10

1441 Words
Felice Athena membuka mata setelah kepalanya berdenyut keras dan dia merasakan sakit yang berdentam-dentam di dalam kepalanya dalam gerakan lambat yang menyakitkan. Napasnya berubah kasar. Dia menemukan dirinya seorang diri. Bukan, bukan di dalam ruangan yang ada seperti semalam mereka melakukan hubungan badan layaknya suami istri pada umumnya. Tetapi, di kamar inapnya sendiri. Sontak kedua matanya melebar sempurna. Dia menatap pakaiannya sendiri yang terpasang rapi di tubuhnya. Tidak terkecuali kaus kaki yang selalu dia gunakan di musim dingin untuk menjaganya agar tetap hangat. Dia sangat yakin mereka semalam melakukannya karena Sang Jenderal bersikeras tidak mau mengobati lukanya dan berakhir dengan pemaksaan kehendak pada istrinya sendiri. Athena mencoba memberontak yang sayangnya berakhir percuma karena Sang Jenderal tidak menyukai siapa pun yang membantah ucapannya bahkan pada istrinya sendiri. Athena berjalan menyusuri lantai rumah sakit yang dingin dan selalu sepi. Dia mulai terbiasa berkawan dengan sepi dan berusaha keras melupakan tawa anak-anak atau jeritan mereka yang memekakkan telinga di pagi hari. Terngiang di kepalanya bagai melodi pembuka pagi yang menghangatkan hati. Yang sayangnya tidak akan pernah dia dapatkan di dalam Benteng Dallas ini. Athena sedikit limbung dan kepalanya membentur keranjang dorong rumah sakit dimana perawat membawakan sarapan para pasien dan sibuk berlalu-lalang menunaikan tugas mereka masing-masing. Gadis manis itu terlonjak, dia berjongkok untuk membantu sang ibu negara bangun dan Athena merintih pelan merasakan denyutan di kepalanya. "Luka jahitannya sedikit terbuka." Perawat itu bergumam panik dan dia segera membawa Athena kembali ke dalam kamarnya dan memanggil Dokter Sara masuk untuk melihat kondisinya. Dokter Sara datang untuk kembali menjahitnya. Menatap lukanya dengan intens, dan membubuhi beberapa obat pereda rasa sakit sebelum pada tahap akhir memberikan suntikan untuk meredam rasa sakitnya selama proses jahitan baru selesai. Letnan Edsel masuk tergesa-gesa. Dia menemukan Dokter Sara tengah merapikan alat medisnya dan beranjak pergi tanpa suara. Sangat bukan dirinya sendiri, gumam Letnan Edsel. "Kau tidak apa?" Athena mendesis pelan. Merasakan denyutan samar di kepalanya perlahan lenyap dalam dentingan waktu yang bergerak. "Ya." "Jika mau masih hidup dan bernapas saat ini tanpa luka apa pun, aku pastikan Jenderal Levant tidak lakukan apa pun padamu semalam." Mata Athena memicing memandang seragam militer hitam Letnan Edsel dan merambat naik ke matanya. "Berhubungan badan di antara suami istri yang tidak saling mencintai bukankah terhitung pemaksaan kehendak?" Letnan Edsel memundurkan kepalanya. Menipiskan bibir. Dia dihadapkan pertanyaan yang sulit. Kalau-kalau dia salah bicara dan Athena mengadukan pada Sang Jenderal, tamatlah sudah. Gadis ini bisa jadi petaka bagi siapa saja. "Sang Jenderal yang paling paham peraturan di Dalla." Letnan Edsel menyudahi perdebatan dengan kalimat telak. "Jangan bercanda." Athena mendengus remeh. Memalingkan muka menatap musim yang berganti. Selamat tinggal, salju. "Kau mulai bekerja di kantor departemen mulai sekarang. Karena rumah Jenderal perlahan mulai mencapai tahap akhir, sebelum kau dipindahkan, untuk sementara kamar cadangan di Benteng Dallas akan dijadikan kamar kalian sementara waktu." Kepala merah muda itu terangguk patuh. "Letnan, kau memanggilku tanpa embel-embel penuh hormat atau apa pun karena derajatku kini lebih tinggi. Aku ingin tahu alasannya?" Letnan Edsel menghela napas panjang. Mata biru lautnya melirik CCTV yang menyala, merekam semua kejadian di dalam kamar tanpa terlewat satu apa pun. "Aku tidak perlu bersusah payah membangun reputasi baik di depanmu. Karena kau tahu, militer hitam Dallas tidak mengenal ampun dan belas kasihan. Begitu pula kami. Aku menghormatimu dengan caraku sendiri. Aku tidak akan memperlakukanmu sama seperti aku memperlakukan Jenderal.” Setelah mengucapkannya, Letnan Edsel pamit undur diri keluar ruangan. Meninggalkan Athena yang tercenung sendiri di dalam kamar yang sunyi dan temaram. *** "Selamat datang, Nyonya Athena." Athena menggigit lidahnya keras-keras. Menemukan sambutan yang tak biasa dari pegawai departemen yang membungkuk cukup dalam padanya dan memberikan tatapan penuh hormat layaknya dia ratu di negara ini. Yang manakala—itu sangat berlebihan. Ditambah pengawalan ketat dari militer hitam Dallas yang berdiri tegak di belakangnya. Athena ikut membungkuk, memberikan senyum tipis, setipis benang jahit yang rapuh. "Jangan terlalu formal. Kalian bisa memanggilku dengan Nona, bukan Nyonya. Atau memanggil namaku seperti biasa juga bukan masalah.” Mereka saling melempar pandang. Sesuai perintah yang dikeluarkan Sang Jenderal pagi tadi di pertemuan dadakan mereka, bahwasanya mereka harus mentaati semua apa pun yang dikatakan istrinya nanti. Termasuk memanggil namanya dalam bahasa formal yang semestinya. Athena menghela napas lelah. Dia memegang pelipisnya sendiri. Sudah dia duga, dia tidak akan bisa lakukan apa pun untuk menolong rakyat Dalla hidup berkecukupan tanpa bantuan tangan Sang Jenderal. Mengurus dirinya saja kesulitan, apalagi mengatur kehidupan orang banyak? Athena tidak yakin. Apa ini usaha Sang Jenderal dalam mendekatkan diri padanya? Agar Athena mau bicara banyak tentang kegiatannya selama di departemen dan apa saja kekurangan yang terjadi untuk menimalisir kesalahan? Jangan konyol, Athena. Sang Jenderal bahkan tidak berpikir sampai ke sana. Apa katanya? Usaha mendekatkan diri? Athena tidak seberpengaruh itu di dalam kehidupan Jenderal maupun Dalla. "Baik, aku tidak akan berbasa-basi karena aku tidak pandai melakukannya," Athena menyunggingkan senyum tipis. "Aku akan melihat-lihat di sekitar sini dan kalian bisa memberi laporan yang terjadi akhir-akhir ini." Kabar Felice Athena memegang kendali departemen sampai ke telinga anggota Organisasi Partai Merah yang tengah bersembunyi dalam gudang kosong dimana bekas laboratorium ilegal yang terbakar di era Jenderal Akram. Gudang ini berguna melindugi mereka dari serangan militer Dallas yang tiada ampun dan kenal lelah. Untuk sementara waktu, sebelum mereka bisa menemukan persembunyian yang layak sampai semua aman dan mereka bisa kembali melarikan diri mencari persembunyian yang entah sampai kapan mereka lakukan. "Athena?" Immanuel Gildan berdiri kikuk. Dia melempar senjatanya tanpa sadar. Berdiri mendekat pada salah satu anggota mudanya, mengguncang tubuhnya dengan mata menyala penuh hasrat. "Kau benar berani menjamin dengan info yang kau dapat?" "Ya, Kapten. Salah satu pekerja di departemen memberitahuku begitu istri dari Jenderal Dalla datang ke sana untuk perkenalan." Istri. Napas Immanuel Gildan berubah sesak dan tak tentu. Jantungnya berdenyut perih kala dia mendengar nama Athena yang kini seutuhnya menjadi milik sang penguasa Dalla yang bengis. Gadis sebaik dan secantik Athena tidak seharusnya jatuh ke tangan Sang Jenderal yang kejam, makhluk yang tak kenal kata ampun di dalam cangkang tubuh manusia kokohnya. Athena berhak mendapat laki-laki pantas yang akan menjaga dan melindunginya. "Kalau begitu, kirimkan mata-mata kita untuk bekerja di dalam departemen sebanyak mungkin. Athena tidak akan lepas dari pengawasanku mulai sekarang." "Ah, kau benar." Immanuel Gildan memicing dingin, menatap tajam pada sosok gadis berambut perak lugu yang tengah tersenyum manis ke arah mereka. "Kau tidak seharusnya bersikap gegabah dengan menyatakan perang secara terang-terangan pada Jenderal Levant. Kau akan mati." "Green Ariana." "Hai, Immanuel Gildan. Senang melihatmu lagi. Kau tampak kurus dan ... menyedihkan," senyum manis gadis itu mengembang lebar. "Terakhir kali aku melihat Gildan muda, kau begitu tangguh dan tak terkalahkan." “Begitu pula sekarang." Green Ariana tersenyum tipis. "Sifat kekanakkanmu belum juga hilang. Kenapa aku tidak terkejut?" Immanuel Gildan mengangguk pada anggotanya yang bersiap menembak kepala Ariana dengan pistol mereka karena melihat lambang kalung yang digunakan gadis itu. Bulan. Dia berasal dari Distrik Sopa. Perlahan, mereka menurunkan senjata mereka dan menyimpanya. Kembali sibuk pada urusan masing-masing. Beberapa ada yang tengah menumbuk obat, dan beberapa sedang diobati karena terkena demam tinggi karena cuaca yang berubah-ubah secara cepat. Green Ariana mengedarkan pandangan menelanjangi tempat persembunyian Partai Merah yang lebih pantas disebut sebagai tempat pembuangan sampah. Pengap dan berbau. Sangat tidak cocok dengan seleranya. "Kami bisa mengatasinya karena kami baru tiba semalam. Gudang ini tidak akan lagi berbau setelah anggotaku menempelkan beberapa dedaunan untuk meminimalisir aroma tak nyaman ini." Gadis manis itu tersenyum polos. "Aku banyak berhutang penjelasan padamu. Karena semenjak kepergianku, kau terlihat lebih mandiri?" Immanuel Gildan mengamati penampilan Green Ariana yang berantakan. Rambut panjangnya tergerai kusut dan kedua matanya tampak sayu, walau mata itu menyala penuh tekad yang kuat. "Kau kemari tanpa kejaran militer Dallas, kan?" "Aku berhasil lolos." Green Ariana menangkap nada bermakna sindiran itu. Dia tersenyum, memiringkan kepala. "Dan mungkin sebentar lagi mereka akan menemukan kita." "Distrik Sopa terlalu gegabah dalam hal mencari celah. Kaum kalian bahkan mencuri senjata kami." Immanuel Gildan melemparkan sindiran tajam pada Green Ariana yang menyipit sinis padanya. Green Ariana menipiskan bibir. "Mereka begitu bodoh. Para petani itu tidak sabar dan bertindak semaunya sendiri tanpa bisa kucegah." Immanuel Gildan mengangkat tangan. Mengusap pucuk kepala Ariana dengan sayang. "Anggap saja sekarang lawanmu Letnan Edsel dan aku pada Jenderal Levant." Rahang Ariana mengetat sempurna. Dia menepis kasar tangan Immanuel Gildan dari kepalanya. "Aku tidak pernah merasa kalau Letnan Edsel adalah musuh kami. Dia hanya serangga pengganggu yang harus dibasmi secepatnya. Immanuel Gildan menyeringai lebar. "Wah, itu terlalu kasar bagi seseorang yang penah berarti dalam hidupmu, Ariana." Mata gadis itu berubah dingin dalam sekali kejap. Immanuel Gildan menipiskan bibir, seringainya lenyap dan perlahan terkikis digantikan raut kosong layaknya boneka hidup menatap Green Ariana yang sedang mendesis lirih. "Karena selamanya terlalu jauh bagi kami. Aku tidak akan pernah menganggapnya berarti lagi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD