"Nona Athena, laporan bulanan tentang distribusi pangan selama musim salju."
"Oh, ya, terima kasih." Athena memberikan senyum tipisnya pada gadis muda yang gugup itu. Tangannya saling meremas satu sama lain, manik Athena menyipit menilai penampilannya yang masih belia dan tampak belum matang.
"Berapa usiamu?"
Gadis itu mengintip malu dari rambut panjangnya yang tergerai seperti ombak di lautan. "Dua belas tahun."
"Masih terlalu muda.” Athena tersenyum samar. "Kembalilah ke tempatmu."
Lamunan Athena akan laporan tentang distribusi pangan yang diberikan pekerja Departemen Pangan padanya membuatnya amat fokus hingga dia tidak menyadari sosok yang sejak tadi berpura-pura sibuk menghitung jumlah pasokan makanan dalam gudang, perlahan mendekatinya dalam diam.
Tanpa suara yang berarti karena ruangan ini sangat ketat oleh pengawasan militer Dallas, dia melemparkan cokelat batangan ke atas meja Athena. Menimbulkan sedikit bunyi agak keras ketika membentur permukaan meja.
Athena menoleh dan kaget menemukan lelaki muda itu berdiri dengan membawa kardus di kedua tangannya. Setelah menyusunnya sesuai warna kardus itu, barulah mereka bisa bicara. "Salam, Nona Athena. Namaku Maru."
"Maru?" Kening Athena mengkerut menatap lekat-lekat wajah manis dan muda itu. Dia membelalak, menutup mulutnya tak percaya ketika ingatannya kembali. "Bagaimana dengan Gildan?"
"Kapten kami baik-baik saja," Maru mengendik pada cokelat yang Athena genggam. "Dia menitipkan cokelat itu padaku dan menitip salam rindu padamu."
Senyum melukis indah pada wajah cantik Athena dan rona malu mulai merayap di kedua pipi ranumnya. Dia menggenggam lembut cokelat itu dan takut kalau menghancurkannya. Maru tersenyum, dan kembali bekerja agar tidak dicurigai yang lainnya saat Athena tengah memandang cokelatnya dan terpaku beberapa lama. Menikmati hangatnya kasih sayang Gildan yang tampak di matanya. Mereka memang jauh, namun kasih sayang Immanuel Gildan telah sampai menyentuh hatinya.
Tak tampak bahwa ada CCTV yang bergerak memutar mengintai mereka dari tempat tersembunyi yang tidak mereka bayangkan sebelumnya.
Senyum mengulas di wajah dingin Sang Jenderal. CCTV di Dalla terbaik pada kelasnya karena mampu merekam suara apa pun layaknya video yang terputar di dalam kaset secara sempurna. Suara yang dihasilkan pun begitu jernih dan jelas.
Letnan Edsel menipiskan bibir bersama Panglima Sai yang tercenung. Menatap layar dengan ekspresi muram.
"Rindu yang menggelegak hebat nyatanya benar-benar mengerikan." Panglima Sai mengernyit, menemukan delikan tajam Letnan Edsel untuk menjaga ucapannya di dalam ruangan Sang Jenderal. Ucapan Sang Panglima terkadang membuat banyak pihak tersinggung. Entah sengaja, atau memang Sang Panglima gemar mencari keributan dengan orang lain.
"Awasi anak itu." Perintah Sang Jenderal ketika dia memutar kursinya dan pemandangan membosankan yang tengah Athena lakukan dimulai. "Dia akan membawa kita pada tempat persembunyian Immanuel Gildan."
Tangan Sang Jenderal terjulur, menyentuh belakang lehernya yang pegal dan menggelengkan kepalanya guna mengusir rasa tak nyaman itu sejenak.
Sang Jenderal keluar dari ruangannya dan berjalan menuju kamar cadangan yang ada di dalam Benteng Dallas dalam langkah pelan. Sembari kedua mata elangnya mengamati gerak-gerik para militer yang diberi izin masuk ke dalam Benteng Dallas dengan bebas.
"Jenderal, kau di sini?"
Sang Jenderal menoleh. Memandang Dokter Sara dengan tajam dan kemudian mengangguk pelan. "Ada kepentingan apa kau berjalan di sekitar kamar cadangan?" Jenderal bertanya dingin pada Dokter Sara yang tersenyum samar.
"Ada anggota militer yang terluka dan dia tidak dibawa ke rumah sakit karena lukanya dapat menutup dengan cepat. Ini mengejutkan, bukan?"
"Menutup dengan cepat?"
Dokter Sara mengangguk pelan. "Ya. Seperti luka sayatan, lalu berhasil pulih dengan cepat tanpa tahu kalau mereka memasukkan bakteri berbahaya yang menggerogoti daging manusia melalui luka sayatan."
Ekspresi Sang Jenderal menggelap. "Cepat selidiki bakteri itu dan aku akan bicara dengan ketua laboratorium untuk penawarnya."
Dokter Sara segera mengangguk. "Aku sudah melakukan penelitian untuk hal yang mendesak ini. Mungkin, ini mengejutkan. Tetapi penawar yang kubuat sudah hampir delapan puluh persen."
"Kau yakin?"
"Sangat yakin, Jenderal." Dokter Sara memangkas jarak di antara mereka dengan kedipan mata yang menggoda. Senyumnya perlahan mengembang indah. Dengan berani, dan tanpa terlihat siapa pun, dia mengulurkan telunjuknya, menyusuri permukaan kulit dingin Sang Jenderal dengan gerakan seduktif yang menggoda. "Ini sangat halus dan lembut. Seperti pertama kali ketika tangan ini bergerak untuk meraba permukaan kulitku saat itu."
"Malam itu adalah kesalahan."
"Dan malam-malam kita selanjutnya adalah kesalahan?"
Sang Jenderal menggeram ketat di dalam tenggorokannya. Dia menghempaskan tubuh Dokter Sara dan gadis itu terperangah bingung. Kaget dengan penolakan yang terang-terangan Sang Jenderal lakukan.
"Semua yang kita lakukan kesalahan. Karena aku tidak pernah puas dari apa yang sudah kita lakukan."
"Kau memang tidak akan pernah puas, Jenderal. Karena kau tidak memiliki perasaan." Dokter Sara kembali memangkas jarak di antara mereka dengan gerakan penuh rayu dan Sang Jenderal hanya menatapnya dingin.
"Tidak ada yang bisa kaulakukan sekarang, Sara. Aku berhutang padamu, dan rasa terima kasihku cukup sebatas kebebasanmu dalam bekerja tanpa dibawah pengawasan militer hitam."
"Kau tidak mencintai istrimu, kan?" Dokter Sara bertanya spontan, tanpa bisa dia tahan.
Kepala Sang Jenderal menggeleng pelan.
"Tidak atau ... belum?"
Kening Sang Jenderal terlipat dalam. "Tidak atau belum, aku rasa itu sama sekali bukan urusanmu. Urusan pribadiku, biarlah menjadi urusanku.” Sang Jenderal memicingkan mata tajam pada Dokter Sara di bawah tatapan matanya. “Letnan Edsel benar, kau terkadang terlewat batas."
Dokter Sara terkesiap mendengar kalimat menusuk yang terakhir. Dia berdiri limbung, menatap Sang Jenderal yang beralih pergi tanpa kata. Matanya sontak meredup, memandang Sang Jenderal dalam bayangan gelap yang menakutkan.
Athena membuka pintu kamar cadangannya yang tidak terkunci. Dia mengernyit, siapa yang masuk ke dalam kamarnya? Karena seingat yang Letnan Edsel bilang baru saja, kalau kamar itu dikunci demi kenyamanan sang pemilik jika dia tidur di sana.
Athena masuk ke dalam. Menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dia mendengar suara seseorang keluar dari dalam kamar mandi, tampak segar dan aroma citrus yang memgembang hebat merasuk ke dalam ruangan membuat Athena menahan napas tiba-tiba.
"Kenapa kau di sini?"
Sang Jenderal melempar handuknya sembarangan. Dia meraih pakaian lengan panjang berwarna hitam untuk ia kenakan. "Aku rasa kau tidak lupa kalau rumahku sedang dalam masa pemulihan.” Sang Jenderal memasang ekspresi datar. “Aku juga tidur di sini."
"Bagaimana dengan kamar cadangan lain?" Athena mengangkat alis saat dia bertanya.
"Kau tidak ingin kabar burung menyerang Benteng Dallas tanpa pemikiran matang, bukan? Bagaimana jika gosip tentang hubungan kita yang renggang menjadi obrolan orang lain?"
"Biarkan saja." Athena berjalan acuh, menuju kamar mandi dan menutup pintunya. Dia perlu untuk membersihkan diri dan membersihkan segalanya dari apa pun yang melelahkan sepanjang siang ini.
Seragam militer yang terpasang gagah membalut tubuh Sang Jenderal membuat Athena terperangah. Gadis itu baru saja selesai melaksanakan ritual membersihkan diri dan hanya jubah mandi yang membalut tubuh kurusnya sebagai pelindung satu-satunya yang dia miliki sekarang.
Athena sedikit berdeham. Dia meraih pakaiannya di atas ranjang. Mencoba kembali ke kamar mandi saat tangan Sang Jenderal menahannya, membawanya kembali ke tempat semula. "Kenapa tidak menggantinya di sini?"
"Di depan matamu, begitu?" Balas Athena sinis. "Dalam mimpimu."
"Aku bisa membantumu memakaikan pakaianmu kalau kau mau." Jenderal menawarkan diri dengan tatapan senonoh yang membuat Athena jengkel pada tubuhnya.
Athena melotot tak percaya. Dia mendengus kasar. Menepis tangan sang suami di lengannya. "Aku masih sangat yakin kalau kedua tanganku masih berguna dengan sangat baik. Aku tidak mengalami kelumpuhan atau apa pun yang membuatmu kerepotan."
"Aku hanya menawarkan bantuan, kenapa kau marah?"
Alis Athena menekuk tajam. "Pikirkan saja dirimu sendiri. Aku juga menawarkan bantuan untuk mengobati lukamu dan apa jawabanmu?"
Sang Jenderal terpaku diam di tempatnya berdiri.
"Sekarang kau merasakan bagaimana menolak tawaran orang lain yang hendak membantumu, kan? Biar kau tahu rasa." Athena melangkah lebar-lebar ke dalam kamar mandi dan membanting pintunya. Kalau pintu ini rusak, dia tidak akan pusing memikirkan untuk mengganti pintu yang baru.
Sang Jenderal menghela napas. Untuk kebiasaan istrinya yang senang merajuk itu, dia merekamnya dengan jelas di dalam kepalanya. Athena akan dengan senang hati membanting pintu kalau dia merasa kesal dan jengkel. Atau mungkin saat dia merasa marah? Seperti semalam? Sudah terhitung, istrinya tiga kali membanting pintu karena merasa jengkel padanya.
Pertama, di ruangannya. Kedua, di ruangan yang tersembunyi di dalam dapur. Ketiga, kamar mandi.
Sang Jenderal berjalan keluar kamar dengan seragam militernya kala dia melihat pasukan bawah tanah keluar untuk berjaga di sekitar Benteng Dallas. Jelas, ini bukan masalah sepele. Dia berlari sembari memasang topi militer di kepalanya.
Sang Jenderal keluar, dan menemukan puluhan anggota militer memberikan hormat pada Letnan Edsel. Sesaat setelah Sang Jenderal berdiri di samping Letnan Edsel, semua pasang mata mengarah padanya, memberikan penghormatan yang sama.
"Kami menemukan dua anggota militer tewas karena sesuatu yang mengerikan. Panglima Sai menemukan peledak berkekuatan tinggi tertempel di sisi benteng, dan itu sangat membahayakan."
Sang Jenderal menatap foto kematian mengenaskan anggotanya dengan desisan dingin. Dia menengadah, menatap langit yang cerah dan kebiruan. "Baik, siapkan pasukan. Ganti pakaianmu dengan pakaian tempur. Kita tidak boleh lengah sekarang."
"Baik, Jenderal."
Semua pasukan bergegas kembali ke pos penjagaan dengan seragam tempur mereka yang menakutkan. Jenderal kembali masuk ke dalam ruangannya ketika militer bergerak menyisir benteng dengan alat canggih mereka guna mendeteksi peledak yang disamarkan anggota Partai Merah dipandu oleh komando pusat militer Dallas di dalam ruangan.
Panglima Sai menatap lembaran kertas sebagai laporan anak buahnya dari Departemen Pangan. Mereka menemukan kunci di balik serangan mengejutkan ini. Panglima Sai mengernyit menatap gambar itu beserta keterangannya saat dia menemukan kejanggalan.
"Ganti pakaianmu dengan seragam tempur. Ini perintah."
Panglima Sai mengangkat kepala dari kertas-kertas yang dia pegang. Letnan Edsel mengambil salah satunya tanpa permisi, menatap gambar itu dalam diam. "Departemen Pangan?"
"Anak buahku memberikan laporan. Awal dimulai penyerangan mendadak ini."
Letnan Edsel mengambil keseluruhan gambarnya dan memandangnya dengan kernyitan di dahi. "Istri Jenderal yang membantu mereka menyelundupkan makanan ke dalam boks pengangkut bahan pangan?"
Panglima Sai mengangguk pelan.
Letnan Edsel bergegas masuk ke dalam ruangan dan menemukan Sang Jenderal tengah memasang topi militernya dan sudah selesai mengganti pakaiannya dengan seragam tempur.
"Kau harus lihat ini."
Sang Jenderal menerima laporan itu dari tangan Letnan Edsel. Dia membacanya cepat, menemukan gambar demi gambar yang bisa dipotret sebagai barang bukti.
"Istri Jenderal Dalla menyelundupkan makanan untuk para pemberontak?"
Sang Jenderal terdiam seribu bahasa. Dia meremas tepi kertas itu dan melihat catatan kecil di sudut kertas. Ada bukti latar waktu yang ikut tercetak dalam gambar itu.
Ledakan sekali lagi terjadi. Benteng hampir mampu tertembus walau sama sekali tidak tergoyahkan karena peledak berskala sedang itu hanya untuk memecah fokus para militer yang sedang bersiap.
Ketiga kepala itu menoleh bersamaan. Menatap asap yang mengepul hitam terbang ke angkasa secara bergumpal. Pintu ruangan terbuka, Athena masuk dengan napas terengah bercampur panik. "Kubilang, lepaskan! Kenapa aku harus dipenjara di saat aku tidak lakukan apa pun?"
Letnan Edsel menoleh ke belakang. Menemukan dua militer Dallas menarik paksa tangan Athena dan bersiap menyeretnya pergi ke penjara bawah tanah. Panglima Sai menatapnya dingin. Pengkhianat pantas dihukum seberat-beratnya, kan?
"Aku tidak melakukannya! Aku tidak menyelundupkan apa pun pada pemberontak Partai Merah!"
Athena membentak sekali lagi pada semua orang yang ada di ruangan. Habis sudah kesabarannya menahan diri. Dia menjauhkan tubuhnya dan menampar kedua anggota militer Dallas itu cukup keras. "Jangan tuduh aku yang tidak-tidak. Bukan aku pelakunya!"
Dan satu ledakan lagi terdengar lebih keras.
Sang Jenderal menghela napas berat. Bibirnya sedikit membuka untuk mengembuskan napas panjang sebelum dia memutuskan untuk memberi perintah mutlak.
"Bawa dia ke penjara."
Panglima Sai yang mendengar bisikan pelan Sang Jenderal mengangguk patuh. Dia menginstruksikan anggotanya untuk membawa paksa Athena ke penjara tanpa mendengarkan penjelasan dari gadis itu lebih jauh.
"Aku tidak lakukan apa pun! Aku tidak lakukan apa pun. Dasar kalian b*****h!"
Pintu tertutup sempurna. Dan kebisuan menghantam mereka layaknya badai di hujan yang lebat.
"Dia bicara kasar. Ini pasti kesalahpahaman," bisik Panglima Sai pada Letnan Edsel yang menunduk, menggelengkan kepala.
"Letnan."
Letnan Edsel mengangkat kepala.
"Ariana masih hidup, bukan?"