"Tidak, berhenti. Jangan sakiti kakakku."
"Diam kau, anak kecil! Kau tidak bisa apa-apa. Dengan tubuh kurus seperti ini, apa yang bisa kaulakukan untuk melindunginya, hm?"
Anak kecil itu meraung-raung bagai kesetanan. Dia didorong, mencoba bangun dan kembali dihempaskan kasar ke atas bebatuan yang terjal. Permukaan batu yang runcing menggores pelipis dan tangannya. Darah mengalir.
"Kakak!"
Anak kecil itu mengulurkan tangan, meraih salah satu anak yang duduk memeluk lututnya sendiri dengan lebam-lebam di tubuh polosnya. Dia hanya menunduk, tidak sanggup melakukan apa-apa.
Sang Jenderal terbangun. Napasnya tersengal-sengal. Seperti dikejar sesuatu yang buruk hingga dia tidak sanggup lagi berlari. Keringat dingin membanjiri pelipis hingga dadanya yang polos.
Hawa dingin tidak masuk sampai ke kamar mereka. Pemanas di dalam ruangan sangat ampuh untuk membuatnya tetap hangat dan terlindungi. Tangannya bergetar hebat. Sekelibat bayangan tentang darah dan senjata tajam melintas. Wajahnya kembali pucat.
Kedua tangannya menjulur ke dalam sela-sela rambut lebatnya. Menarik rambut itu kasar tanpa ampun. Saat napasnya berubah tak beraturan dan sesuatu yang terasa membakar mulai naik ke permukaan, matanya tanpa sengaja melirik seseorang yang tengah pulas di sisi ranjangnya.
Setelah menikah, ada beberapa hal yang berubah. Layaknya ranjang besar yang biasa dia tempati seorang diri untuk beristirahat, kini terjajah dengan makhluk asing di sebelahnya. Dia tidak keberatan. Belum.
Tubuh yang sama polosnya dengannya menggeliat. Selimut itu merosot dan menggumpal hingga ke pinggang. Rambut sebahunya tersebar indah di atas bantal. Berantakan, namun terkesan dewasa.
Manik kelam Sang Jenderal turun mengamati tubuh istrinya dalam diam. Tangannya terulur, antara ingin mencekik lehernya atau sekalian melenyapkan nyawanya dengan sekali remukkan di leher kecilnya. Dia bisa melakukannya tanpa perlu bersusah payah mengurung Athena dalam ruangan hukum pancung atau setrum listrik.
Tangan itu terasa kebas. Sang Jenderal menarik tangannya dan meremas selimutnya sendiri. Dia menghela napas. Turun perlahan dari ranjangnya dengan sorot lelah, dan beranjak menghilang menuju kamar mandi yang temaram.
Paginya, saat Athena terbangun dan selesai membersihkan diri, dia menuruni anak tangga dan berbelok menuju dapur. Dia masih belum terbiasa dengan kehadiran militer Dallas yang berjaga di dalam rumah walau tidak sampai ke atas, wilayah privasi Sang Jenderal yang dilarang selain orang terpercayanya.
Jenderal Dalla duduk di kursi makan. Menyantap aneka salad sayur yang sehat di dalam mangkuk dengan tatapan datar. Dia melirik dari sudut mata, menemukan sang istri berdiri membisu dan belum bergabung dengannya di meja makan.
"Kenapa kau diam?"
Athena melangkah getir. Menarik kursi untuknya duduk dan mulai menatap mangkuk sarapannya dalam diam. Sang Jenderal tidak lagi menatapnya atau mengamati apa yang dia lakukan dengan tangan bergetar mengambil saladnya sendiri.
"Kalau kau ingin makan sesuatu untuk nanti siang, nanti malam, dan seterusnya, katakan pada asisten rumah tangga Dallas. Mereka akan pergi ke Departemen Pangan untuk memenuhi kebutuhanmu."
Kelopak mata itu bergerak gelisah. "Aku bisa meminta apa pun?"
Sang Jenderal termangu. Gerakan mulutnya terhenti. Dia menatap istrinya dalam pandangan menyapu intens. "Apa pun. Asal bukan kebebasan dan meminta bantuan melarikan diri."
Athena menipiskan bibir. Kepalanya bergerak mundur. Menarik napas panjang. "Aku tidak akan memintanya."
"Itu terlalu beresiko bagi pihak lemah seperti kami."
Sang Jenderal mengangguk pelan. "Meskipun posisimu melesat lebih tinggi sekarang, kau tidak punya kekuatan untuk menggerakkan militer Dallas mematuhi semua perintahmu. Aku tetap menjadi pemimpin tertinggi."
Kepala merah muda itu menunduk. Athena meraih sendoknya, mengaduk-aduk salad dalam kebisuan yang menyakitkan karena biasanya, dia terjebak dalam meja makan yang ramai dengan teriakan Cassandra, jeritan anak-anak yang meminta porsi lebih atau dengusan tajam Bibi Fumi karena meja makannya berubah kacau.
Kursi berderit membuyarkan kenangan indah Athena. Dia mengangkat kepala, menatap suaminya yang tengah memakai seragam militer dan meraih mantel hitam bulunya. Pria itu berjalan kokoh, tanpa lagi menoleh padanya.
"Apa yang dia dapatkan dengan menikahiku?"
***
Letnan Edsel menipiskan bibir. Rahangnya mengetat kala dia menatap anggota militer Dallas yang sedang berlatih di lapangan kedap suara yang mampu melindungi mereka dari rintikan salju dan peluru yang hebat sekali pun. Bom juga tidak mampu menghancurkan tempat ini.
Panglima Sai mencatat nama-nama dari mereka yang terlihat kurang baik dan tampak lemah dalam latihan fisik saat ini. Ada puluhan yang tersaring untuk menjadi pasukan elite yang masuk berani mati ke bawah jajaran pengawasan Jenderal Levant nantinya.
"Jenderal."
Panglima Sai membungkukkan badan. Letnan Edsel menoleh, ikut menyapa resmi. Jenderal berdiri di tengah mereka, menatap para militer baru yang berusaha maksimal untuk mencapai jabatan terbaik mereka di dalam Benteng Dallas.
Di dalam kedudukan militer Dallas, setiap anggota bisa menaiki satu langkah ke posisi yang lebih baik selain menjadi anggota militer biasa. Misalnya, menjadi pemimpin regu atau kelompok saat penyerangan atau misi dalam bertugas dari Jenderal. Karena posisi yang paling tinggi, selain Panglima dan Letnan, semua ada di tangan Jenderal dalam memutuskan.
"Bagaimana keseluruhannya?"
"Berjalan baik." Letnan Edsel menjawab tegas. Mata birunya menyipit menatap puluhan anggota muda militer Dallas yang meneriakkan yel-yel semangat mereka di tengah udara dingin yang menusuk hingga menembus pakaian seragam militer mereka.
"Tidak ada kabar dari Partai Merah. Kau benar menemukan titik persembunyian mereka?"
Panglima Sai mengangguk yakin. Dia menurunkan catatan di tangannya. Menatap mata Sang Jenderal yang begitu tajam. "Beberapa anggota mendirikan camp untuk mengawasi mereka dari dekat."
Sang Jenderal menghela napas pelan. "Aku ingin Immanuel Gildan hidup-hidup. Tidak terkecuali."
Panglima Sai mengangguk. Letnan Edsel hanya terdiam, membisu seribu bahasa. Mata Sang Jenderal meliriknya, menemukan gelagat aneh yang terjadi ketika nama Immanuel Gildan kembali bergaung menjadi topik utama mereka. Atau ada hal lain yang dipikirkan Letnan Edsel sekarang?
"Kau tidak bisa terus-menerus lari dari masalah ini. Lepaskan dia. Dia sudah tenang."
Letnan Edsel mengerjap. Dia menatap Sang Jenderal dan menggeleng lirih. "Aku hanya terbawa suasana. Tidak pernah ada—"
"Edsel, aku mengenalmu bukan sehari atau dua hari. Bertahun-tahun. Jelas sekali apa yang tergambar di dalam kepalamu selain kau ingin menghabisi Immanuel Gildan sendiri, di tanganmu."
Tangan Letnan Edsel mengepal sempurna. Guratan marah itu terlihat dari urat nadi leher dan pelipisnya. Entahlah. Mengapa dia sulit mengendalikan diri?
"Aku sudah melepasnya pergi."
Dia berbohong.
"Aku hanya—" Letnan Edsel menengadah, menatap lapangan yang tertutup sempurna. Langit tidak tampak. Hanya potongan besi abu-abu yang melingkari lapangan ini bagai benteng yang kokoh. "—kembali merindukannya."
Pandangan Jenderal dan Panglima mengarah padanya. Satu miris, satu lagi iba. Letnan Edsel menghela napas, menoleh memandang keduanya dengan senyum samar. Dengan segera dia mengalihkan topik pembicaraan mereka sebelumnya. "Immanuel Gildan adalah pengkhianat. Seumur hidupnya. Dia tidak akan diampuni hanya karena dia adalah kekasih Felice Athena, bukan?"
Bibir Sang Jenderal menipis ketat. Rahangnya berubah kaku. "Tidak akan ada bagian dari masa lalu istriku datang mengganggu. Tidak akan pernah ada."
"Aku akan memastikannya."
Salah satu pria berseragam militer berlari menembus hijaunya rumput buatan di lapangan menghampiri Sang Jenderal yang tengah berbincang bersama dua tangan kanan terbaiknya. Dia membungkuk, menatap Sang Jenderal dengan sorot kaku.
"Kediaman Jenderal Dalla diserang."
Athena mencoba bersembunyi saat dia menahan jeritan ketakutan karena peledak berskala kecil meledakkan sayap kanan rumah. Hanya peledak kecil, namun berhasil membuat sebagian rumah hancur lebur. Militer mengepung mereka dari segala sisi. Saat penyerangan terjadi, sebelum jatuhnya korban di depan matanya, mereka mengirimkan sinyal ke Benteng Dallas untuk bantuan demi melindungi istri Jenderal yang terjebak di dalam.
"Gildan, kah?" Athena mencoba keluar dari persembunyian. Dia berlari, menatap balkon yang dipenuhi salju. Dia tidak melihat apa pun selain kolam yang membeku, taman yang mati dan segalanya berubah putih seperti s**u.
"Katakan. Siapa kau?"
Manik Athena melebar ketika dia mendengar suara parau di belakang tubuhnya. Dia menoleh, menatap mata cokelat madu yang berpendar rendah, menatapnya dingin.
Dengan moncong senjata laras panjang menekan pelipisnya. "Siapa kau?"
"Kepala pelayan di rumah Jenderal Dalla."
Kening pria itu mengernyit sempurna. Dia mengamati penampilan Athena yang mencolok dan terlihat berkelas dibanding pelayan-pelayan berkasta rendah di Dalla. "Kau tidak bisa menipuku dengan penampilan mencolokmu. Kau jelas bukan pelayan.”
Bibir Athena menipis. Dia mencoba berpegangan pada tepi balkon yang dingin dan licin.
"Kau di sini, pasti karena kau dan Jenderal memiliki hubungan khusus? Apa kau simpanannya?"
Simpanan, katamu?
"Terserah apa katamu." Athena membentaknya dan salah satu tembakan meluncur melubangi plafon rumah. Dia menjerit tertahan, menutup kedua telinganya karena suara letusan yang begitu keras. Dia tidak pernah berhadapan dengan senjata yang teracung sedekat ini.
Kemana para militer yang berjaga?
Satu ledakan kembali terdengar keras. Kali ini lokasi ledakan dekat dengan Athena. Dia mendengar bunyi sesuatu yang retak, dan ketakutannya menjadi nyata kala tiang-tiang penyangga balkon mulai bergetar hebat.
"Jenderal tidak tahu malu itu harus tahu dengan siapa dia berhadapan!"
Athena berteriak keras. Tidak menemukan pegangan apa pun ketika dia terhempas jatuh ke atas tumpukan salju, melindungi kepala dan tubuhnya dari batu berukuran sedang yang berjatuhan. Sampai batu yang berukuran agak besar jatuh, mengenai belakang kepalanya dan pandangan Athena mulai berkunang-kunang lalu mengabur.
Satu tembakan bergaung mengerikan di telinganya. Athena meringis, mencoba menahan darah yang mengalir hingga salju seputih s**u itu ternodai dengan warna merah pekat yang mencolok dan bau anyir mulai tercium indera penciumannya. Membuat Athena mual mencium bau darahnya sendiri.
Disusul dengan tubuh tak bernyawa dengan satu lubang menganga di dahinya terlempar dari lantai atas. Athena menengadah, melihat siapa yang melakukannya dan pandangan matanya seluruhnya memburam karena rasa sakit yang tak tertahankan di belakang kepalanya.
Tubuhnya limbung sekali lagi, membentur tumpukan salju yang dingin dan tidak sadarkan diri.