Pemain Hati

2103 Words
Aku duduk di punggung ranjang, mencoba mengumpulkan nyawa yang baru rehat setelah berceceran entah kemana. Nyawa yang sebenarnya hanya separuh, karena separuh lagi telah dibawa pergi Sofia. Ahh, badanku terasa pegal-pegal sekali pagi ini… Aku mengusap wajahku beberapa kali, memberikan rasa hangat setelah semalaman berada di bawah pendingin ruangan. Perlahan aku mencoba bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Ritual pagi pengatur mood seharian ala Sofia. Ia mengajarkannya padaku sejak kami masih pendekatan dulu. Ia melatihku untuk terbiasa tersenyum dan memuji diri sendiri depan cermin ketika memulai kegiatan di pagi hari. Ia membuatku percaya bahwa suasana hati di pagi hari sangat berpengaruh pada suasana hati seharian. Aku melangkahkan kaki kanan memasuki kamar mandi dan… Hey! Perempuan dengan wajah buram itu datang dan memelukku kembali di depan cermin. Mengganggu ritual pagiku. "Siapa sih kamu?!" tanya aku kesal sendiri dengan kehadirannya dalam cermin yang seenaknya bisa datang dan pergi tanpa permisi. Kamu kira kaca ini kost-kostan? Datang, pergi, datang, pergi. Tanpa tanda, tanpa ku ketahui, dan tanpa pesan. Hah! Aku membasuh wajahku dengan air hangat dan menyabuninya sambil berusaha mengingat siapa perempuan dengan wajah buram itu. Tidak terasa seperti Sofia. Dia terasa asing. Aku membilas wajahku. Ku tatap kedua bola panca indera yang terlihat kosong itu. Masih saja hidup tanpa harapan kamu, Bila? Kasihan. "Pagi Cantik!" aku tersenyum pada diriku sendiri. Ku tepuk kedua pipiku seraya berkata, "Makan tuh mantan lu! Nggak move on juga, heran". Aku berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Mbok Mar tengah duduk manis di meja makan menikmati kopi hitamnya. Aroma bubuk hitam dengan gula dan air panas itu mampir di hidungku sekilas. "Pagi Mbok Cantik. Enak juga ya pagi-pagi gini ngopi. Bila mau dong Mbok. Kentel, jangan terlalu manis ya. Kayak biasanya" kataku menghampirinya. "Iya Non Bil... Ehh, wealahhhh. Non lagi dapet ya? Itu nembus gitu ke celana tuh!" Mbok Mar menunjuk celanaku. Aku melihatnya, ohh Damn! Tamu menyebalkan ini datang lagi. Tanpa basa basi, aku berlari ke kamar mengambil pembalut dan pakaian ganti. Ya ampun! Ternyata tak hanya ke celanaku yang dihinggapi Si Merah ini, namun spreiku dan selimutku pun turut serta. Menambah pekerjaanku saja. Aku harus mandi lalu mengganti alas tempat tidurku setelah ini. *** "Hai Qira. Mau ketemu jam berapa hari ini ya? Saya udah siap. Tinggal jalan aja kok nih" tanyaku pada perempuan yang entah mengapa membuatku segera ingin melihat sosok aslinya. Apakah wajah aslinya akan sama cantik dan menarik seperti yang ku lihat di foto? Setelah ku tunggu beberapa lama, perempuan ini tak juga membalas pertanyaanku. Apa dia belum online juga daritadi? Pikiran busukku timbul. Jangan-jangan, dia hanya penipu seperti yang sudah-sudah. Memesan lalu menghilang tanpa jejak. Atau dia kehabisan uang dan tidak enak hati untuk membatalkan pesanannya padaku? Sudah biasa, klasik sekali. Aku membuka website buatanku. ParaPerempuanPelangi.com. Terkadang, aku suka ikut bergabung dengan pembicaraan mereka. Ikut berusuh ria dan membahas dunia terutama Indonesia dan Jakarta tentang kehidupan Lesbian. Kami membicarakan pendapat banyak mayoritas masyarakat bahwa kami adalah manusia yang dilakhnat Tuhan, kami adalah contoh penyimpangan social, kami ditakuti banyak orang dan tidak akan diterima. Aku selalu bersemangat ketika membahasnya. Karena aku punya pendapat dan alasanku sendiri tentang semua itu. Topik teratas minggu ini di website adalah Film Lesbian Series "The L World". Aku kurang suka film series seperti itu. Aku tidak suka di buat menunggu akhir cerita, aku tidak suka sesuatu yang berlarut-larut, dan aku sangat tidak suka di buat penasaran. Maka aku memilih untuk menjadi pembaca dan pengawas forum untuk topik ini saja. Kini giliran group Para Perempuan Pelangi di w******p yang kubuka. Ramai sekali ternyata! Aku memang sengaja mematikan notifikasi untuk grup ini, karena kalau tidak akan berisik handphone ini dibuatnya. Mereka saling berinteraksi satu sama lain. Berkenalan, berdiskusi, bercerita, dan bertemu muka. Senangnya bisa menyatukan orang-orang seperti kami. Beberapa diantara mereka berhasil menjalin hubungan. Aku pun turut bahagia untuk hal itu. Walaupun Si Pembuatnya saja tak kunjung dapat pasangan. Sangat Miris. Bukan tak ada yang mau, namun tak ada yang seperti Sofiaku, aku ingin yang seperti dia. Baiklah, aku jujur. Aku ingin Sofia kembali. Kurebahkan diri di kasur yang baru saja ku ganti alasnya. Warna merah marun menghiasi tempat ku memejam. Mbok Mar datang membawa es s**u coklat. “Yeah! Sayang banget deh pokoknya Bila sama Mbok Mar. Ngertiin Bila banget! Ku teguk beberapa. Ohh... Surga kecil dunia. Pagi-pagi pas dingin, dibikinin kopi item panas. Siang-siang panas gini, dibikinin es s**u coklat. "Eh iya Mbok. Itu ember di belakang ada sprei sama celana Bila, jangan Mbok yang nyuci ya. Bekas nembus soalnya. Nanti pulang dari luar Bila cuci. Tolong ingetin Bila ya Mbok, takut kelupaan. Makasih Mbok. Ay lap yu lah Mbok!" ku teguk kembali es dengan gelas yang penuhi buih-buih itu. "Siap Enon. Lap yu tu lah pokoknya Non!" Mbok Mar menahan geli setelah mengucapkannya lalu keluar kamar. Handphoneku berbunyi, sebuah panggilan dari nomor yang tidak di kenal. "Hallo Assalamualaikum. Ini siapa ya?" tanyaku pada seseorang di ujung panggilan. "Waalaikumussalam Bila. Ini Qira, aku udah di Citos. Sorry" suaranya menggetarkan jantungku, hampir lari... "Oh udah disana? Saya daritadi hubungin tapi nggak ada respon soalnya, Saya kira nggak jadi hari ini. Oke kalau gitu, Saya on the way sekarang ya. Mungkin bisa 1 jam-an, soalnya Saya dari Rawamangun" ujarku kesulitan bicara sambil mengganti celana jegging pemberian Sofiaku ter-sayang. "Nggak apa-apa. Saya mau nonton dulu kok sekarang. Nanti chat aja ya kalo udah nyampe. Aku tungguin. Hati-hati ya " jawabnya lembut. Hatiku meleleh dibuatnya. "Iya, yaudah. Assalamualaikum". Aku menutup telfon lalu meneguk tanpa ampun minumanku dan bergegas mengambil barang bawaanku. "Mbok, Bila anter pesenan dulu ya. Agak maleman mungkin pulangnya. Eh iya jangan lupa, Bila mau kangkung pake bumbu pecel yang pedes banget sama jahe merah anget nanti ya Mbok pas pulang. Kunci kamar Bila juga tolong simpenin. Sama nggak usah anter Bila ke depan, Mbok kan lagi main air. Bila pergi duluan ya. Assalamualaikum Mbok" aku berlari kecil meninggalkan Mbok Mar yang sibuk mencuci piring sambil tertawa. "Waalaikumussalam Enon" jawab Mbok Mar setengah berteriak. *** Ku antar pesanan ke 2 tempat hari ini. Aqira dan Hanum. Mungkin lebih baik jika mengantar pesanan ke tempat yang jauh dulu. Hanum hanya di Manggarai. Tak terlalu jauh jika ke arah Rawamangun. Perjalananku ditemani lagu-lagu Paramore kali ini. Aku memulainya dengan judul Ignorance agar lebih bersemangat menjalani hidup hari ini. Hidup yang keras sekeras musik band Paramore. Jalanan Ibu Kota selalu berhasil memancing emosiku. Pengendara yang tidak sabar, lalai, panasnya matahari, dan udara yang dipenuhi polusi. Aku mengendarai motor Suzuki Bravo warna hitam dan merah jambu buatan tahun 1993, bahkan sebelum aku lahir. Aku menyukai motor klasik. Barang antik membuatku merasa menjadi pusat perhatian. Aku menghubungi Aqira sesampainya di Cilandak Town Square setelah berkendara lebih dari 1 jam. Aku menunggu pemberitahuannya sambil berkeliling mall di Jakarta Selatan ini. "Iya. Waalaikumussalam. Ohh yaudah iya, Saya nyusul ke sana sekarang. Kamu pake dress hitam sama tas coklat ya? Oke, bentar ya" kataku mengakhiri panggilan. Aku berjalan ke tempat tujuan dimana Aqira tengah berada. Mana? Mana ya? Mana dia? Nah! Itu dia. Perempuan dengan dress hitam, heels coklat, dan tas coklat yang... emm memang aslinya lebih cantik dari fotonya. Damn! Jangan tertarik Bila. Jangan! Sembuhi dulu luka hatimu baru bermain hati kembali. Dia hanya salah satu pelangganmu yang.. memang cantik. Ah!!! Dia memang cantik! "Aqira..." perempuan itu mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya dengan lembut. Jangan gemetar Bila!!! Dia memang cantik tapi kamu tidak boleh jatuh hati selagi hatimu belum-belum pulih. Kamu harus sadar rasa sakitnya patah hati bertubi-tubi. "Emm iya... Bila" jawabku menyambut tangannya. "Ini Mbak pesanannya" lanjutku sambil menjulurkan plastik hitam kedepannya. Ia tersenyum. Oh My! Jangan beri senyum pada perempuan yang mudah jatuh cinta ini, Aqira! Aku tak berani menatap wajahnya lebih dari 2 detik. Aku tak ingin ia sadar bahwa aku tertarik padanya. "Makasih ya udah di anterin jauh-jauh. Eh, kamu udah makan belum? Makan bareng dulu yuk, temen aku udah pulang duluan buru-buru!". Sejujurnya aku lapar, tapi aku tidak ingin membuka diri kepada hati yang baru. Nanti jika jatuh hati siapa yang harus ku mintai pertanggung jawaban? Ahh. Iya tidak iya tidak iya tidak, jangan Bila. Jangan... "Saya harus anter pesenan pelanggan lain lagi nih. Lagi buru-buru jadinya, maaf ya. Lain kali boleh deh" ahh, aku menolaknya. Sedih sekali rasanya. Paksa aku tolong! Tolong paksa! Tarik tanganku dan bujuk aku sekarang. Aku pasti langsung bilang iya. "Ohh, yaudah kalo gitu. Berapa semua jadinya?". Yah, kamu... "40.000. Mau cash atau transfer?" tanyaku seperti biasanya. "Cash aja. Terima kasih ya Nabila. Nice to meet you" Ia memberiku dua lembar uang dua puluh ribu rupiah. Aku menerimanya dan membiarkan dia pergi tanpa bersapa pisah. “See you next time” ucapku dalam hati. Semacam ada doa untuk bisa berjumpa lagi dengan perempuan itu. Kan hanya doa. Dan tidak semua doa di jabah Tuhan kan? Jadi sah-sah saja harusnya. Aqira memang cantik. Ia sangat masuk dalam kriteria perempuan idamanku. Ia bukan pelanggan perempuan pertama yang menarik perhatianku. Ya mungkin aku suka, namun pasti sekadar suka dan tak akan lebih. Seperti yang sudah-sudah. Karena aku sepenuhnya sadar bahwa mereka bisa datang dan hilang di hidupku kapanpun. Tetapi Aqira memang cantik sekali sih... Aaahhh! Kacau. Aku mulai meracau karenanya. Ia kacaukan pusat perhatianku mengendarai motor dijalan pulang. Cukup Bila! Jangan dibiasakan apa-apa pakai hati lah. Sudah tahu mudah patah hati. Dia belum tentu seperti kamu yang menyukai perempuan. Lalu jika ternyata benar? Ya, jodoh takkan lari kemana bukan? Berjodoh dengan perempuan? Khayal! Aku menghentikan motorku di depan gerbang dan menghubungi Mbok Mar. Tak butuh menunggu lama, Mbok Mar paham arti panggilan ku tanpa perlu menjawabnya. Aku mengucap salam yang langsung dibalas olehnya. Aku selalu terbiasa mengucap salam. Walaupun dalam keseharianku, aku juga bukan orang yang amat taat beribadah. Tetapi aku tetap melakukan hal-hal yang biasa ku lakukan karena Mbok Mar yang ajarkan. Seperti membaca doa mau dan bangun tidur, membaca doa sebelum dan sesudah makan, doa sebelum bepergian, mengucap salam, dan doa-doa kecil lainnya. Biar ibuku tak mengajariku agama, setidaknya ibu keduaku ini mengajarinya. Mbok Mar membawakan tas ranselku. "Mama udah pulang Mbok?". Aku membuka sepatu Converse hitamku. "Ibu belom pulang. Tadi sempet nelfon katanya jam 11 baru selesai meeting" jawabnya menutup pintu gerbang. "Oh gitu. Tapi udah masak kangkung kan Mbok? Asik!!!" kataku yang tengah menempatkan motor dalam garasi. Perutku mulai menggeliat karena gagal makan bersama Aqira. Aku meninggalkan handphone dan rokokku di meja makan kemudian berlari menuju kamar. Ku lempar tas ke tempat tidur lalu mengikat rambut panjang sepunggungku ke atas agar tak terkena air saat mencuci wajah. Kunyalakan Marlboro Ice Blastku sambil berjalan menuju dapur. Dimeja makan sudah berjejer nasi panas yang uapnya masih mengebul, kangkung rebus dengan cabai yang berceceran, bumbu pecel yang pasti pedas, dan ayam goreng bagian paha. Hah, sedap! Mbok Mar menuang nasi ke dalam piring, serta mengambil lauk-pauk untukku. "Mbok, makan bareng yuk! Mbok udah makan belom?". "Belum Non. Iya iya silakan. Non mau minum apa? Es jeruk, air putih, es teh manis atau apa?" tanyanya memberikan piring padaku. "Es teh manis aja boleh deh Mbok. Tapi nanti malem Bila mau jahe merah ya. Agak nyesek d**a Bila nih dari bangun tidur nggak tau kenapa padahal…" aku mengelus dadaku yang sedikit terasa menghimpit. Belum selesai aku bicara, Mercon Mbok Mar meledak! "Pasti gara-gara rokok tuh! Enon sih kebanyakan! Kan Si Mbok sering bilang, kurangin Non kurangin. Udah tau suka nyesek gitu. Enon ihh susah amat dibilangin. Ngeyel! Tambeng! Coba kalo masih ada Non Sofia, pasti Non nurut dibilangin dia. Sama Si Mbok udah makin ndablek sih. Takut sama rumah sakit tapi doyan nyari penyakit, Non.. Non... Kalo udah kenapa-napa baru nyesel deh, baru sedih, baru nangis" jawabnya penuh rasa khawatir. Aku diam tak mengelak. Memang salahku dan aku mengerti maksud baik dari Mbok Mar. Tapi seandainya Mbok Mar tahu bahwa sesak dadaku bukan karena asap rokokku, tapi lebih ke rasa sakit hati yang ku derita sendiri ini berkepanjangan. Entah sampai kapan aku terus terkukung oleh rasa patah hati ini. Mbok Mar meletakkan es teh manis di samping piringku lalu mengisi piring dengan panganan untuknya dan duduk di sebelahku. Aku mematikan sisa rokokku sebelum Mbok Mar makin gencar menggebu-gebu menasehatiku. "Iya Mbok. Abis mau kayak gimana lagi? Bila udah coba kurangin kok. Tapi kan emang nggak bisa tiba-tiba berhenti total kan Mbok. Ya, please Mbok, jahe merah ya… Uhh sayang Bila, cantiknya Bila. Uhhhhh kesayangan aku yang paling aku sayang, yang paling aku cinta banget ini" aku merajuk manja semanja manjanya manja. "Non.. Non... Untung Si Mbok sayang banget sama Non. Udah kayak anak sendiri. Kalo enggak mah udah males yang namanya nasehatin Non, urusin Non Bila. Mau Si Mbok bodo amatin?". Aku tersenyum manja sambil menoleh ke kiri dan kanan bergantian. Ah Mbok Mar, ibu kedua ku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD