4

2311 Words
Athena duduk di depan pemanas, mengulurkan kedua tangan dengan selimut yang terbuat dari bahan sutera tengah melingkupi tubuh kecilnya. Dia mengerang, merasakan panas yang menyengat menyentak hingga d**a. Mengusir seluruh rasa dingin di dalam tubuhnya pergi. Pemanas ruangan sebenarnya cukup efektif membuat tubuhnya terlindung dari rasa dingin. Tapi, dia butuh sesuatu yang lebih hangat untuk menurunkan suhu di kepala yang panas. Athena menoleh, mendengar suara mesin mobil yang membelah salju di depan rumah. Dia memejamkan mata kesal, kepingan tentang dirinya yang tidak sadarkan diri karena terlalu lama di dalam ruangan ultraviolet kembali membuat kepalanya pening. Setelah sadar, dia mengenali rumah ini dengan aroma pinus dan kayu citrus yang kental. Athena merasakan perasaannya membaik. Dia duduk di depan pemanas, menghangatkan diri setelah menyesap teh melatinya. Ada suara sepatu menggema sampai ke telinganya. Athena merapatkan selimut sutera-nya, membuka mata yang sempat terpejam dan melirik dari sudut mata ketika dia melihat sosok hitam menjulang berdiri di sampingnya. Sang Jenderal masih menggunakan seragam militer dengan mantel bulu yang dia lepas, bergerak menggantungnya ke atas tiang. Langkahnya kembali mendekati Athena. "Kau tidak sadarkan diri," itu sebuah pernyataan. "Bagaimana kondisimu?" "Lebih baik." Athena sedikit bergeser. Tidak mampu menatap balik sepasang manik kelam yang kini turun ke arahnya. Memeriksa kondisi tubuhnya dari luar dengan intens. Athena berdeham. Dia berdiri. Tingginya hanya sebatas pundak Sang Jenderal. Menelan ludah gugup, karena mereka adalah pasangan saat ini, Athena masih belum mampu menerima semuanya dengan baik. "Di mana anak-anak panti dan Cassandra?" Manik hijaunya merambat naik menatap mata Sang Jenderal. "Panglima Sai belum membunuh mereka, kan?" Sudut bibir Sang Jenderal tertarik. "Kalau Panglima Sai melakukannya, kau mempermasalahkannya?" Napas Athena berubah berat. Dia mulai gusar di tempatnya berdiri. Tangannya gelisah. Ingin berpegangan pada sesuatu untuk menopangnya tetap berdiri tegak. "Ya," cicitnya pelan. "Mereka keluargaku." Sang Jenderal mendekat. Mengulurkan tangannya menyentuh pucuk kepalanya. "Mereka bukan lagi keluargamu. Aku, hanya aku yang menjadi keluargamu." Dengusan pelan meluncur dari bibirnya. Athena beringsut mundur. Tangan Sang Jenderal yang beristirahat di atas kepalanya turun. Kembali ke sisi tubuhnya. "Aku tidak mengerti kenapa kau memaksakan sebuah kehendak.” Athena menatap salju yang turun dari jendela ruang tamu yang terbuka. "Setiap perbuatan, tentu memiliki alasan. Kau seorang Jenderal, kau punya alasan kuat menahanku di sini." "Yang jelas bukan untuk mempermudah Immanuel Gildan masuk ke dalam Benteng Dallas dan mengacau." Sang Jenderal menjawab, memakukan tatapan mereka. Satu penuh hasrat, satu lagi berupa kekosongan absolut. Athena meremas selimut sutera-nya. Dia bergerak menaiki tangga, mengabaikan Sang Jenderal yang kini menunduk, menghela napas panjang. Ada dua kamar yang terbuka. Di rumah pribadi Sang Jenderal, dua kamar termasuk kamar utama. Dimanakah dia tidur malam ini? Dia belum siap ada di kamar yang sama dengan suaminya. Belum. Karena mereka menikah bukan dasar cinta, tapi paksaan dengan alasan yang masih mengabur. "Di sini, kamarmu di sini." Athena menoleh, menahan suaranya dari rasa terkejut luar biasa karena Sang Jenderal ada di ambang pintu kayu mahoni yang terbuka lebar. Athena menahan napas, menatap Jenderal Dalla yang berdiri menunggunya. "Apa yang kau tunggu?" "Aku tidak—akan tidur di sana." Athena berhasil mengumpulkan keberaniannya yang terbang menjadi serpihan kecil. Kening Sang Jenderal mengernyit samar. Dia tidak suka penolakan. Terlebih dari istrinya sendiri. Sebelum dia menarik tangan kurusnya, Athena tidak membantahnya lebih jauh. Dia masuk ke dalam, membiarkan Sang Jenderal termenung di ambang pintu, mencoba menebak kepribadiannya dalam hitungan detik yang berjalan. Manik Athena menelusuri kamar yang sama. Beraroma pinus dan salju yang mendominasi. Perabotan berwarna cokelat tua berbaur dengan putih s**u dan cokelat muda. Suasana kamar yang hangat membuatnya sedikit lebih baik. Matanya berpendar, jatuh pada salju yang turun deras di luar rumah. "Salju akan berakhir sebentar lagi." Sang Jenderal melepas seragam militernya, meninggalkan pakaian hitam legam berlengan panjang yang membungkus tubuh kokohnya. "Jika musim panas datang, apa yang kaulakukan?" "Berbelanja." Gerakan tangan Sang Jenderal yang tengah melepas pakaiannya terhenti. "Berbelanja?" "Tidak ada yang menarik dari kegiatanku selama di panti," balas Athena singkat. Dia beranjak naik ke atas ranjang, mengabaikan Sang Jenderal terang-terangan dengan memunggungi sosok itu, memilih menatap salju yang turun. Dengan benak bertanya-tanya tentang pujaan hati. Jangan menangis, Athena. Dia terus mengulang kalimat cambukan itu berkali-kali di dalam kepalanya. Jenderal Dalla tidak boleh tahu apa yang dia rasa dan pikirkan, atau nyawa Gildan sebagai ketua Partai Merah akan terancam. Mata Athena terpejam. Helaan napasnya meluncur kasar saat suara pancuran air masuk ke telinganya. Di kamar mandi kamar ini, air panas tersedia dalam jumlah yang tak terbatas. Dalla memiliki satu waduk besar untuk menampung air hujan dalam volume tanpa batas. Air itu akan disimpan dalam tempat-tempat besar untuk persediaan rakyat Dalla saat musim panas dan musim gugur. Kekeringan melanda mereka dengan ganas dan air menjadi permasalahan utama jika pemerintah tidak bertindak cepat untuk menanggulangi kematian para rakyatnya karena kekeringan dan kelaparan. Saat salju turun dengan deras seperti saat ini, salju-salju yang tumpah akan dikeruk. Air-air yang membeku akan dipanaskan dalam suhu yang luar biasa ekstrim, membuatnya mencair dan pasokan air Dalla akan tetap stabil. Begitulah cara kerja Sang Jenderal untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka tanpa merasa kesulitan di musim apa pun. Rakyat Dalla yang memang pada dasarnya memiliki kekebalan tubuh yang lebih baik, memang diharuskan siap menanggung segala pergantian musim yang silih berganti, Air yang ada di waduk akan dikirim ke penampungan air di setiap pemukiman warga melalui selang-selang berukuran raksasa yang tertanam di bawah tanah. Tertimbun berpuluh-puluh meter, dan masih berfungsi dengan baik karena pihak Departemen Air selalu rutin mengecek kondisi selang menggunakan alat-alat canggih untuk mengontrol pasokan air di Dalla. Athena menoleh menatap Sang Jenderal yang sedang memakai pakaian hangat khas rumahan. Kali ini tetap sama. Berwarna hitam pekat. Sesuai warna mata Sang Jenderal yang pekat. Dia melirik pakaian tidurnya sendiri. Cokelat tua yang mencolok. Tidak ada bedanya dengan Sang Jenderal yang memilih warna sesuai karakternya, Athena menyukai warna yang sedikit memiliki makna lebih hidup. Dibanding hitam yang mati. Sang Jenderal mendekat ke arah ranjang. Melempar tubuhnya sendiri untuk berbaring di sisinya saat Athena masih terduduk, melamun menatapnya dengan sorot tak terbaca. "Ada yang ingin kau tanyakan?" Athena mengerjap menahan napas. Sepasang oniks pekat milik Sang Jenderal memaku kedua matanya dengan tajam. "Sejak aku keluar dari kamar mandi untuk membersihkan diri, tatapanmu tidak pernah lepas dariku." "Tidak ada." Sang Jenderal membisu. Dia bergerak, menghadap Athena dengan manik menajam sempurna. "Kau memikirkan Immanuel Gildan?" Oh, jelas. Kenapa dia bertanya? "Tidak." Athena berdusta. Senyum samar di bibir Sang Jenderal terlihat mengerikan. Athena menipiskan bibir karena dia tertangkap basah sudah berbohong. Dia memang pembohong yang payah. Tangan kokoh Sang Jenderal menarik tangannya. Athena terhempas ke atas tubuhnya, menindih d**a bidangnya. Kepalanya beristirahat di atas bantal dengan nyaman. Sorot matanya menilai setiap yang ada di tubuh Athena. Dari mata, hidung dan jatuh ke bibir. "Kau pembohong yang buruk." Athena mencoba bangkit, tetapi lingkaran tangan itu begitu kuat. Menahannya seperti paku di kayu. "Jangan coba menghindar saat aku bicara." "Aku masih tidak bisa menerima pernikahan ini," ujar Athena pelan. "Aku menerimanya. Kau hanya perlu waktu." "Apa alasannya?" Pemimpin tertinggi di Dalla itu mengembuskan napas berat. "Kau akan pucat kalau aku memberitahu alasannya." "Aku bisa mengatasinya." Athena bersikeras dan Sang Jenderal lantas menggeleng. Menolak memberitahu apa alasannya membawa Athena ke rumah dan menjadikannya istri. Dimana pernikahan adalah hal sakral yang tidak bisa diputuskan begitu saja. Satu-satunya yang mampu melepaskan ikatan mereka hanya kematian. Jemari besarnya turun, mengusap permukaan leher istrinya dan berhenti di atas payudaranya. Athena mengernyit samar, merasakan sentuhan seringan bulu yang menggelitik perut bawahnya secara tiba-tiba. "Matamu mulai berhasrat," bisik Sang Jenderal, membantu Athena untuk berbaring dengan hati-hati dan menciumi sepanjang pelipis hingga pipi sang istri. "Aku tidak—" Napas Athena tertahan. Pandangannya mulai mengabur dan kepalanya berdentam hebat. Jantungnya bertalu-talu tak wajar saat bibir dingin Sang Jenderal turun ke belakang telinganya. Mencium sekaligus mengembuskan napas menggelitik di sana. "Ini malam penting bagi pasangan yang baru menikah di Dalla. Tidak terkecuali aku, pemimpin tertinggi yang butuh kehangatan dari istriku sendiri. Aku berbuat salah dengan memaksakan kewajibanmu?" Athena menahan napas. Menelan ludahnya dengan gugup. Tangannya mulai berkeringat dingin. Dia tidak menjawab. Tetapi, Sang Jenderal yang ada di atas tubuhnya paham dengan isyarat matanya. "Tidak, Jenderal." Athena menjawab gamang. Antara tidak yakin pada dirinya sendiri dan harus melakukan kewajiban sebagai istri di Dalla. Dia tahu tentang segala peraturan di Dalla karena panti mereka menyimpan buku-buku aturan dasar umum yang dibagikan gratis dari para militer untuk para rakyat di setiap distrik yang ada di Dalla. Bibir dingin itu mencium bibirnya dengan lembut. Kupu-kupu yang tertidur di dalam diri Athena perlahan mulai mengepakkan sayap tak sabar. Badannya tergelitik dan Athena hanya sanggup memejamkan mata, menerima dengan pasrah tanpa lakukan apa pun. Biarkan malam ini dia menjadi istri seutuhnya. Semua bayangan tentang Immanuel Gildan dan segala janji yang pernah mereka ikrarkan satu sama lain untuk saling menjaga hati melintasi ingatan Athena bagai meteor yang turun menghunjam bumi. Terlalu panas dan menyakitkan. Saat Sang Jenderal merangkak di atas tubuhnya, menciuminya tanpa mengenal lelah guna membangun hasrat terpendamnya bangun. Sekuat apa pun Athena mencoba menahan diri, dia menyerah. Ketika tangan-tangan itu merayap menyentuh titik-titik yang belum pernah tersentuh laki-laki mana pun sepanjang hidupnya, dia serahkan seutuhnya pada sang suami. Athena mencoba menahan diri dari rasa panas yang menyengat kedua kelopak matanya. Dia tidak boleh menangis di malam pertamanya sendiri. Jenderal membuat tubuhnya polos. Keintiman yang menyesakkan secara pasti membangun titik demi titik hasrat Athena sebagai seorang wanita dewasa. Di tengah gelapnya malam, saat Jenderal membuat kulit dengan kulit bertemu, Athena merasakan seluruh dunianya runtuh. Saat pertahan satu-satunya yang dia jaga dengan sepenuh hati, melebur menjadi satu dengan desakan kuat. Mencengkram seluruh syarafnya hingga mengencang dan terasa dunianya berputar layaknya gasing hingga kepalanya berdenyut nyeri. Ini racun, namun berubah menjadi madu yang candu. Gerakan Sang Jenderal semakin tidak beraturan. Di sisi lain, dia mencoba untuk tidak meremukkan tubuh rapuh di bawahnya. Dan di sisi lain, kebutuhan pelepasan itu semakin dekat, dekat, dan berujung pada puncak. Jenderal membawa tangannya meremas kepala ranjang dengan cengkraman kuat. Menundukkan kepala dalam-dalam guna menyembunyikan raut lepasnya saat pelepasan yang dia nanti-nantikan membawa tubuhnya bebas. *** Immanuel Gildan terpaku. Memandang kosong pada kolam air yang menjadi sumber kehidupan mereka selama bersembunyi dan bertahan dari gempuran militer Dallas yang tidak kenal ampun dan istirahat. Siang dan malam, militer Dallas selalu menggempur mereka dari setiap sisi tanpa mengenal kata lelah. Alasan satu-satunya Organisasi Partai Merah bisa bertahan sampai sekarang adalah lokasi persembunyian yang dipenuhi hutan pinus lebat dan semak-semak belukar yang sedikit menyulitkan pencarian para militer Dallas dalam mengejar mereka. Walau pada akhirnya, mereka akan berakhir mati di tangan militer, setidaknya waktu untuk berpikir dan menyusun strategi sempat ada. "Kekasihmu ... dia menikah. Apakah berita itu benar?" Immanuel Gildan mengerjap. Semburat rasa sakit yang terlukis di wajah manisnya membias sendu. Dia menunduk sekali lagi. Salju mungkin membekukan sebagian tempat mereka. Tapi ada salah satu kolam yang bertahan tanpa membeku. Dan salju itu berhasil membekukan hatinya sekali lagi. "Aku belum melihatnya." Dia berujar lirih. Anak buahnya yang datang diam-diam menyelinap ke Benteng Dallas pulang hanya tinggal nama. Mereka tidak lagi berbentuk utuh dan militer Dallas mungkin menumpuk mayat mereka dalam sebuah gudang besar sebagai peringatan untuk rakyat Dalla agar tidak memberontak dengan menuntut asas kebebasan yang semu. Salah satu anggota menatapnya miris. Mereka tahu, bagaimana besarnya cinta Immanuel Gildan untuk Felice Athena yang sederhana dan cantik. Gadis itu sangat baik. Terlepas bagaimana ketakutan yang membayanginya akan keselamatan mereka yang terancam. Felice Athena selalu berulang kali mencoba sekuat tenaga melindungi Organisasi Partai Merah dengan kedua tangannya sendiri. Luka yang ditorehkan Sang Jenderal tidak berhenti sampai dimana dia membunuh anggota Partai Merah yang mencoba menelusup masuk hanya untuk mencari kelemahan dari Benteng Dallas yang amat kokoh. Dia juga mengambil separuh hidup dari Immanuel Gildan. Alasan pria itu hidup hingga kini. Beberapa anggota yang sibuk membuang tumpukan salju untuk membuat benteng sementara bagi persembunyian mereka, saling bertukar pandang. Melihat Immanuel Gildan yang hancur, bisa saja menjadi pegangan mereka untuk lebih longgar. Militer Dallas akan menggempur mereka lebih keras lagi jika Immanuel Gildan lengah. Dia melepas bajunya. Menampilkan guratan otot yang sempurna dan bentuk badan yang diidam-idamkan para kaum adam sebelum perang dunia melanda hebat di perut bumi yang tandus. Manik teduh Gildan menelusuri kedalaman kolam dan melemparkan diri ke dalam untuk mendinginkan kepala. Juga hatinya. Apa yang paling menyakitkan terjadi dalam hidup manusia selain kehilangan? Immanuel Gildan pernah kehilangan orang tuanya karena pembantaian besar militer Dallas yang dipimpin langsung oleh Jenderal Akram. Gildan kecil harus bersembunyi di semak-semak dan berlari masuk ke dalam hutan pohon pinus untuk berlindung dari kejaran militer yang meminta seluruh pemberontak dihabisi. Tidak terkecuali keturunannya. Dan para anggota Partai Merah yang berani mati hanya untuk bersamanya meraih kebebasan absolut yang diimpikan. Immanuel Gildan hanya memiliki mereka sebagai keluarga yang tersisa setelah pembantaian besar-besaran oleh Jenderal Akram merenggut segalanya. Dan Athena. Immanuel Gildan bukan pria mati rasa yang kaku dan tidak bisa mencintai wanita manis memiliki senyum meneduhkan sepanjang hidupnya dia berkelana. Athena terlalu cantik, terlalu bersinar hingga rasanya d**a Gildan sesak memikirkan apakah dia bisa melindungi gadis itu seperti Athena melindunginya? Dia bukan pria yang bisa mengucap janji akan melindungi Athena setiap waktunya. Dia pasti melakukannya. Jika, Athena meminta nyawanya, dia akan melakukannya. Apa pun. Asalkan tidak menyerah pada prinsip yang tertanam di dalam kepalanya sejak Gildan masih sangat dini dan rapuh. Lalu, ketakutannya berubah menjadi nyata. Dia berpikir akan ada saatnya Athena lepas dari genggaman tangannya. Dia berpikir tentang kematian karena gadis itu melindunginya. Dan yang lebih menakutkan adalah Athena yang menjadi istri dari Jenderal Dalla yang dikenal bertangan dingin dan bengis. Tidak kenal ampun, bahkan pada tangan kanan terbaiknya sekelas Letnan Edsel. Jenderal tidak akan segan bermain dengan mereka yang memberontak atau melancarkan aksi kudeta diam-diam di belakangnya. Menghancurkan siapa pun yang berani menentang aturan yang dibuatnya. Kepala Gildan terbenam di dalam air yang dingin. Suhu tubuhnya menurun cepat. Tangan dan kakinya mulai mati rasa. Dan Gildan masih bertahan untuk tetap menyelam sampai kepalanya benar-benar mendingin dan dia bisa berpikir panjang demi kelangsungan hidup anggota Partai Merah yang bergantung pada dirinya. Athena, tunggu aku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD