Teman-Teman Perempuan

1465 Words
Semakin hari, semakin banyak pengetahuan film dengan tema ‘LGBT’ yang ku dapat dari pelangganku, bahkan tak jarang kami jadi berdiskusi hal lain selain film. Kami juga tertarik mendiskusikan kehidupan kami yang juga spesial dengan permasalahan dan pengalaman kami masing-masing. Tidak mudah untuk kami menjadi diri sendiri dimata orang lain. Ini Indonesia, Jakarta, dan tahun 2016. Banyak pro dan kontra yang harus kami hadapi. Menambah pengetahuan tentang film dan hidup hanya menjadi salah satu bonus untukku. Salah satu? Jelas. Karena sesungguhnya, banyak hal yang bisa ku dapatkan di ParaPerempuanPelangi.com. Harapanku tak sama seperti penjual lain diluar sana yaitu pembeli, uang, dan langganan. Tetapi, ada yang lebih menggiurkan dari hal itu. Aku pernah bersekolah di salah satu SMA Negeri di daerah Rawamangun, Jakarta Timur 3 tahun lalu. Mama yang bisa dibilang berpenghasilan menengah ke atas tak lantas membuatku memilih-milih kegiatan dan kawan. Mama dan Mbok Mar tidak pernah mengajarkanku menjadi seperti itu. Aku pernah berkawan dengan teman-teman yang hidup dijalanan dan pengamen jalanan. Berkawan dengan mereka yang berjualan di pinggir kaki lima. Dan aku juga pernah berkawan dengan mereka yang menamakan dirinya Anak Punk. Tak ada masalah untukku. Selama aku tahu batas dan bisa menjaga diriku sendiri, selama aku tahu mana yang benar dan mana yang salah, ku rasa tak ada masalah. Sama-sama manusia kan? Aku sudah pernah berkeliling turun naik bus kota bersama mereka untuk mencari uang dengan mengandalkan gitar, beras dalam botol, tam-tam, dan suara sumbang kami. Aku pernah berkeliling taman Suropati menggunakan sepeda untuk menjajahkan minuman hangat dan dingin. Sudah pernah juga memikul gerobak tahu gejrot dan menjajahkannya disana. Datang dari rumah ke rumah, rumah makan ke rumah makan, dan dari satu tempat berkumpul muda mudi ke tempat lain untuk mencari uang menggunakan gitar dan suaraku pun ku pernah. Banyak hal lain yang ku coba di jalanan. Selama aku tahu itu tidak merugikan siapapun, tidak membuatku berdosa, dan mamaku tak melarang, ku rasa itu masih bisa ku lakukan. Bisnis kecil disekolah. Aku yang sadar tidak pintar namun rajin akhirnya memanfaatkan kerajinanku untuk menjual tugas-tugas dari guru ke teman-temanku. Aku mengerjakan tugas mereka dengan imbalan sejumlah uang. Aku juga pernah menjual novel dan komik milikku yang sudah tak menarik lagi untuk ku sentuh. Pintar ya? Ketika kelas 3 SMA, aku sempat memiliki Online Shop yang tak seberapa untung. Hanya karena nyaman menjalaninya. Lagipula, yang kubutuhkan adalah kepuasan bathin, bukan sekadar keuntungan. Maksudku, kepuasan bathin setelah dihinggapi dan dikejar gadis-gadis modis yang modus itu. Mengapa tidak? Untuk apa mereka mendekatiku kalau tidak meminta potongan harga, belas kasih untuk di beri hutang-an, bahkan barang bagus gratisan? Ah, lagu lama! Teman yang baik tidak akan meminta itu semua atas nama pertemanan. Dia akan menghargai temannya dengan tidak meminta potongan harga, renggang waktu membayar, bahkan barang tanpa membayar. Setelah lulus SMA, aku menjalani bisnis terbaru yaitu menjual film. Koleksi film perempuan penyuka perempuan di komputerku pun kian bulan kian menumpuk. Terkadang, aku merasa bosan menyaksikan itu semua berulang kali dan tak tahu, akan berakhir seperti apa, bagaimana, dan dimana film-film yang sering di anggap menyimpang dari segala norma itu kelak. Dengan jumlah ratusan Giga, aku sempat bimbang menyimpannya. Akankah berakhir dengan terhapus karena virus di komputer, dihapus mama yang akhirnya tahu bahwa aku salah satu penganut penyimpangan sosial, atau ku bagi untuk teman-teman seperjuangan dan yang membutuhkannya. Pilihan ketiga pun ku ambil karena itulah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Bonusnya, aku bisa bertemu perempuan-perempuan yang mungkin juga memiliki ketertarikan pada perempuan. Iseng-iseng berhadiah, ceritanya. Diantara pelanganku, ada yang mengaku membeli film untuk tugas di kampus sesuai jurusannya, biasanya Sosiologi atau Psikologi untuk bahan tugas riset mereka. Ada juga pelanggan yang mengaku hanya titipan salah seorang teman, ada juga yang mengaku untuk mencari referensi film yang tidak biasa dan lebih menantang, dan beberapa lainnya mengaku itu adalah film tentang mereka. Mereka hanya butuh film yang dapat mencerminkan diri mereka. Sayang, mereka yang mengakui ‘Keistimewaannya’ padaku bukanlah tipeku. Bilamana tipe, pasti sudah ada perempuan lain yang memilikinya. Website jualan film milikku telah ada sejak 2014 lalu dibantu beberapa teman yang lebih paham tekhnologi daripada aku. Berawal dari akun online shop yang ku buat untuk menjadi wadahku menjual film. Kian lama, kolom tanya jawab produk di penuhi oleh obrolan dan pertanyaan yang menyimpang dari jual beli film. Atas saran Erta, pelanggan setiaku, aku dibuatkan ParaPerempuanPelangi.com. Para adalah orang yang lebih dari 1, Perempuan adalah kami, dan Pelangi adalah lambing LGBT. Para Perempuan Pelangi. Dan website ini semakin lama semakin berkembang. Tak hanya menjadi forum jual beli film, namun juga komunitas untuk siapapun yang tertarik pada kehidupan kami. Tak harus memiliki kesamaan orientas s*****l karena Komunitas Para Perempuan Pelangi tidak membatasi diri, siapapun boleh bergabung. Suku, Agama, Ras, dan Adat apapun dipersilakan bergabung selama mereka ingin. Sifat dan sikap yang berbeda satu sama lain membuat kami semakin belajar toleransi. Hingga di tahun 2016 ini, kami memiliki sekitar 100 anggota offline lebih dari seluruh Indonesia. Kami pun tergabung di grup aplikasi w******p dan f******k. Dan secara rutin mengadakan pertemuan tiap 3 bulan sekali. tak pernah merasa bosan. Nasi uduk di sebelahku menjerit berulang kali minta untuk ku jamahi. Meronta minta di lumat. Namun aku tak menghiraukannya. Aku saja tak sanggup menyentuh Pie, lalu kau berharap ku sentuh, Wahai Nasi Uduk? Gila kamu! Triinnnggg!!! Handphone berbunyi. Sebuah pesan dari aplikasi w******p masuk. "Ini Nabila Perempuan Pelangi? Saya Aqira, mau pesan film dong. Sanubari Jakarta, Without Men, About Cherry, Fingersmith, sama The Sea Purple. Ready? Saya di Fatmawati. 3 hari lagi COD-an bisa kah?" tanya nya dengan jelas. Tanpa kalimat sapa, tanpa basa basi. Siapa dia? Beraninya dengan ketua Perempuan Pelangi. Aku tak membalas pesan itu secara langsung. Penasaran karena tingkahnya, aku membuka foto profilnya sambil menyuap nasi uduk yang sedari tadi marah minta dikunyah. Hmm... Cantik juga. Lumayan kalau ternyata kita ‘sama’. Mungkin saja jodoh kan. "Hallo Mbak Aqira. Maaf sebelumnya, tapi Saya nggak jualan film-film Indonesia. Film Fingersmith-nya kebetulan nggak ada subtitlenya, mau tetap apa diganti? Nggak mau coba Yes or No, bagus banget loh. Recommended nih. Pesanan bisa kok 3 hari langsung COD-an juga" jawabku. Tetap, Yes or No harus semakin banyak yang tonton. "Panggil Qira aja. Oke deh kalo gitu, Sanubari Jakarta di cancel. Ganti The Roomate aja. Yes or No-nya Next Time aja kali ya. Yang ini dulu. 3 hari lagi di Citos" ia menyisipkan emoticon kepala tersenyum dengan pipi kemerah-merahan di belakangnya. Aku menyanggupi pesanannya dan kembali membuka foto profilnya. Ohh, jadi namanya Aqira Febrianti Putri, tertera di status miliknya. Nama yang cantik, secantik foto profilnya. Segera ku persiapkan pesanan Aqira dan beberapa pelanggan lain yang kutunda karena sebelumnya masih nyaman menatap kecantikan Pie kesayanganku. Menyalin data-data film dari komputer dan menempatkannya ke dalam DVD satu persatu. Sambil menunggu prosesnya selesai, aku mencetak sampul film tersebut. Beruntungnya, aku tak perlu menambah pekerjaan. Sampul pesanan film itu sudah pernah dipesan pelanggan lain jadi aku hanya perlu mencetak ulang saja. Ya, 1, 2, 3 hingga pesanan film terakhir akhirnya rampung. Aku harus mencoba kepingan-kepingan itu di DVD player sebelum ku kemas. Takut bila ada kesalahan atau kerusakan ketika sampai di tangan pelangganku. Aku paling anti mengecewakan pelanggan karena pelanggan adalah ‘Ratu’. Aku mengemasnya seaman, serapi, dan sebersih mungkin. Ku masukkan kedalam tas agar tak tercecer, Nabila ini kan Si Perempuan Pikun. Yap! Pesanan siap di tebarkan ke tangan-tangan manja perempuan manis! ***he Sea Purple. Saya di Fatmawati. 3 hari lagi COD-an bisa?" tanya nya jelas. Tanpa kalimat sapa, tanpa basa basi. Siapa dia? Aku tak membalas pesan itu secara langsung. Ku buka foto profilenya sambil menyuap nasi uduk yang sedari tadi menari minta dikunyah. Hmm... Cantik. Lumayan juga kalau kita ‘sama’. Mungkin saja jodoh. "Hallo Mbak Aqira. Saya nggak jual film Indonesia. Pesanan bisa kok 3 hari langsung jad. Bisa COD-an juga. Fingersmithnya kebetulan nggak ada subtitlenya, mau tetap apa diganti?". "Panggil Qira aja. Oke, Sanubari Jakarta Saya di cancel. Ganti The Roomate aja. 3 hari lagi di Citos ya" ia menyisipkan emoticon kepala tersenyum dengan pipi kemerah-merahan di belakangnya. Aku menyanggupi pesanannya. Ohh, jadi namanya Aqira Febrianti Putri. Nama yang cantik, secantik foto profilenya. Segera ku persiapkan pesanan Aqira dan beberapa pelanggan lain yang kutunda karena masih asik menatap kecantikan Pie sebelumnya. Mennyalin data-data film dari komputer dan menempatkannya ke DVD. Sambil menunggu proses selesai, aku mencetak sampul filmnya. Beruntung, aku tak perlu membuat sampul baru karena pesanan film itu sudah pernah dipesan pelanggan lain sebelumnya. Hanya cetak ulang saja. Ya, 1, 2, 3 hingga pesanan film akhirnya rampung. Aku harus mencoba kepingan-kepingan itu di DVD player sebelum ku kemas. Takut bila ada kesalahan atau kerusakan di film tersebut. Aku paling anti mengecewakan pelanggan karena pelanggan adalah ‘Ratu’. Aku mengemasnya seaman, serapi, dan sebersih mungkin. Ku masukkan kedalam tas agar tak tercecer, Nabila ini kan Si Perempuan Pikun. Yap! Pesanan siap di tebarkan! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD