racun yang dia buat, militer Dallas yang berjaga dengan mudah dilumpuhkan walau tidak berangsur lama.
Tangannya terkepal, menunduk menatap sosok Athena yang terbaring lemah. Darah tidak hentinya keluar dari belakang kepalanya yang terluka. Immanuel Gildan berlutut, memberikan pelukan yang dia mampu untuk kekasih hatinya. Menyelipkan sesuatu di dalam kaus kaki kekasihnya. Menyelipkan satu ciuman panjang di pipinya sebelum bergegas pergi bersama anggotanya dengan sekali lagi meledakkan rumah Sang Jenderal sebagai tanda peringatan.
Hal yang harus dikhawatirkan militer Dallas dalam Organisasi Partai Merah adalah kemampuan mereka merakit peledak. Berkekuatan rendah maupun tinggi, mereka bisa meraciknya dengan sedemikian rupa. Menaruhnya di tempat-tempat tersembunyi agar militer Dallas tidak mengetahui penyamaran peledak mereka.
Kemampuan ini menurun dari leluhur yang terus melancarkan asas kebebasan dengan mendoktrin rakyat Dalla. Hidup terkurung dalam prinsip yang dipaksakan, membuat mereka jengah dan bertekad untuk bersatu menuntut melepaskan diri atas nama kebebasan dan hak yang terdapat di diri setiap manusia ketika mereka dilahirkan.
Siapa bilang Organisasi Partai Merah hanya ada dari kalangan rakyat biasa yang hanya mengemban ilmu sampai di jenjang menengah atas?
Ada yang lahir dari ilmuwan era kepemimpinan Jenderal Akram. Meskipun dia telah tiada, ilmunya menurun ke dalam kelompoknya. Menciptakan racun baru yang mematikan dan mampu mengalahkan racun yang Dalla ciptakan bagi para pengkhianat negara.
Sang Jenderal turun dari helikopternya. Melepas mantel bulunya ketika dia berlari, lantas menemukan dua sosok terbaring di belakang rumah pribadinya yang kini hanya menyisakan bagian depan sedikit lebih utuh.
Letnan Edsel menendang sisa kayu dan batu yang menghalangi penyisiran para militer Dallas yang datang dengan tank besar dan mobil salju untuk memudahkan akses jalan mereka.
Panglima Sai meminta mereka untuk berkeliling di sekitar rumah. Berjaga-jaga menghadap hutan pohon pinus yang dilindungi ketat oleh Benteng Dallas. Jikalau pasukan pemberontak masih ada di dalam hutan untuk bersembunyi dan bersiap menyerang saat Jenderal turun dari ruangannya untuk memeriksa lapangan.
Kepulan uap akibat udara yang terlalu dingin membuat tubuh Sang Jenderal membeku. Dia melepas mantelnya, menyisakan seragam Dallas yang menakutkan. Letnan Edsel berlari, menembus kekacauan dengan napas terengah menembus udara dingin.
Terkejut menemukan darah yang berkawan dengan salju. Layaknya sirup merah yang tertuang di atas tumpukan es dalam gelas, terlihat mengerikan.
"Helikopter siap, Jenderal." Panglima Sai menghadap. Membeku menatap seragam militer Sang Jenderal yang basah kuyup dengan titik-titik salju membekas bercampur darah istrinya.
Letnan Edsel mendekat di saat Panglima Sai berlari, menyiapkan pasukan untuk mengikuti helikopter yang ditumpangi Jenderal Dalla pergi ke rumah sakit terbesar yang ada di dalam Benteng Dallas.
Ada nyawa seseorang dipertaruhkan.
Letnan Edsel berjongkok. Menyentuh senjata laras panjang yang tergeletak di atas d**a pria paruh baya itu. Milik pemberontak dari Distrik Sopa. Begitu insting tajamnya melihat tanda di sebelah pelipisnya berbentuk bulan sabit.
Distrik Sopa memiliki kebiasaan yang unik bagi penduduk yang bermukim. Mereka mencintai bulan saat malam hari, ketika musim sedang berbaik hati dengan mereka. Memberikan mereka keindahan sang raksasa langit dengan bulan yang bersinar terang di malam hari.
Hingga setiap penduduknya menggoreskan luka permanen di pelipis mereka dalam bentuk bulan sabit. Sebagai tanda keberuntungan dan keberanian. Distrik Sopa sempat hancur dalam era pemusnahan pemberontak massal oleh Jenderal Akram, dan kembali dibangun ketika era Jenderal Levant. Dengan syarat yang terlewat ketat, membuat mereka tidak mampu memberontak demi kelangsungan hidup orang banyak.
"Letnan."
Letnan Edsel berdiri. Melepas batu yang sempat dia genggam dan melirik salah satu militer Dallas sedang mendekat ke arahnya. "Kami akan membawa korban militer ke rumah sakit dan pria ini untuk diotopsi."
Letnan Edsel mengangguk. Manusia tak lagi bernyawa itu ditandu dengan hati-hati menuju tank militer.
***
"Salam, Jenderal."
Jenderal Levant duduk di kursi tunggu tanpa perlu menoleh dengan siapa dia berbicara dan siapa yang menyapanya dari luar ruangan. Dokter Sara berdeham, mengulas senyum ramahnya pada Sang Jenderal dingin yang tidak kenal ampun pada siapa pun lawannya.
Bekerja selama lima tahun untuk Rumah Sakit Dalla membuatnya paham benar bagaimana dia bekerja, aturan apa yang harus dia taati dan bagaimana dia melayani para militer yang menjadi tamu tetap rumah sakit ini.
Dokter cantik yang masih tersenyum itu kini melepas topeng lelahnya. Dia menoleh, menatap Letnan Edsel yang mengusap seragam militer Dallasnya sedang mendekat. Tatapan mereka bertemu. Kilatan rasa marah dan benci yang mengakar dari Letnan Edsel untuknya belum hilang. Dokter Sara masih tersenyum tipis di saat Letnan Edsel membuang mukanya sinis.
"Bagaimana keadaannya?"
"Luka robek di kepala cukup dalam. Nona Athena tidak sadarkan diri karena benturan dan yang pasti rasa terkejut luar biasa.” Senyum tipis Dokter Sara mengembang cantik. "Siapa pun pasti merasakan rasa bingung yang luar biasa dengan tekanan sebagai istri seorang Jenderal besar macam dirimu."
Letnan Edsel mendengus tajam. Dia menoleh, melempar tatapan tak bersahabat untuk Dokter Sara yang kini mundur, masih tersenyum pada mereka. Kejahatan, tidak sepantasnya dibalas dengan kejahatan yang sama, bukan?
"Aku akan pergi ke benteng untuk melihat situasi. Kau mendapat informasi siapa penyusupnya dan bahan peledak apa yang digunakan pemberontak?"
Letnan Edsel mengangguk pelan. "Ada tiga orang. Semua berasal dari Distrik Sopa. Untuk peledak ..." Letnan Edsel melirik Dokter Sara yang masih berdiri di depan pintu. "Organisasi Partai Merah bertanggung jawab atas rakitan mereka."
Dokter Sara melirik keduanya dalam diam. Dia berpaling. Meremas jas dokternya dan berlalu pergi, meninggalkan lorong yang mencekam dalam kebisuan. Tidak ada gunanya dia terlalu lama di sana dan tenggelam dalam pembicaraan penting antara Jenderal dan tangan kanannya.
Sudut bibir Sang Jenderal tertarik dingin. Tangannya mencengkram mantel bulu miliknya hingga memutih. "Distrik Sopa dan Organisasi Partai Merah memiliki prinsip yang berbeda. Kau tahu itu, Letnan Edsel."
Letnan Edsel membisu seribu bahasa.
"Mereka terlibat konflik internal sejak Jenderal Akram duduk di kursi kepemimpinan. Satu lagi menuntut kudeta besar untuk menggulingkan kekuasaan Amante. Dan satu lagi, kebebasan mutlak."
Sang Jenderal mengusap seragamnya. Dia berjalan lurus, terdiam di depan pintu kaca satu arah yang tertutup. Memakai topinya dalam diam dan pandangannya jatuh pada sosok yang terbaring di atas ranjang.
"Perintahkan militer untuk berjaga ketat di depan pintu masuk lorong. Siapa pun tidak boleh masuk. Terkecuali Sara dan aku."
Letnan Edsel mengangguk pelan sebagai jawaban. Dia menoleh, memandang jauh ke depan dimana lorong itu berubah temaram dan gelap. Matanya menelisik lebih jauh, kemudian menghela napas karena ruang penyiksaan bagi para pemberontak kini kembali hidup.