Tujuan Selanjutnya

1794 Words
Al-Sarem Kingdom, lima hari setelah p*********n Pelmond Root Kicauwan burung kecil terdengar dari kamar, Latina perlahan membuka matanya. Ia masih terbaring diatas kasur, ia meraba perban yang membalut kepala dan badannya, sekilas ia ingat. Pelmond Root, Latina tidak mengingat apa yang terjadi padanya setelah ia terlempar oleh akar besar milik anggota Kuroi Akuma. Namun ia tidak menyesal, luka yang ia dapatkan adalah bukti bahwa ia masih belum cukup kuat. Latina menatap langit-langit kamar. Namun ia baru menyadari satu hal, ia tidak sendiri didalam ruangan itu, "Apa itu... Hazin?" Tanya Latina dalam hatinya, ia merasa sedikit senang karena Hazin berada didekatnya saat ia terbangun. Hazin yang tengah melihat keluar jendela menyadari bahwa Latina telah bangun, ia menoleh dan menatapnya, "Oh, sudah bangun, syukurlah." Hazin bangun dari bangkunya lalu mendekati Latina sambil membawa bangku kecilnya tadi. Wajah Latina sedikit memerah, mata merah anggunnya berbinar, "Apa? Hazin... Menghawatirkanku selama ini? Apa mungkin ia akan... Ia akan..." Gumam Latina, ia merasa senang ketika melihat Hazin yang seperti itu, walaupun Hazin masih berwajah dingin. Tapi Latina meyakini satu hal lain, Hazin masih memiliki sifat penyayang. Hazin kembali meletakan bangkunya disamping Latina, ia duduk dan menatap gadis di depan nya, "Aku sebenarnya ingin mengatakan hal ini," Hazin sedikit merenungkan kepalanya, Latina menebak-nebak apa yang akan Hazin katakan selanjutnya, "E-eh?! Ha-.. H-Hazin akan m-mengatakan.." Wajahnya terus bertambah merah. "Sebenarnya aku ingin mengatakan... Kau memang putri tidak berguna." Ucap Hazin dengan wajah dinginnya, Wajah Latina berubah drastis, "Eh?" Ia tidak berpikir Hazin akan mengatakan hal itu. "Putri tertinggi bangsa manusia, dikenal sebagai penerus terkuat dari seluruh ras saat ini. Namun, apanya yang terkuat." Hazin memasang wajah kecewa dengan gaya dinginnya. Latina bangun dengan cepat, "K-kau! Sadar diri sialan! Aku jadi seperti ini ulah siapa hah?! Bisa-bisanya kau... Saat pertarungan kau justru fokus terhadap hal lain!" Ia menunjuk wajah Hazin sambil memasang wajah kesalnya. Hazin mencoba mengingat kejadian yang Latina maksud itu, "Oh, tapi... Itu salahmu, kenapa kau berpakaian seperti itu. Sudah jelas kan? Rok mini dan kemeja yang kau kenakan itu akan membuat dirimu terlihat-.." Latina menyumpal mulut Hazin menggunakan bantal, "Terlihat apa hah?! Kau lebih baik tutup mulutmu sebelum aku mencabut lidahmu itu dasar pangeran aneh." Hazin hanya pasrah tidak bergerak, ditengah pertengkaran itu. Pintu kamar terbuka, "Enak sekali ya, menjadi anak muda." Viole tersenyum setelah membuka pintu kamar, Latina terkejut dan segera menyingkirkan bantal yang menyumpal mulut Hazin, ia segera kembali duduk diatas kasur. Latina segera menyingkir lalu menggaruk kepalanya karena malu, "Ehehe... Nyonya Viole, se-sejak anda berada disana?" Tanya Latina, Viole hanya tersenyum dan menjawab, "Sejak kau bangun putri Latina." Latina terkejut dan marah pada dirinya sendiri, "Sial, kenapa aku melakukan hal tadi?! Ini semua salah anak kutub selatan itu!" Gumam Latina, ia melirik Hazin. Dan pada saat itu, Hazin hanya sibuk melakukan hal tidak jelas, "Sial..!! Dia malah pura-pura!" Viole menghampiri mereka berdua, "Sudahlah, ibu mengerti perasaan kalian berdua. Ibu hanya ingin menyampaikan bahwa sebentar lagi kita akan membuat rencana kita kedepannya." Ucap Viole. "Eh? Sejak kapan nyonya Viole mengatakan ibu padaku!" Gumam Latina, "Em.. ngomong-ngomong, jika nyonya Viole ada disini, itu berarti tuan Vondest juga ada disini kan? Bagaimana hasil pertarungannya? Bagaimana dengan iblis itu?" Tanya Latina. Hazin berdiri, "Sudah jelas kan? Jika kita kalah, kau tidak akan seperti ini." Hazin mencoba membantu Latina berjalan, "T-Tidak usah, aku bisa sendiri." Latina menolak untuk dibantu, Viole kembali tersenyum melihatnya. Mereka bertiga pergi menuju ruang penjamuan kastel Al-Sarem, raja Mehmed, raja Vindest, Minaki dan Jack sudah duduk disana. "Memang benar, aku tidak perlu menanyakan hasilnya, jika ada mereka berdua. Aku yakin, raja iblis pun tidak akan berkutik." Latina duduk sambil melihat kearah Vondest untuk sesaat. Vondest yang sedang asyik disuapi anggur oleh para pembantu di dalam kastel melihat kedatangan putri Latina lalu menyapanya, "Wah... Kau sudah sadar, ternyata gadisnya Patricya memang kuat." Vondest tersenyum, Latina pun balas tersenyum malu. Viole secara tidak diketahui berada dibelakang Vondest dengan wajah menyeramkannya, "Hoh... Sepertinya disuapi seperti ini menyenangkan." Viole tersenyum jahat, Vondest kaget sambil mengangkat kedua tangannya, "V-Viole? Jika kau tahu seperti itu kenapa-.." Tanpa berpikir lagi, Viole langsung mencubit dan menjewer kuping Vondest, "Auw! Auw..!! Sakit! Ampuni aku istriku tersayang! Tidak! Aku tidak akan mengulanginya!" Vondest teriak kesakitan. Setelah kuping suaminya membengkak, ia melepaskannya lalu duduk disamping Vondest, "Haduh... Kau ini." Semua orang kecuali Hazin sedikit tertawa melihat kelakuan raja dan ratu terkuat bangsa Fadelta itu, "Hehe... Anda memang suka bercanda ya ratu Vi-.." "Ada apa Mehmed?" Viole menyela ucapan Mehmed dengan senyuman jahatnya, "Gadis-gadis itu adalah orang yang kau jadikan guling setiap malamnya kan?" Aura jahat Viole terlihat dengan jelas. Mehmed langsung berkeringat, "Ah... Hidupku tidak akan lama." "Ayah, ibu. Kita tidak punya waktu banyak." Ucap Hazin dengan wajah serius, semua orang yang ada didalam ruang penjamuan langsung meliriknya. "Kau ini, kita baru saja selesai bertarung melawan salah satu anggota Kuroi Akuma loh Hazin, pihak iblis pasti merasakan akibatnya. Dan juga, Mehmed! Apa-apaan ini? Kerajaan tanpa ruang diskusi, kau justru mementingkan air mancur yang berada disetiap sudut ruangan. Dan juga, kemana pajak masyarakat pergi? Masa kerajaan Al-Sarem tidak memiliki satupun kereta Zego." Omelan Viole masuk dan keluar melalui kuping Mehmed. Viole sedikit menggebrak meja, "Pokonya, lain kali aku datang kesini, kerajaan ini harus lebih baik." Ucap Viole, Mehmed tersenyum malu sambil menggaruk kepalanya, "Ya mau bagaimana lagi, kerajaan ini bisa berdiri berkat perjuangan keluarga Kitalya, ini memang salahku." "Jangan malah merenung! Aku memang sedang menyalahkanmu!" Wajah Viole berubah sangar, Mehmed terkejut lalu menundukan kepalanya. "Baiklah! Sepertinya kita memang harus segera membicarakan hal yang lebih penting." Ucap Vondest semangat, Viole dan Mehmed kembali duduk seperti semula, "Aku lupa untuk meminta maaf Mehmed. Kematian Zaheed Pantoar disebabkan karena keterlambatanku dan keteledoranku sebagai raja tertinggi, aku minta maaf." Vondest sedikit menunduk. "Eh! Anda tidak perlu meminta maaf seperti itu tuan Vondest. Jika memang seperti itu, seharusnya raja Warlock yang mengucapkannya. Tapi, ini semua adalah kesalahku, banyak korban yang jatuh saat p*********n ini, aku sebagai raja seharusnya melindungi seluruh rakyatku. Tapi, aku justru berlindung dan-..." "Sudahlah Mehmed, itu keputusan terbaik yang dapat kau ambil, memaksakan dirimu untuk melawan bukanlah pilihan tepat." Vondest tersenyum sedangkan Viole, ia kembali memasang wajah menyeramkan kearah Mehmed. "Jadi begini Hazin, Latina, Jack, Minaki. Kalian pasti ingin tahu kemana kalian harus pergi selanjutnya, karena sekarang kita sedang diburu waktu. Aku akan langsung memberikan semua yang kutahu." Ucap Vondest, wajahnya berubah serius. "Mungkin Hazin dan Minaki sudah mengetahuinya, bahwa jumlah Death Stone yang berada dibenua ini berjumlah tiga buah. Kalian sudah mendapatkan dua Death Stone disini, tapi. Rintangan selanjutnya akan lebih menantang, ingat itu." Vondest melirik Hazin yang sedang memperhatikannya. "Death Stone itu berada didalam sebuah labirin yang letaknya berada diarah utara kerajaan Roma, seharusnya Mehmed yang memberitahu hal ini. Tapi, melihat situasi Al-Sarem yang tengah dikekang oleh Anggota Kuroi Akuma, ayah memakluminya." Ucap Vondest, rasa bersalah Mehmed bertambah mendengar hal itu. Latina mencoba untuk berpikir, "Roma... Saya pernah sedikit berkunjung kesana. Namun, saya tidak terlalu suka sistem kerajaan yang berjalan di dalam kerajaan itu." Ucap Latina, ia sedikit mengingat saat ia berkeliling dunia. "Ya, memang benar. Disana terlalu banyak p********n, para petarung Gladiator memang sudah menjadi tradisi kerajaan Roma, mau bagaimana lagi. Kita tidak bisa menghilangkan tradisi seseorang selama itu masih dibatas wajar." Vondest mengangkat pundaknya untuk sesaat. "p********n yang kumaksud adalah jual beli petarung Gladiator oleh bangsawan yang tinggal disana. Kerajaan itu memang memiliki pendapatan yang cukup besar, itu karena semua emang disana terus berputar disatu lingkup, para bangsawan membeli petarung, petarung menang dan mendapat hadiah. Dan, para petarung yang berasal dari rakyat biasa membeli semua kebutuhan hidupnya kepada pedagang dalam negeri. Dan, Jika ingin tahu, para wanita disana-.." "Auw!!" Viole mencubit perut Vondest agar ia tidak melanjutkan perkataannya tentang wanita tadi. Viole melepaskan tangannya dari perut Vondest, "Jadi. Yang kalian perlu lakukan adalah pergi kearah utara dan temukan labirin itu, orang suruhan ibu sudah menanti kalian disana, ya! Latina, Minaki." Viole tersenyum manis kearah Latina dan Minaki, Minaki menerimanya dengan senyuman. Sedangkan wajah Latina hanya memerah, "Dia menyebutkannya lagi!!" Gumamnya. Vondest mulai berdiri dari bangkunya, "Ya... Jadi intinya, Kalian harus pergi kekerajaan Roma terlebih dahulu. Maaf tidak bisa terlalu lama disini anak-anak, banyak masalah yang harus diselesaikan." "Latina, karena kau sudah pernah berkunjung kesana. Kalian akan mudah untuk mencapai Roma, ibu mengandalkanmu Latina." Viole terus tersenyum, Latina balas tersenyum walaupun malu, "I-iya nyonya, tentu." Ia kemudian terkejut dalam hatinya, "Sejak kapan nyonya Viole menjadi ibuku?!" Vondest dan Viole keluar kastel Al-Sarem, diikuti Hazin beserta teman-temannya. Hari masih siang, Vondest sedikit menatap hancurnya ibukota Al-Sarem, "Hazin... Maafkan ayah karena telah membebankanmu dengan tanggung jawab ini. Tapi, ayah mempercayaimu, beseta teman-temanmu." Ia berpaling dan menepuk kedua pundak Hazin. Hazin menatap wajah ayahnya serius, "Ayah, ibu. Kalian tidak usah khawatir, akan kupastikan, raja iblis tidak akan bangkit bersama dengan kehancuran yang ia bawa." Ia melepaskan tangan ayahnya dari pundaknya, Vondest dan Viole tersenyum. "Ayah mengandalkan kalian." Vondest membuka teknik Teleportasi, Viole melambaikan tangannya, "Jangan lupa untuk meminta bantuan kami disaat genting ya!" Ucap Viole, ia dan Vondest menghilang seketika. Minaki berbalik badan dan menatap Latina, "Jadi, haruskah kita berangkat juga?" Tanya Minaki, Latina terlihat menyembunyikan sesuatu, itu terlihat dari wajahnya yang kebingungan, "Oi, ada apa?" Tanya Jack penasaran, Hazin juga sebenarnya sudah memperhatikan gerak-gerik Latina yang sedikit aneh sejak mereka meninggalkan kastel Al-Sarem. Latina sedikit malu, ia memainkan pita yang mengikat rambutnya, "Em... Begini, sebenarnya aku sudah tidak bisa melakukan Teleportasi ke Roma, aku lupa tata letaknya. Maafkan aku ya.. hehe." Ia sedikit melirik Hazin. Hazin yang sedang memasang wajah dinginnya bergumam, "Sudah kuduga." Jack dan Minaki terkejut, "Latina! Kenapa bisa seperti itu?! Apa yang harus kita lakukan untuk mencapai Roma? Ah... Tidak!" Minaki langsung kebingungan. "A-aku sudah bilang kan?! Bahwa aku tidak menyukai berada di Roma, aku hanya sebentar berada disana. Tapi t-tenang, kita masih bisa kesana." Latina menyangkalnya. "Bisa gundulmu! Kau pikir seberapa jauh Roma itu? Kita akan mati kehausan sebelum sampai disana!" Sentak Jack, Latina kembali menyangkalnya, "Mau bagaimana lagi?! Sebagai lelaki kau tidak boleh mengeluh, sudah kubilang kan? Ini adalah petualangan seorang putri Latina, kita pasti bisa, iya kan Hazin?" Ia justru semangat. Minaki menunjuk Latina dengan wajah meledeknya, "Uh... Apa yang kalian lakukan di kamar tadi? Sepertinya sesuatu yang spesial." Ia mengejeknya. Wajah Latina memerah, "Eh, kenapa aku menyebutkan nama suku eskimo ini...!!" Ia marah dalam hatinya sambil melirik Hazin, "Jangan asal bicara kau marmut! Kau pasti cemburu kan? Haha..!! Bilang saja jika kau cemburu!" Balas Latina, ia juga menunjuk wajah Minaki. "Sudah dipastikan! Kalian pasti melakukan-..." Dengan cepat Latina menutup mulut Minaki, "Jangan asal bicara kau..!!" Mereka berdua sedikit bertengkar, Hazin hanya melihat semua itu dengan tatapan dingin, "Perempuan." Jack ikut melihat mereka dengan tatapan jengkelnya. Latina melepaskan Minaki setelah wajahnya memerah karena kehabisan napas, "Sudahlah! Kita harus segera pergi." Latina langsung terbang menuju utara kerajaan Al-Sarem, "Baik-baik, tuan putri." Minaki mengikutinya setelah mengambil napas panjang, Hazin dan Jack juga langsung terbang. Menuju kerajaan Roma.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD